Mongabay.co.id

Pande Ketut Diah Kencana, Peneliti Bambu Tabah untuk Konservasi dan Olahan Pangan

 

Dr. Ir. Pande Ketut Diah Kencana baru saja mendapat penghargaan Kehati Award 2020 untuk kategori akademisi. Dosen dan peneliti perempuan ini dikenal sebagai peneliti bambu Tabah. Jenis bambu yang dinilai makin sedikit dan tidak cukup dirawat di daerah asalnya, Pupuan, Tabanan.

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Bali ini terus mengajak mahasiswanya meneliti bambu dan olahannya. Sampai kini ada 20 produk turunan bambu yang sudah dikembangkan. Mulai dari batang, daun, dan rebungnya. Menjadi olahan asap cair, briket, dan teh bambu. Sementara untuk olahan rebung yang jadi fokus perhatiannya tersaji dari rebung potong premium, rebung kulit, rebung vakum, kupas, iris, botol, dan pouch.

Diah mengembangkan bambu dari hulu ke hilir. Dari konservasi alam bambu sebagai tanaman di lahan kritis dan penyimpan air, sampai riset olahan pangan dan produk lainnya.

Mongabay Indonesia mengunjungi rumah yang jadi titik kumpulnya di Padangan, Pupuan, Tabanan pada 29 November 2020. Di sini ada rumpun bambu, kantor koperasi, sampai laboratorium bagi mahasiswa yang tertarik meneliti bambu Tabah. Berikut perjalanan suka duka penelitian Diah.

 

Mongabay (M) : Bagaimana riset bambu ini dimulai?

D : Penelitian bambu dari studi S2 tahun 1990 di IPB, bagaimana membuat rebung kalengan dari bambu betung di Lampung. Di sebuah pabrik nanas, mereka ingin tanam bambu sebagai greenbelt. Prof Elizabeth (Prof. Elizabeth Anita Widjaja, Peneliti senior di Pusat Penelitian Biologi LIPI, satu-satunya ahli taksonomi bambu di Indonesia) pembimbing saya mendorong meneliti itu, saya dapat rebung di Lampung untuk pengalengannya. Dari dia saya dapat keyakinan untuk fokus di bambu.

Pengembangan bambu bisa dilakukan kalau ada sentuhan teknologi, produk awal yang diteliti sampai dipasarkan.

baca : Bambu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Sepi Peminat

 

Peneliti bambu PK Diah Kencana di depan rumpun bambu tabah di Pupuan, Tabanan, Bali, tempat penelitiannya selama 20 tahun terakhir. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

M : Bagaimana sampai fokus ke bambu sebagai pangan?

D : Saya dosen pengolahan hasil pertanian. Dari dulu ingin, karena rebung bisa dimakan. Di Bali ada bambu, tapi tak ada yang angkat untuk pangan. Rebung mana yang bisa dimakan, tahun itu internet tak ada, yang meneliti tak banyak. Berlanjut 2003 dapat tugas belajar S3 ambil penelitian bambu juga, tapi jangan bambu betung karena ada di mana-mana. Apakah bambu di Bali yang bisa dikonsumsi. Dalam perjalanan, saya punya ipar dari Busungbiu, kalau pulang ke Denpasar lewat sini. Di memberitahu ada rebung bambu Tabah, langsung saya survei.

Saya ajukan rebung bambu Tabah untuk (penelitian) S3, mulai fokus. Penelitian minimal 3. Dalam bentuk segar, dan meneliti kandungan kimia. Rebung kan musiman, setelah penelitian utama, menunggu rebung muncul. Teman saya banyak (risetnya) sudah selesai duluan. Tapi saya berkeyakinan, ke depan, pasti ada yang bisa dibagikan ke alam dan masyarakat.

Saya sedih kalau di kampus saja, masyarakat di lapangan butuh apa, begitu kondisi kita di Indonesia. Banyak yang membutuhkan teknologi, ini kan dari kampus, ada konsep triple helix (universitas, industri dan pemerintah). Petani dulu identik kemiskinan, sekarang kan tidak, ada kelompok pemuda tani seperti Petani Muda Keren di Bali.

Banyak petani kita yang tidak tahu, kita sendiri ke lapangan jemput bola, penelitiannya terkait fresh cut, bagaimana memperpanjang usia simpan. Suhu maksimum, di bawah 8 derajat bisa setahun lebih. Perbandingannya di suhu. Kupas biasa, rendam dalam garam, atau tambahkan kapur untuk menguatkan jaringannya.

