Mongabay.co.id

Panggilan Hati Ani Mardiastuti untuk Bergiat di Dunia Konservasi

 

 

Profesor Ani Mardiastuti adalah nama yang begitu dikenal di dunia konservasi, mulai satwa liar hingga hutan Indonesia. Perempuan 61 tahun ini telah menjadi pengajar di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor [IPB] sejak 1983.

Siapa sangka, awalnya perempuan berzodiak Libra ini sangat menyukai hal-hal seputar luar angkasa. Hingga Sekolah Menengah Atas, cita-cita utamanya adalah kuliah di Jurusan Astronomi, Institut Tekologi Bandung.

Namun, kenyataan berkata lain, ia harus ke Bogor. Ani masuk Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengalaman masa kecil bersama ayahnya di Palembang, keluar masuk hutan, menjadikannya hingga kini sangat senang mengamati satwa liar serta flora di penjuru hutan Indonesia. Bahkan mancanegara.

Mongabay Indonesia berkesempatan mewawancarai Avian Ecologist rendah hati ini, ditengah kesibukannya sebagai pengajar dan melakukan berbagai riset, akhir Desember 2020. Berikut petikannya.

Baca: Kesetiaan Johan Iskandar pada Burung-burung Citarum

 

Ani Mardiastuti saat melakukan penelitian bersama rekan dan mahasiswa di hutan Lambusango, Sulawesi Tenggara. Dok. Ani Mardiastuti

 

Mongabay: Bagaimana Anda menyukai dunia satwa liar hingga menjadi Avian Ecologist?

Ani: Dulu saya dan keluarga pernah tinggal di Palembang, Sumatera Selatan. Di sana, saya sering diajak ayah ke hutan dan terus terkenang. Saat saya memutuskan kuliah di Institut Pertanian Bogor, saya memutuskan mengambil Fakultas Kehutanan.

Saat itu, saya menyukai hal-hal tentang primata, hingga lulus S1 saya berkeinginan menjadi seorang Primatologist. Mimpi saya berlanjut, hingga saya mengambil S2 dan S3 di Michigan State University [MSU], Michigan, USA. Namun, mimpi itu harus berubah arah. Di MSU tidak ada pakar primatology, bila ingin mengambil bidang itu harus pindah kampus, begitu kata dosen pembimbing saya. Waktu itu tidak mungkin, terlalu repot bila tetap memaksakan keinginan.

Akhirnya, saya mengambil bidang Ornithology. Tidak pernah terbayangkan harus belajar dari nol, mengamati burung. Teman dekat saya, almarhum Heri Joko Susilo, yang memberikan ide untuk melakukan penelitian burung di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, untuk disertasi. Jarak Pulau Rambut di Teluk Jakarta dan Bogor tidak terlalu jauh.

Setelah proposal penelitian saya mengenai Habitat and Nest-site Characteristics of Waterbirds in Pulau Rambut Nature Reserves, Jakarta Bay, Indonesia disetujui, saya melakukan penelitian, hampir tiga tahun. Banyak menghabiskan waktu bersama almarhum Pak Laksa yang waktu itu bertugas di Pulau Rambut.

Meski tidak menjadi ahli primata, kecintaan saya tidak pudar. Saya mengajar S2 Program Primatology IPB.

Baca: Dewi Malia Prawiradilaga akan Terus Menemukan Jenis Burung Baru

 

Ani Mardiastuti bersama Duta Besar Denmark dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam sebuah kegiatan beberapa waktu lalu. Foto: Dok. Ani Mardiastuti

 

Mongabay: Siapa mentor Anda?

Ani: Saya tidak punya mentor. Saya belajar sendiri dari buku “Burung-burung di Jawa dan Bali” karangan John MacKinnon, juga dari petugas di Pulau Rambut.

Selama saya mengerjakan disertasi, saya pernah diajak pengamatan bersama Bu Yeni Aryati Mulyani [Dosen Ekologi dan Perilaku Satwa Liar IPB] dan Bas van Balen [peneliti dan ahli burung], di Kampus IPB di Darmaga. Saya terpukau melihat keahlian Pak Bas, hanya mendengar suara burung, ia tahu jenisnya.

Dari pengalaman itu saya banyak belajar. Semakin sering pengamatan di sekitar rumah, semakin bertambah ilmu saya.

Baca: Jalan Panjang Yus Rusila Noor Melindungi Burung Air

 

Bangau bluwok di Pulau Rambut. Foto: Asep Ayat

 

Mongabay: Jenis burung favorit Anda?

Ani: Saya menyukai burung dengan segala kelebihannya. Semua burung itu memukau. Bila harus memilih, keluarga rangkong tentunya.

