Mongabay.co.id

Menyoal Pengembangan Baterai Nikel bagi Lingkungan Hidup dan Sosial

 

 

 

Awal November lalu, Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan operasional Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) di tiga tempat: Kantor PLN UP3 Cikokol, Alfamart Gandaria Kebayoran Baru dan Kantor Dirjen Ketenagalistrikan di Kuningan, Jakarta Selatan.

Arifin mengatakan, SPBKLU ini dapat jadi solusi percepatan terbentuknya ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.

“Kami berharap mekanisme SPBKLU ini dapat dikembangkan lebih luas lagi sesuai dengan roadmap yang sudah direncanakan, hingga memberikan manfaat bagi masyarakat luas,” katanya.

Rida Mulyana, Dirjen Ketenagalistrikan KESDM, mengatakan, saat ini ada sembilan titik SPBKLU di Jakarta, Tangerang dan Tangerang Selatan. Sesuai roadmap SPBKLU, kata Rida, pada 2025 ditargetkan tersedia 10.000 ribu SPBKLU dan 15.625 pada 2030.

Hal ini, katanya, merupakan komitmen KESDM dalam mendukung program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan sesuai Perpres No 55/2019.

 

Sedot Banyak Nikel

Kajian Wood Mackenzie 2020 memperkirakan, jumlah kendaraan listrik akan mencapai 323 juta pada 2040 atau naik 35 kali lipat dari saat ini. Saat sama teknologi baterai beralih ke teknologi yang memerlukan lebih banyak nikel.

Menurut International Energy Agency, pada 2019 terjual 65 kiloton nikel untuk baterai dan diprediksi meningkat hingga 925 kiloton pada 2025.

“Kebutuhan nikel tumbuh bersama pasar kendaraan listrik. Namun, rencana pemerintah untuk mengembangkan industri kendaraan listrik tak lepas dari masalah lingkungan,” kata Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam sebuah diskusi daring baru-baru ini.

 

Pelabuhan perusahaan nikel. Tampak tongkang dengan nikel mentah. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Indonesia, katanya, memiliki cadangan nikel terbesar di dunia mayoritas tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Nikel Indonesia, kata Pius, berjenis laterit yang lebih sulit diolah jadi nikel baterai. Karena itu digunakan teknologi hidrometalurgi high pressure acid leaching (HPAL) untuk memproduksi nikel baterai dari bijih laterit. HPAL menghasilkan limbah olahan berbentuk lumpur (tailing).

Di Indonesia, ada tiga proyek HPAL dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah dan Obi, Maluku Utara. PT QMB dan PT Huayue, perusahaan asal Tiongkok akan beroperasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada 2021. Sementara PT Halmahera Persda Lygend milik Harita Group dan Zhejiang Lygend beroperasi akhir tahun ini di Obi.

Smelter HPAL juga akan dibangun di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang dicanangkan menjadi sentra produksi baterai kendaraan listrik.

Masalahnya, kata Pius, proyek HPAL di Morowali dan Obi ini hendak membuang tailing ke laut dalam dengan alasan aktivitas seismik dan curah hujan tinggi. Sebanyak 25,6 juta ton tailing direncanakan buang ke laut Morowali oleh empat lini HPAL di kedalaman 250 meter. Keadaan ini akan jadi salah satu praktik pembuangan tailing terbesar di dunia.

Di Obi, tailing yang akan dibuang ke laut mencapai 6 juta ton pertahun pada kedalaman 230 meter.

Pius menegaskan, aktivitas ini berbahaya. Kandungan logam dan sisa pengolahan dalam tailing berpotensi masuk ke rantai makanan, terakumulasi dan mengancam manusia. Fungsi ekosistem laut juga terancam, termasuk mangrove yang mampu menyimpan karbon 1.023 ton CO2 per hektar.

“Pembuangan tailing ke laut juga tak bebas risiko gempa,” katanya.

Pembuangan tailing ke laut sudah dilarang di Kanada dan Amerika Serikat, serta ditentang oleh 51 negara termasuk Tiongkok.

 

Jumadil, memperlihatkan tali tempat bergantung rumput laut. Kini dia tidak lagi bertani rumput laut karena lahan terkena pencemaran dari tambang nikel. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Energi Batubara

Masalah lain yang jadi sorotan adalah listrik HPAL yang bersumber dari batubara. Di IMIP listrik dipasok PLTU batubara dengan kapasitas mencapai 2.410 megawatt. Di Obi, bersamaan dengan konstruksi HPAL, kapasitas PLTU akan ditingkatkan sampai 900 megawatt.

IWIP juga akan didukung PLTU 3×250 megawatt di akhir 2020. Kapasitas terpasang akan ditingkatkan bertahap hingga 2000 megawatt dengan kebutuhan batubara 248.000 ton per hari atau 8,8 juta ton per tahun dengan kandungan batubara berkalori 4.200 kkal perkg. Ini tergolong batubara kalori rendah.

Lantas, apa alternatifnya? Pius mencontohkan, HPAL Taganito di Filipina yang punya karakteristik geografis serupa, rawan gempa dan curah hujan tinggi, juga daerah badai tropis.

Dengan kapasitas produksi sedang, HPAL Taganito (36 kiloton pertahun) membuang tailing ke dam sistem downstream, sistem dam yang diyakini paling kokoh.

“Pembuangan tailing ke laut dapat dibaca sebagai usaha perusahaan menekan ongkos operasi dan mengalihkan ongkos dampak lingkungan pada masyarakat lokal,” katanya.