Riset berikutnya terkait dikemas dan tidak, divakum segar, tanpa rebus dan direbus. Saya amati seratnya, kandungan air, masa simpan, uji bau, warna, ini yang saya aplikasikan. Akhirnya yang terbaik adalah direbus tambah garam, menguatkan rasa dan mengawetkan. Lalu dikemas vakum dan simpan dingin.

Ada rebung yang diolah kimia, direndam dengan tawas. Saat akan diproses, diisi formalin airnya. Saya ikut dalam pengajuan standar SNI rebung tapi belum keluar SNI untuk rebung jenis apapun. Dalam SNI itu ada penggunaan tanpa menambahkan unsur kimia. Namun 90% adalah petani yang tak punya investasi alat. Yang dipakai rebus drum, air tidak higienis. Baunya keras. Cara panen juga salah. Kalau dipertahankan baunya, kita tak pernah bisa ekspor rebung.

perlu dibaca : Jatnika dan Keinginannya Membangun Peradaban dari Bambu

 

PK Diah Kencana menunjukkan aneka olahan bambu tabah yang dia hasilkan dari riset selama ini. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

M : Kenapa memilih bambu Tabah?

D : Di dunia ada 1.600 spesies bambu, mungkin lebih tapi belum tercatat. Terbanyak di China, merupakan tanaman leluhur, banyak peneliti di sana. Bambu adalah ikon, misal Dewi Kwan Im pegang bambu. Di Indonesia hanya 160 jenis (10%) salah satunya bambu Tabah yang tumbuh banyak di daerah Pupuan, Tabanan. Tak ada yang tahu persis, sejak dulu bambu Tabah sudah ada. Dikonsumsi untuk sayur. Dulu di sini kan gunung dan alas. Ada Kongco, komunitas keturunan, apakah mereka membawa bambu Tabah? Akhirnya tumbuh subur di sini.

Saya juga dapat penhargaan penyelamat plasma nutfah pada 2018 dari Kementerian Pertanian dan dari Unud. Maunya menelusuri sejarahnya. Saya bangun tempat, saya punya kebun bambu 2 hektar yang ditanami bambu Tabah. Kalau kita mau menyampaikan sesuatu, teknologi, ekonomi kita harus penuhi sendiri dulu.

Puslit bambu di Unud didirikan 2012, saya kuat secara akademis. Bambu ini tanaman yang multiguna. Dulu kelapa, tapi tak terlalu konservasi, karena jenis tanaman sendiri. Bambu semua bagian digunakan, batang, daun, akar, daun.

 

M : Bagaimana bambu bisa tergolong tanaman konservasi?

D : Bambu bisa tumbuh di mana saja asalkan ada tanah. Di Bali ada sekitar 40 jenis, paling banyak karena banyak memanfaatkan bambu termasuk ritual. Sayan, kegunaannya tak diikuti bagaimana memelihara. Bambu sosial banget, sering diberikan, dan gampang tumbuh sehingga belum dianggap prioritas. Ini yang buat saya semangat untuk terus menyampaikan. Ini ada keanekaragaman hayati yang belum tergali tuntas. Peningkatan ekonomi dan konservasi air, dan tumbuh di lahan kritis.

Puluhan juta hektar lahan kritis di Indonesia bisa diisi bambu. Tumbuhnya di terasering 60-70 derajat. Asal mampu mengikat tanah.

Di rumah ini semua bambu tabah, mulai ditanam 2008. Kalau bambu bukan hitungan luas tapi hitung rumpun. Diusahakan ditanam di lahan kritis. Rumpun tergantung diameter. Kalau bambu betung 8-10 meter karena besar. Kalau tabah 4-5 meter saja. Fungsinya memanfaatkan lahan kritis, tapi bisa dipanen dan digunakan semuanya.

Idealnya jika untuk budidaya dan dirawat satu rumpun 30-35 batang sudah bagus. Kanopi rumpun itu jangan terlalu rapat. Batang jangan dipotong setengah, tapi sampai tanah. Agar batangnya tak mengganggu, masih terikat dengan induknya. Ini yang buat sesak, kapan tumbuhnya rebung kan susah. Hasilnya sedikit jika cara menebang salah. Kelihatan rumpun tak terpelihara dan sesak.

baca juga : Om Utu, Petani Organik yang juga Maestro Musik Bambu Sangihe

 

Rebung bambu Tabah salah satu olahan bambu tabah yang dihasilkan PK Diah Kencana dari risetnya sebagai dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

M : Tantangan selama ini?

