Mongabay.co.id

Kedaulatan Pangan Makin Suram di Era UU Cipta Kerja

 

 

 

 

UU Cipta Kerja hadir bukan malah menguatkan kedaulatan maupun kemandirian pangan, malah sebaliknya. Berbagai kalangan menilai, kedaulatan pangan Indonesia, malah terancam. Beberapa organisasi tani, seperti Serikat Tani Indonesia, bersama koalisi masyarakat sipil, menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi, awal November lalu.

Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia dalam disksusi daring mengatakan, dalam UU Cipta Kerja ada beberapa pasal merugikan petani.

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Beberapa pasal yang bermasalah, katanya, antara lain berkaitan dengan impor pangan. Undang-undang sebelumnya, ada klausul jelas mengenai pembatasan impor pangan. Bahwa impor pangan bisa kalau produksi dalam negeri tak mencukupi kebutuhan masyarakat. Ketentuan ini hilang dalam UU Cipta Kerja.

“Sudah tidak ada lagi klausa mengutamakan produksi dalam negeri. Bisa dikatakan dengan UU Cipta Kerja ini ada legalisasi impor pangan yang sudah ada selama ini tanpa ada persetujuan dari kementerian dan sebagainya. Itu paling mendasar,” katanya.

Hal lain berkaitan dengan perkebunan. Dalam UU Cipta Kerja, ada perubahan visi pembangunan pertanian pangan di Indonesia menuju kedaulatan pangan. Orientasinya, bukan lagi perkebunan untuk rakyat tetapi perkebunan skala besar yang melibatkan korporasi.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

UU Cipta Kerja, katanya, mengubah Pasal 45 UU 39/2014 tentang Perkebunan perihal syarat memperoleh izin usaha. Sebelumnya, izin perkebunan harus terlebih dahulu mengantongi izin lingkungan, kesesuaian rencana tata ruang dan rencana perkebunan. Ketentuan ini lenyap dalam UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja juga mengubah Pasal 58 UU Perkebunan tentang syarat fasilitasi pembangunan kebun rakyat. Dalam pasal itu dinyatakan fasilitasi pembangunan kebun rakyat paling rendah 20% dari luas kebun. Ketentuan ini diubah jadi frasa sekitar 20%.

Dalam Pasal 58 ayat 1 ditambah ketentuan jadi fasilitasi pembangunan kebun rakyat itu dari seluruh atau sebagian lahan dari penggunaan di luar hak guna usaha dan atau areal dari pelepasan kawasan hutan.

“Jelas sekali perubahannya. Sebelumnya kebun yang difasilitasi dari dalam kawasan HGU, dengan UU Cipta Kerja ini ditegaskan di luar areal HGU.”

Kemudian beberapa ketentuan dalam Pasal 67 UU Perkebunan juga dihapus hingga perusahaan perkebunan tidak memiliki keharusan memenuhi persyaratan memperoleh izin usaha perkebunan. Beberapa persyaratan itu seperti analisis mengenai dampak lingkungan, dan analisis dan manajemen risiko bagi yang menggunakan rekayasa genetik. Juga, menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi kebakaran.

 

Jagung, salah satu pangan yang bisa produksi sendiri di dalam negeri.  Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ketentuan terkait ini dalam UU Cipta Kerja dikatakan akan diatur lagi dalam peraturan pemerintah.

“Jadi bagaimana dengan ekosistem atau lingkungan bagi tanah-tanah milik petani yang bersampingan dengan perkebunan? Apakah ada jaminan mengenai tidak pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh perkebunan?”

UU Cipta Kerja juga mengubah Pasal 14 UU Pangan berkaitan dengan pengaturan impor pangan. Dalam UU Cipta Kerja, kata Henry, aturan impor pangan jadi makin longgar. Impor pangan dicantumkan sebagai sumber penyediaan pangan.

Sebelumnya impor tak boleh selama sumber pangan dalam negeri masih mencukupi. Sebagai ganti, UU Cipta Kerja mencantumkan frasa dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan non tarif.

“Dulu, kita berjuang panjang untuk menghapus UU Pangan tahun 1996 hingga lahir UU Pangan 18/2012. Dengan ada UU Cipta Kerja ini ya jadi impor jadi begitu gampang sekali.”

Begitu juga soal UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Sebelumnya, ada kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri. Ketentuan ini diubah jadi pemerintah pusat dan daerah sesuai kewenangan wajib meningkatkan produksi dalam negeri.

Ketentuan mengenai pengaturan impor komoditas pertanian sesuai musim panen dan atau kebutuhan konsumsi negeri seperti yang tercantum dalam ayat dua juga dihapus.

“Dalam UU Cipta Kerja ini terjadi suatu pergeseran visi maupun paradigma dari pembangunan perkebunan rakyat, reforma agraria dan juga kedaulatan pangan yang sudah begitu lama diperjuangkan.”

Sebelum lahir UU Cipta Kerja ini, katanya, ada beberapa UU sudah mereka gugat ke Mahkamah Konstitusi. Henry bilang, antara lain, UU 18/2004 tentang Perkebunan diubah dengan UU 39/2014. “Meski akhirnya kita judicial review lagi. Kemudian ada UU 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, juga kita judicial review. Ada juga UU Hortikultura, UU Perlindungan Lahan Petanian Pangan Berkelanjutan dan lain-lain.”

Beberapa perundang-undangan pangan sebelumnya itu, kata Henry, tak pemerintah jalankan. Kemudian ada UU Cipta Kerja yang ‘melancarkan’ dengan menghapus aturan itu.