Untuk itu, katanya, dengan tak mengurangi dukungan terhadap kendaraan listrik namun mesti merancang eksploitasi nikel terbatas dan memberikan prioritas pada kendaraan publik. Kalau ekploitasi tidak terlalu masif, kata Pius, dampak lingkungan masih bisa dikelola.

 

Warga protes dampak buruk tambang nikel di Sulteng. Foto: Jatam Sulteng

 

Tekan Emisi?

Sisi lain, eksploitasi nikel juga menimbulkan dampak di lokasi tambang dan praktis memicu krisis iklim. Menurut Ketua Advokasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Moh. Taufik, lebih dari 200.000 hektar lahan tambang di Sulawesi Tengah memberi dampak pada masyarakat dan daya dukung lingkungan hidup.

Di wilayah hulu ada lahan masyarakat diterobos industri tambang. Masyarakat protes karena proses pemberian izin tak melibatkan masyarakat.

Dampak lingkungan serius juga terjadi kala banjir melanda Kecamatan Bahodopi pada 2018.

“Tiga desa terendam banjir,” kata Taufik.

Banjir juga mengakibatkan warga desa kehilangan lahan pertanian, tiga korban jiwa dan jembatan rusak sekitar Rp150 miliar.

Selain itu, katanya, laut Morowali juga terindikasi tercemar logam berat. Menurut nelayan, kata Taufik, lumpur yang mencemari laut juga mengakibatkan karang rusak dan ikan hilang.

“Ini semua hanya untuk kebutuhan kendaraan listrik yang kita tau penikmatnya bukan mereka,” katanya.

Danau Tiu di Morowali Utara, sekitar 600 hektar juga tercemar lumpur akibat aktivitas tambang nikel yang berdampak pada mata pencaharian warga di tiga desa dan nelayan tradisional.

Eksploitasi nikel di wilayah pesisir Teluk Tomori di Kabupaten Morowali Utara juga meninggalkan banyak lubang tambang yang tak direklamasi.

 

 

Tak hanya wilayah tangkap nelayan, aktivitas tambang nikel juga merusak sumber air bersih warga setidaknya di dua wilayah di Morowali dan Morowali Utara. Masyarakat, kata Taufik, juga mengeluhkan dampak debu karena lokasi pabrik smelter nikel berdampingan dengan pemukiman masyarakat, pakai PLTU sebagai pembangkit listrik.

Taufik juga menyoroti pendapatan daerah yang ‘jauh panggang dari api’. Seperti dikutip dari Kontan, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djonggala mendesak perusahaan smelter berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Menurut Longki, pemda tak mendapat dana bagi hasil karena sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 13.2017 produk nickel pig iron (NPI) yang dihasilkan smelter tidak kena tarif.

“Agak absurd ketika pemerintah mengatakan industri kendaraan listrik dan baterai untuk menekan emisi, tapi di wilayah eksploitasi nikel meninggalkan jejak buruk bagi warga, nelayan, dan wilayah setempat,” kata Taufik.

Hal serupa terjadi di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) berencana membangun kawasan terintegrasi mulai dari penambangan nikel hingga pengolahan baterai litium di atas lahan seluas sekitar 8.000 hektar yang semua merupakan lahan pertanian.

Munadi Kilkolda, anggota DPRD Halmahera Tengah, penguasaan lahan untuk industri ini secara paksa.

“Masyarakat tak punya pilihan, lahan dibayar murah,” katanya.

Selain kehilangan lahan pertanian, katanya, tambang di area ini juga menurunkan daya dukung lingkungan hidup dan terancam risiko bencana skala besar.

Selain krisis air, secara sosial, masyarakat sekitar makin jauh dari kedaulatan pangan.

“Mulai makan, belanja sembako, air bersih semua dibawa dari luar. Semua belanja dari kota.”

Tak hanya itu, wilayah tangkap nelayan juga makin hilang karena ada area yang semula wilayah pencarian nelayan beralih menjadi wilayah industri yang melarang nelayan menangkap ikan di sekitar kawasan IWIP.

Kampung-kampung dan jalan masyarakat, setelah menjadi konsesi perusahaan, dipagar dan akses masyarakat mencari kayu bakar seringkali terhambat.

Agnes Megawati, dari Departemen Media dan Komunikasi Eksternal PT IWIP mengatakan, saat ini proyek Weda Bay masih fase pertama sebatas produksi ferro nickel.

Di pabrik smelter, kata Agnes, dilakukan  pengolahan bijih nikel dengan menggunakan teknologi blast furnace (RKEF) yang menghasilkan produk akhir berupa ferro nickel.

Limbahnya, kata Agnes, dapat diolah jadi bahan baku untuk pengecoran jalan. “Jadi belum sampai di produksi bahan baku baterai listrik,” katanya.

Kemungkinan, katanya, di fase ketiga baru mulai untuk produksi baterai listrik. Bahan baku baterai listrik itu adalah nickel sulfide , dengan pengolahan bijih nickel pakai teknologi HPAL.

Untuk penyerapan tenaga kerja, kata Agnes, saat ini sudah ada sekitar 8.000 tenaga kerja baik dari lokal Maluku Utara maupun dari beberapa provinsi di Indonesia.

 

Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

***

Foto utama: Ilustrasi aktivitas pertambangan nikel. Dok: apni.or.id/istimewa

Exit mobile version