Mongabay.co.id

Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, untuk Siapa?

 

 

Sejumlah masyarakat di Kalimantan Tengah, terbagi antara pro dan kontra terkait proyek food estate yang ditargetkan seluas 30.000 hektar tahun ini.

Rencana pembukaan lahan pertanian di blok E dan B eks PLG juga dinilai akan merusak kawasan hutan. Terlebih, dengan dikeluarkannya PERMEN Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk food estate yang menjadi lampu hijau bagi pembabatan hutan lindung. Sementara, dari kacamata ahli hidrologi dan LSM Lingkungan, kondisi ini tidak menutup kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan dan ekosistem yang lebih besar.

Pemerintah daerah maupun Badan Restorasi Gambut berjanji akan hati-hati menganalisa pembukaan proyek food estate di kawasan kubah gambut tersebut.

Baca: Kawasan Hutan untuk Food Estate, Pegiat Lingkungan: Peluang Deforestasi Sangat Terbuka

 

Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah, Oktober 2020 lalu, untuk melihat kesiapan lahan food estate. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

Hasil penelitian lapangan dan pengukuran gambut di kawasan blok B, Simpur, daerah Desa Sakakajang, oleh Kitso Kusin dan tim peneliti dari Camp Laboratorium Alam Hutan Gambut [CIMTROP] Universitas Palangka Raya [UPR], mendapati kedalaman gambut yang lebih dari tiga meter.

“Kubah gambut itu malah di Simpur [kawasan yang masuk dalam rencana food estate], sebelah Jabiren [desa], lewat Saka Kajang. Itu tidak layak [untuk pertanian], kedalaman yang kami ukur 3,9 meter,” kata Kitso.

Pemerintah menggenjot proyek ambisius pembukaan lahan untuk ketahanan pangan atau food estate. Keseriusan ini ditandai kedatangan kedua kalinya Presiden Joko Widodo ke Belati Siam II, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

“Hari ini, saya kembali lagi ke Provinsi Kalimantan Tengah. Khususnya sekarang ada di Kabupaten Pulang Pisau. Kita ingin memastikan dimulainya food estate yang semuanya 168.000 hektar, akan ditanami padi untuk beras,” kata Presiden Joko Widodo, Kamis [08/10/20] lalu. Sebagai target tahun ini, akan dibuka lahan 10.000 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas.

Sebulan sejak kedatangan Jokowi ke Pulang Pisau, sejumlah alat berat berupa mesin bajak sawah dan mesin panen padi diturunkan ke Belanti Siam II, wilayah perdana food estate. Target di Belanti Siam mencapai 1.025 hektar yang terletak di REI 5-29, dengan 538 rumah tangga petani di dalamnya.

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

 

Inilah areal food estate yang dipersiapkan di Kalimantan Tengah. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

Kepala Desa Belanti Siam II, Amin Arifin mengatakan, petani akan kewalahan menerima proyek seluas itu.

“Petani sendiri di sini kan, ibaratnya satu orang itu tidak hanya satu hektar sawah. Lahan kita luas, jadinya mereka nggak mungkin, wong orangnya ya cuma ini-ini aja kan. Tenaga kerjanya cuma ini,” ungkap Amin yang mengaku mempunyai sawah seluas empat hektar.

Kata dia, untuk menggarap lahan bagian dalam [area REI 30], petani harus memodifikasi alat bajak.

“Pakai traktor juga, masyarakat di sini punya cara sendiri. Di double aja traktor itu, sebelum men-double diberi teng [jerigen] 35 liter kosong dua kiri-kanan. Supaya traktor di air tidak terlalu mendapat beban,” tutur Amin.

Sejak wacana proyek ketahanan pangan bergulir, sejumlah infrastruktur diperbaiki, misalnya jalan rusak. Selain itu juga, ada rencana pembuatan sekat kanal/tabat atau irigasi moderen, alat-alat berat dan benih yang dipasok ke petani dan operator dari TNI yang diturunkan membantu petani menggarap lahan.

