Mongabay.co.id

Kepentingan Oligarki Ekstraktif Hantui Pilkada di Sulawesi Tenggara?

Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pada 9 Desember ini, Indonesia bakal menghelat pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, Sulawesi Tenggara, salah satunya. Ada tujuh kabupaten akan pilkada di provinsi ini yakni Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Konawe Selatan, Kolaka Timur, Muna, Buol Utara dan Wakatobi. Bisnis ekstraktif skala besar seperti pertambanngan, kebun sawit maupun tebu banyak terdapat di daerah-daerah ini. Kalau melihat para calon yang maju dalam pilkada di Sultra, masih banyak ditengarai berafiliasi dengan bisnis ekstraktif ini. Oligarki pun membayangi pilkada di kabupaten maupun kota di Sultra.

Demikian benang merah dari diskusi berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Walhi Sultra, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) Kota Kendari serta warga Konawe Kepulauan, dalam diskusi daring, pekan ini.

Baca juga: Pilkada Serentak, Was-was Nasib Hutan dan Gambut Indonesia

Saharudin, Direktur Walhi Sultra, pesimis terjadi perubahan lebih baik buat lingkungan hidup dan kondisi sosial masyarakat dengan pilkada ini. Dia bilang, ancaman dan masalah warga kemungkinan masih tetap sama, tak lepas dari perampasan tanah, kriminalisasi, bencana alam maupun kemiskinan.

“Banyak contoh wilayah gelar pilkada, ancaman masih ada, seperti bencana alam di Konawe Utara, Konawe dan Wawonii. Konflik agraria di Konawe Selatan terus menerus,” katanya, dalam diskusi bertema “Potret Krisis dan Kepentingan Oligarki Industri Ekstraktif dalam Pilkada Sultra 2020.”

Dia nilai, dalam pilkada kali ini pun para pengusaha ekstraktif macam tambang, kebun sawit dan perkebunan tebu ikut bermain, salah satu modus pengusaha itu jadi sponsor atau donatur para kandidat.

“Calon kepala daerah sudah menghitung biaya politik itu besar, kisaran Rp30-Rp60 miliar. Ini biasa membeli suara mulai Rp100.000-Rp1 juta untuk satu pemilih.”

Baca juga: Jatam: Waspada Enam Modus Ijon Politik Tambang di Indonesia

Para kandidat yang berelasi dengan pebisnis macam ini, katanya, melahirkan oligarki hingga kala terpilih yang bakal terjadi kuat dorongan kepentingan pebisnis, seperti industri ekstraktif itu.

Jatam melihat, oligarki perlu kebijakan kepala daerah. Konteks pilkada serentak 2020 di Sultra ini, katanya, ada banyak kepentingan oligarki, apalagi tujuh daerah itu ada banyak bisnis ekstraktif berupa tambang dan sawit.

 

Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Konawe Utara, dilihat dari pegunungan. Di lokasi itu merupakan wilayah tambang, jika hujan datang air bercampur ore nikel merembes hingga ke Pesisir Pantai Mandiodo. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Melky Nahar dari Jatam mengatakan, pesta elektoral ini jadi pintu masuk pemain ekstraktif karena pesta demokrasi, perlu biaya sangat besar hingga mendorong politisi mencari biaya cepat dan dalam jumlah besar.

Pemilik kapital berkepentingan mendapatkan jaminan hukum atas kepentingan mereka, berupa kebijakan investasi dan lain-lain.

Melky bilang, pasca pemilihan ini, para pelaku oligarki bisa dengan gampang mengendalikan kebijakan atau produk hukum di daerah itu.

Pilkada di Sultra, katanya, Jatam melihat rekam jejak calon memiliki kedekatan dengan pebisnis tambang maupun energi. Di Wawonii saja, katanya, ada calon terang-terangan mendukung tambang. Ironisnya, pertambangan malah mau dikembangkan dengan pertanian.

“Bagaimana korelasinya pertanian dan tambang. Ini kan aneh sekali.”

Melky bilang, para oligarki di pilkada serentak kalau disandingkan dengan poin-poin UU Cipta Kerja, jadi sangat membahayakan keberlangsung lingkungan hidup. Antara lain, UU Cipta Kerja memberi ruang sebesar-besarnya pemanfaatan ruang laut. Di Sultra, katanya, banyak wilayah pesisir.

Belum lagi insentif royalti 0%, pemutihan kejahatan kehutanan, pidana penerbit izin hilang, kewenangan daerah diambil alih, sampai perpanjangan otomatis izin dan ruang kriminalisasi pada warga terbuka besar.

Sebelum UU Cipta Kerja ada saja, katanya, di Konawe Kepulauan atau Wawonii, ada 28 warga terjerat hukum gara-gara berupaya mempertahankan ruang hidup mereka. “Potensi tinggi sekali ke depan.”

 

Perusahaan tambang yang mau membuat dermaga di Wawonii mendapat penolakan warga. FotoL Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Bahayakan pesisir

Parid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara, mengatakan, Sultra banyak wilayah pesisir. Luas Sultra 153.019 Km2 terdiri dari daratan 38.140 km² (25%) dan perairan laut 114.879 km2 (75%), dengan garis pantai 1.740 km. Sultra punya 540 pulau dan 71 teluk.

Menurut Parid, kalau provinsi ini meningkatkan pendapatan daerah dengan memanfaatkan potensi perairan, sangat luar biasa. Potensi sumber daya ikan saja, mencapai 1.520.340 ton pertahun. Kini, pemanfaatan baru 15,41% atau 143.850 ton.

Kondisi di Sultra mengkhawatirkan, katanya, karena banyak pesisir tercemar limbah nikel dan tumpahan minyak sawit juga alur kapal keluar masuk memuat hasil sumber alam atau tambang.

“Ini di Konawe Utara sangat terlihat,” katanya.

Masalah lain, katanya, bisnis ekstraktif mengancam potensi sumber daya perairan seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Data memperlihatkan, luasan terumbu karang di Sultra sekitar 53.153,45 hektar tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Ekosistem padang lamun sekitar 10.762,56 hektar.

Begitu juga hutan mangrove terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut mencapai sekitar 62.426,42 hektar. Karang dengan kondisi sedang 42% dan kondisi baik 16%.

Parid bilang, sudah ada contoh buruk bisnis tambang terhadap pengelolaan sumber laut, seperti Pulau Wawonii. Nelayan di Pulau Wawonii tercatat 2.136 orang. Sebelum ada tambang, misal, mereka bisa tangkap 50 kg gurita setiap hari, setelah ada proyek tambang nikel, hanya sekitar lima kg.

“Artinya, ada penurunan hasil tangkapan 45 kg setiap hari. Sebelum ada tambang bisa menangkap ekor kuning dan ikan sunu 1.000 kg setiap hari, setelah ada proyek tambang hanya menangkap kurang 100 kg.”

Data ini Kiara temukan setelah kunjungan ke Wawonii.

Belum lagi, saat nelayan sulit dapat ikan di pesisir, mereka akan keluar lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan. Problemnya, biaya produksi besar dan kapal tidak memadai. Kondisi perempuan nelayan juga terdampak karena biasa mencari tangkapan di pesisir. Kondisi tambah sulit saat terjadi perpecahan di masyarakat antara kontra dan pro.

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version