D : Masih kesulitan SDM untuk memelihara. Sudah ada 20 turunan produk, termasuk rebung segar. Rebung segar bisa tahan 1-2 bulan karena masih hidup, tetap berespirasi yang menyebabkan kembung dan mengeluarkan gas hasil metabolisme. Sebelum dimakan tetap direbus dulu.

Menu olahan rebung banyak sekali pepes, rendang, kare, lumpia, sayur. Sulit hancur, walau lama direbus.

Rebung bambu tabah lebih mahal, satu rebung Rp2.000, satu bungkus rebung vakum dijual Rp13 ribu di daerah sini. Dulu ditangani seadanya, harganya murah sekali. Kita punya petani, dijual lewat koperasi.

 

M : Bagaimana sejarah koperasi?

D : Namanya Koperasi Tunas Bambu Lestari, keinginan saya setelah ada hasil kajian, ada legalitas, bisnisnya bagaimana? Sebagai hilir produk turunan bambu Tabah. Awalnya namanya koperasi wanita tani, produsen. Karena di sini wanitanya tak bisa beraktivitas bersama, belum tentu diizinkan suami, kualitas SDM, tak begitu maju. Sulit memasukkan anggota laki-laki. Berubah nama tak lagi koperasi wanita. Anggota awal 20-an, tapi ada petani lain yang membawa rebungnya ke koperasi.

Sudah ada pihak akademisi, kemudian koperasi dibantu pemerintah, dalam perjalanan ada dinamika. Kalau tak punya kekuatan finansial, teknologi, dan market akan sulit berjalan, tapi kita masih eksis.

Saya sebagai akademisi tak begitu bisa fokus di lapangan. Produk turunan banyak, teh, sabun, asap cair, produk mana yang dipilih (untuk diolah) ?

baca juga : Cerita Sepeda Bambu yang Dikayuh Jokowi

 

Seorang petani di Pupuan, Tabanan, Bali, menunjukkan tunas bambu Tabah yang bisa diolah menjadi berbagai olahan pangan. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

M : Ruang lingkup pengembangan bambu melingkupi 14 desa?

D : Di Kecamatan Pupuan, ada 14 desa karena kalau kelompok desa tak bisa disatukan. Masing-masing punya aturan. Desa Belimbing, Karya Sari, Sanda, Batungsel, Padangan, Kebon Padangan, Jelijih Punggal, Pujungan, Pupuan, Bantiran, Sai, Pajahan, Munduk Temu, dan Belatungan. Semua di bawah payung kelompok Bambu Alam Sejahtera.

Ada yang maju dan biasa saja, tapi diperlakukan sama seperti ikut pelatihan. Di Gianyar ada Patas, Taro, Suwat, Kerta, Mancingan, Kota Gianyar, dan Masceti di tepi laut tapi tumbuhnya tak sebagus di daerah dingin, di atas 500 mdpl. Di Tabanan juga ada kelompok Sangketan dan Selemadeg. Ada juga ditanam di Bangli dan Lombok Tengah. Di Lombok, kami disiapkan kawasan lindung hasil bukan kayu jadi bisa bambu sekitar 300 hektar.

Sempat diusulkan rebung Tabah masuk untuk produk indikasi geografis, tapi lebih baik indikasi geografis bambu Tabah bukan rebungnya saja. Karena ada produk turunan lainnya.

 

M : Bagaimana cara budidaya?

D : Cara menanam dimulai dari batang atau bonggol. Setelah 6 bulan di polybag baru ditanam. Rencana saya setelah pensiun buat bibit kultur jaringan, mahal di awal tapi bisa buat lebih banyak. Kalau konvensional sedikit, satu truk isinya hanya 1000. Kalau kultur jaringan bisa dibawa ke mana-mana, sudah ada laboratoriumnya.

Bibit bambu ditanam saat musim hujan. Tidak dipupuk, cukup jatuhan daunnya. Pupuk kimia membuat tanah padat, cacing dan mikroorganisme di tanah mati. Kalau tanah padat rebungnya tak bisa tumbuh. Kalau di atas 2 tahun bambu ditebang untuk dijual.

 

 

Exit mobile version