Rasimun dan Wasis adalah petani penggarap. Mereka mendukung program ini. ”Sebenarnya tidak dibantu pun tetap jalan, apalagi kalau dibantu alhamdulilah. Tambah senang lagi, [sehingga] harapan kami jalan-jalan enak gitu. Ini kalau hujan traktor tidak bisa jalan, apalagi kalau lagi panen kan, gimana?” tutur Wasis.

Sebelum adanya proyek food estate, sebagian sawah di Belanti Siam I dan Belanti Siam II sudah menjadi sentra produksi padi di Kalteng. Dalam satu hektar lahan sawah mampu menghasilkan 4-8 ton, dengan perkiraan bersih 4-5 ton.

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

 

Kubah gambut di areal eks PLG. Peta: KLHK

 

Tidak semua setuju

Namun, tak semua warga di Pulang Pisau menerima rencana food estate. Seperti diutarakan Edy, warga Desa Jabiren.

“Kami menolak, bilamana program tersebut, dilaksanakan dengan tidak melibatkan masyarakat, serta tidak mengindahkan hak warga. jelas kami menolak,” katanya.

Edy menyebut, meskipun saat ini di Jabiren belum dilaksanakan program ketahanan pangan, namun telah masuk dalam perencanaan. “Harapan kami agar masyarakat dilibatkan serta optimalisasi lahan-lahan yang sudah ada. Juga, dilaksanakan sosialisasi agar tidak ada permasalahan di kemudian hari,” katanya.

Franky Samperante, Direktur Pusaka Bentala Rakyat berpendapat, keterlibatan masyarakat adalah kunci. “Jika pemerintah ingin berdayakan dan kembangkan usaha pertanian rakyat, masyarakat adat ataupun masyarakat lokal, idealnya berdasarkan pengetahuan dan inovasi yang dimiliki [masyarakat setempat],” katanya.

Pendapat ini dikuatkan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Dimas Hartono. Menurutnya, suara-suara protes yang tak didengarkan bisa menyebabkan kerugian keuangan negara di kemudian hari. Termasuk kerusakan ekosistem, ketimpangan penguasaan lahan dan konflik tanah yang meningkat.

“Hal ini telah meningkatkan konflik lahan dan merampas tanah masyarakat adat, serta menghancurkan sistem pertanian seperti handil, tatah, beserta tabat dan perikanan tradisional seperti beje. Juga turut menghilangkan sistem adat dan kearifan lokal lainnya sebagai bentuk pertanian/perladangan kolektif yang berkembang di masyarakat adat selama ini,” kata Dimas.

Baca: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

 

Peta Potensi Kesesuaian Lahan Sawah di areal eks PLG, Kalimantan Tengah. Peta: KLHK

 

Penetapan food estate di lahan gambut sensitif

Fathurrohman, pengamat kebijakan lingkungan di Kalimantan Tengah, menyoroti proyek raksasa ini. Menurutnya, rencana pelepasan kawasan hutan yang ada di blok E eks PLG berpotensi merusak lingkungan.

Hal ini terlihat dalam PERMEN LHK Nomor 24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk food estate, yang diterbitkan pertengahan November 2020. Pada Bab IV, tentang Mekanisme Penetapan Hutan Untuk Kawasan Pangan. Pasal 19 menyebutkan, penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate dengan mekanisme penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan [KHKP], dilakukan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi.

Meskipun dalam konsultasi publik, dalam rangka penyusunan Analisis Dampak Lingkungan [AMDAL] rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi rawa blok A, B, C dan D food estate seluas 165.000 hektar, namun dalam paparan KLHS blok E masuk dalam rencana food estate dengan luas kawasan 771.000 an hektar.

“Di eks PLG sekarang ini minimal ada 3 jenis lokasi. [1] 30.000 ha; [2] 165.000 ha; keduanya di luar blok E. Nah, KLHS termasuk yang disampaikan presiden justru menyebutkan angka [3] 771.000 an ha [masuk dalam blok E],” kata Fathurrohman.

Fathur menyebut, blok E adalah kawasan yang menjadi penyangga untuk blok lain, blok A, B, C, dan D, yang berada di bagian selatan [bawah]. Sementara, blok E berada di bagian utara [atas].