John Pluto Sinulingga dari Bina Desa mengatakan, pangan adalah hal sangat fundamental. Ia berkaitan dengan eksistensi dan ketahanan bangsa. Pangan juga hak asasi manusia.

 

Pisang, satu sumber pangan yang banyak ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Di Indonesia, katanya, soal pangan sudah diatur dalam UU No 18/2012 tentang Pangan. UU itu mengamanatkan, pangan harus tersedia cukup, aman, penuh gizi, beragam, dan murah mudah terjangkau Juga produksi mandiri dan diversifikasi pangan lokal serta memberikan perlindungan bagi konsumen dan produsen.

Perempuan, katanya, memiliki jasa besar terkait pangan. Perempuan, katanya, banyak menemukan metode bercocok tanam dan akhirnya menempatkan perempuan sebagai pekerja pertanian pertama.

BPS mencatat, perempuan petani di Indonesia pada 2018 ada 8.051.328 jiwa. Provinsi jawa Timur merupakan petani perempuan terbanyak, sekitar 1.559.572 jiwa.

Perempuan, katanya, terlibat memilih benih dengan cermat dan hati-hati agar panen berhasil baik dan cukup memberi makan keluarga. Perempuan juga berperan dalam penyimpanan bahan pangan keluarga. Mereka mengatur hasil panen untuk konsumsi keluarga sendiri, atau berikan tetangga yang memerlukan. Peran-peran perempuan ini menjadi hilang.

Banyak kebijakan yang menghilangkan peran penting perempuan dalam penyediaan pangan, seperti revolusi hijau dan intervensi WTO yang terkesan kapitalistik dan patriarki.

“Sekarang ada industrilalisasi dan privatisasi benih hibrida dan GMO (benih rakayasa genetik). Kita lihat banyak benih hibrida dan GMO adalah cara untuk mengatasi kelaparan, kemudian ada agreement on agriculture (AoA) yang dikeluarkan WTO. Bagaimana dari semua anggota WTO itu untuk menghilangkan hambatan-hambatan terhadap masuknya bahan-ahan pangan. Dikuatkan lagi dengan ada UU Cipta Kerja ini,” katanya.

Dengan berbagai instrumen kebijakan, katanya, pangan kini beralih fungsi hanya komoditas dagang. “Persoalan impor itu sebenarnya mulai dari rezim Soeharto dengan alasan efisiensi. Apa dampak dari semua ini? Kita banyak kehilangan keragaman hayati dan budidaaya tani. Dengan monokultur yang dicetuskan revolusi hijau, ternyata banyak padi dan bahan pangan lokal yang sebenarnya ada di komunitas, itu makin hilang.”

Belum lagi industrialisasi dan privatisasi benih akan menghilangkan pengetahuan dan pengalaman tentang pengelolaan pangan, terutama oleh petani perempuan. Hingga yang mengusai pengetahuan pangan adalah korporasi. Peran perempuan dalam penyedia pangan makin dihilangkan.

“Saya kemudian mencurigai, ada omnibus law ini juga mengarah kepada pertanian tanpa petani.”

 

Ubi nuabosi yang dijual di pasar Mbongawani Ende. Ubi jenis ini sering dicampur dari ubi daerah lainnya. Foto: Ebed de Rosary

 

Senada diungkap Rayhana Anwarie juga Bina Desa. Menurut dia, UU Cipta Kerja sangat berdampak terhadap perempuan petani di pedesaan. Perempuan, katanya, akan mengalami beban berlapis.

Dalam Pasal 19 UU Cipta Kerja juga mencantumkan persyaratan alihfungsi lahan untuk kepentingan umum. Sementara alihfungsi lahan pertanian untuk proyek strategis nasional, tidak dicantumkan.

“Alih fungsi lahan akan berdampak kepada perempuan, sebab mereka akan dijauhkan dari pangan. Ketika lahan lahan ini dialihfungsikan perempuan tidak bisa mengakses. Mau tidak mau, mereka harus keluar dari desa jadi tenaga kerja murah seperti asisten rumah tangga atau buruh migran,” katanya.

Dia mencontohkan di Kabupaten Takalar. Sekitar 53 hektar sawah produktif beralih fungsi jadi tambang pasir. Kondisi ini membuat petani perempuan kehilangan mata pencaharian. Pada akhirnya, itu menyebabkan mereka terpaksa meninggalkan desa untuk jadi buruh dengan upah murah.

Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) sekaligus Dosen Fakultas Pertanian IPB mengatakan, UU Cipta Kerja merupakan langkah mengintegrasikan total sistem pangan Indonesia dengan sistem pangan dunia.

Dia soroti antara lain, UU Pangan. Dalam pasal 36 dikatakan, impor pangan apabila produksi pangan dalam negeri tak mencukupi atau tak dapat diproduksi di dalam negeri. Dalam UU Cipta Kerja impor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Tidak peduli apakah produksi dalam negeri cukup atau tidak, impor pangan bisa dilakukan,” katanya.

Kemudian UU 13/2010 tentang Hortikultura. Pada Pasal 88 dikatakan, impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek ketersediaan produk hortikultura dalam negeri. Diubah UU Cipta Kerja dalam pasal 33, kalau impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek persyaratan kemasan dan pelabelan.

 

 

Keterangan foto utama: Sagu, pangan lokal warga. Indonesia kaya beragam pangan lokal, kalau ini termanfaatkan optimal, sangat mungkin tak ada istilah impor pangan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version