Baca: Food Estate Melaju di Tengah Banjir Kritik

 

Panen padi di daerah Belanti Siam II, Kalimantan Tengah. Foto: Dok. Makna Zaezar

 

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 166/Menhut/VII/1996 perihal Pencadangan Areal Hutan untuk Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah 1.457.100 hektar, disebutkan bahwa pendayagunaan kawasan eks PLG dilakukan, kecuali di blok/daerah kerja E. Blok ini mempunyai sifat fisik lahan gambut yang tebal [lebih dari 3 meter] dan heat forest yang diarahkan sebagai kawasan lindung [resapan air].

“Jika kawasan hijau [kubah gambut-blok E] terganggu maka akan berdampak pada blok lainnya,” kata Fatur.

Pemanfaatan kawasan blok E juga akan berdampak pada hilangnya tutupan hutan di kawasan tersebut. Blok E salah satu yang mempunyai tutupan dan hutan yang masih baik di Kalimantan Tengah [Kalteng].

Saat kebakaran besar 2015 dan 2019, kawasan blok E dan sekitarnya cukup terjaga kelembabannya, sehingga tidak banyak mengalami kebakaran. Posisi tutupan di Kalteng saat ini, jelas Fatur yaitu 48 persen, di KHG terdapat sekitar 30 persen, di eks PLG sekitar 20 persen.

“Nah, dari 20 persen di eks PLG itu, tutupanya paling banyak di blok E. Blok ini bahkan [kondisi hutannya] lebih bagus dari [hutan lain di] Kalteng,” tuturnya.

Lebih jauh Fatur menjelaskan, dalam kawasan gambut dikenal dengan istilah KHG atau kesatuan hidrologis gambut yang merupakan poros air dalam kawasan gambut. Atau, jika dalam kawasan tanah mineral disebut daerah aliran sungai [DAS].

“Gambut itu poros, sehingga aliran susah dikendalikan. Artinya, jalan air tidak hanya di sungai tapi di sela-sela gambut juga tinggi,” tambahnya.

Tidak hanya lokasi yang mungkin mengancam kawasan hutan dengan kubah gambut, Fathur juga melihat perlunya kelembagaan yang jelas dengan struktur kerja sinergis. Ia menyebut, kebijakan dan kelembagaan sulit dipisahkan, seperti dua sisi sekeping mata uang.

Jika melihat kondisi kebakaran di Kalimantan selama lima tahun ke belakang [2015-2019], kebakaran di Kalimantan Tengah mencapai 50 persennya, di KHG 43 persen, di PLG 22 persen, dan terbanyak di blok C yang telah habis tutupannya dan tidak langsung berhubungan dengan KHG dari blok E. Sementara blok A aman, karena masih punya tutupan.

Baca: Kala Proyek ‘Food Estate’ Bisa Makin Sulitkan Petani dan Dorong Krisis Pangan

 

Peta Kedalaman Gambut di Kalimantan Tengah. Peta: PRIMS Gambut [Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut]

 

Tinjauan yang sama disampaikan Kitso Kusin, peneliti dari CIMTROP. “Kami [peneliti gambut] mengharap di blok E tidak dibuka, gambut yang dalam di sini,” katanya, kepada Mongabay Indonesia [12/10/20].

Tahun 1998, CIMTROP mengukur ketebalan gambut di blok E dan mendapati yang terdalam lebih dari 8 meter. Namun dalam peta gambut saat ini, kedalaman gambut hanya 2-5 meter.

Menurut penelitian CIMTROP, terjadi subsidence [penurunan muka tanah] gambut per tahun untuk daerah yang terbuka hanya kurang lebih 1 cm. Sementara, jika terbakar maksimum 40 cm gambut yang hilang.

Kitso tidak yakin, jika dalam waktu kurang lebih 22 tahun terjadi penurunan ketebalan gambut yang cukup signifikan. “Di sana [blok E] cukup dalam [gambut] ya. Kita tahu gambut [kering] ini sangat rentan sekali terbakar. Kalau dibuka [mengakibatkan] gambut sangat kering [akibat dibuat irigasi],“ katanya.

Baca: Food Estate Melaju, Walhi Kalteng: Jangan Buka Lahan Baru

 

Peta perbandingan terjadinya kebakaran di Kalimantan Tengah. Peta: Presentasi Fathurrohman, pengamat kebijakan lingkungan di Kalimantan Tengah

 

Disebutkan dia, beberapa kebakaran besar dengan kabut pekat terjadi pada 1997, 2002, 2006, 2009, 2014, 2015 dan 2019. Penyebab utama kebakaran diketahui berawal dari pembukaan lahan gambut.

“Karena itu, dari dulu kita lakukan [upaya pencegahan], supaya gambut yang dalam jangan dibuka untuk pertanian. Itu [lahan gambut] hanya untuk konservasi saja. Dari 1997, kita berusaha memulihkan gambut, salah satunya dengan membuat sekat kanal. Saat air tanah naik, baru dilakukan penanaman kembali,” jelasnya.

Hasil penelitian lapangan dan pengukuran gambut di kawasan blok B, Simpur, dan daerah Desa Saka Kajang, menurut Kitso dan tim didapati kedalaman gambut lebih dari tiga meter.

“Kubah gambut itu malah di Simpur [kawasan yang masuk dalam rencana food estate], sebelah Jabiren, lewat Saka Kajang. Itu tidak layak [untuk pertanian], kedalaman yang kami ukur 3,9 meter,” kata Kitso.

Meskipun di sekitar sungai, sekitar lima kilometer ke dalam, masih tanah mineral yang dapat dimanfaatkan, setelah itu mulai gambut yang semakin ke dalam semakin tebal, lanjutnya [13/11/20].

Baca juga: Pilkada Serentak, Was-was Nasib Hutan dan Gambut Indonesia

 

Kanal primer eks PLG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang ditutup secara permanen. Nantinya ditengah hanya disisakan salurah air untuk jalur transportasi warga. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut [BRG] menyebut, belum mengkaji mendalam kondisi blok E yang direncanakan juga akan menjadi lahan yang akan dibuka dalam program food estate.

Jika melihat ancaman yang mungkin terjadi tetap akan dibuka, menurut Nazir, diperlukan diskusi antar-kelembagaan terkait.

“Tapi, kajian KLHS menjadi pegangan semuanya,” jawabnya, saat kunjungan pembukaan lahan 121 hektar sawah di Talio Hulu, Kabupaten Pulang Pisau [26/11/20].

Dalam tim Kaji Cepat KLHS, BRG sebut Nazir tidak masuk dalam tim kaji cepat. Hanya berkontribusi memberikan data-data gambut, terutama di kawasan eks PLG yang telah dipetakan dan potensinya yang ada di lapangan.

Hal senada diutarakan Herson Aden, staf ahli Setda Kalteng Bidang Pemerintahan, hukum dan Politik. “Tentu untuk daerah food estate tidak menjarah ke kawasan lindung, kubah gambut, tidak di situ. Pasti yang digunakan kawasan yang selama ini digarap masyarakat untuk livelihood-mata pencahariannya. Pertaniannya itu yang akan dikembangkan,” jelasnya.

“Ya pasti [melindungi blok E] karena itu kan sebagai kawasan hutan lindung. Dari Mantangai Hulu sampai “kanal neraka” [kanan terparah kebakaran tahun 1997] tidak akan diutak-atik, karena itu kawasan orangutan juga. Yang pasti, tidak membuka areal baru, tidak akan membabat,” tuturnya.

Esau Tambang, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, mengatakan pengembangan food estate perlu memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan begitu, ia menyebut, blok E yang menjadi kawasan konservasi tidak akan diganggu gugat.

“Kita tidak akan lakukan [di blok E], lihat saja dalam konsultasi publik, tidak ada. Itu kawasan konservasi yang harus dilindungi,” kata Esau.

Dalam konsultasi publik, saat ini Pemda Kalteng mulai melakukan AMDAL untuk pembangunan irigasi yang akan dikerjakan di empat blok, selain blok E. Irigasi yang dibuat, juga seraya memperhitungkan jalur transportasi dan pelabuhan.

 

* Tulisan ini didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Jakarta, program liputan Eksplorasi Kondisi Lahan Gambut di Indonesia Menggunakan PRIMS Gambut

 

 

Exit mobile version