Setiap kali melihat rangkong, saya selalu takjub. Bayangkan, burung itu besar tapi jenis makanannya kecil. Rangkong bersarang di lubang pohon, namun ia sendiri tidak bisa membuat lubang.

Rangkong juga memiliki suatu perlambang: kesetiaan terhadap keluarga. Jantannya setia dengan keluarga dan pasangannya. Ia akan mencari makan dan memberi untuk betina untuk anaknya.

Meski tampak menakutkan dari suara atau ukurannya, jenis ini sangat sensitif. Selain itu, ia dikenal sebagai petani hutan, karena dari makanan dan kotorannya berupa biji, dapat “ditanam” dimanapun ia pergi.

Foto: Rangkong, Burung Sakti Penebar Biji

 

Julang papua bertengger di sarangnya. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Pengalaman tidak terlupakan saat Anda di lapangan?

Ani: Setiap kali saya ke lapangan [di Indonesia], selalu ada pengalaman baru dan mengesankan. Dari luar Indonesia pun banyak hal tidak terlupakan.

Saya pernah ke Afrika Selatan mengamati burung penguin [famili Spheniscidae], yang lewat di bawah kaki saya tanpa takut. Saat saya ke Kanada, burung liar mengambil makanan yang saya letakkan di tangan, tanpa ragu.

Atau sewaktu saya mengambil mata kuliah Ornithology di MSU, bayangkan betapa sulitnya saya mengenali dan menghafal nama-nama burung di sana, sambil bersaing dengan teman-teman asli Amerika.

Baca: Burung Terancam Punah Penghuni Pulau Rambut

 

Burung ibis cucuk besi di Pulau Rambut. Foto: Asep Ayat

 

Mongabay: Menurut Anda, apakah konservasi burung harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah?

Ani: Semua level pendidikan perlu memasukkan konsep konservasi, tidak hanya burung. Kita semua perlu dididik dan dilatih tentang konservasi lingkungan, konservasi sumber daya alam, konservasi sumber hayati dan non-hayati, hingga konservasi energi.

Setidaknya, kita mengajarkan ke semua orang dan anak didik untuk menggunakan sumber daya alam seperlunya, seperti makanan yang tidak boleh terbuang sia-sia.

Energi juga, misalnya penggunaan AC, jangan dihamburkan. Sumber daya alam itu terbatas, harus bijak pemanfaatan dan penggunaannya.

Baca: Opini: Pelepasliaran Burung dan Cara Bijak Melakukannya

 

Ani Mardiastuti bersama rekan-rekan lapangan [BKSDA DKI] membersihkan tumpahan minyak di Pulau Rambut. Foto: Dok. Ani Mardiastuti

 

Mongabay: Sebagai seorang Avian Ecologist, dengan bertambahnya jenis burung baru [newly described species] yang ditemukan, apakah konservasi di Indonesia semakin baik?

Ani: Menurut saya, spesies burung di Indonesia sebetulnya itu-itu saja. Tahun 2020, Indonesia tercatat memiliki 1.794 spesies, sementara 2013 sekitar 1.605 spesies. Berarti, kita punya tambahan 189 spesies baru selama 7 tahun terakhir.

Spesies ‘baru’ sebetulnya merupakan ‘pecahan’ [split] dari jenis yang ada. Meningkatnya ilmu genetika untuk pengenalan dan pemilahan spesies, kita sering tergelitik untuk memisahkan sub-spesies menjadi spesies baru. Umumnya, terjadi karena adanya isolasi geografis di pulau-pulau kecil.

Penambahan jenis baru menjadi ‘pisau bermata dua’. Dari sisi konservasi, membuat kita rugi, karena banyak yang langsung berstatus terancam punah, berdasarkan daftar merah IUCN.

Di sisi lain, kita bangga karena keanekaragaman hayati bertambah. Banyak kesempatan untuk mempelajari spesies baru.

Baca juga: Jumlah Jenis dan Risiko Kepunahan Burung di Indonesia Meningkat

 

Ani Mardiastuti bersama Yeni Aryati Mulyani saat menangani gangguan burung kuntul di rig Pertamina, Kalimantan Timur. Foto: Dok. Ani Mardiastuti

 

Mongabay: Pandemi memaksa orang-orang untuk tidak melakukan kegiatan di luar rumah. Apakah ini membuat kehidupan burung liar semakin aman?

Ani: Selama pandemi kita tidak bisa melakukan penelitian. Berdasarkan prediksi ilmiah, dampak pandemi terhadap keberadaan burung dapat dikatakan positif, dalam artian banyak kesempatan bagi burung untuk berbiak karena minimnya gangguan manusia.

Namun, bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan, yang tidak punya pendapatan ekonomi, pandemi membuat mereka bisa saja berburu, mengambil satwa apa saja termasuk burung, untuk dikonsumsi.

Selama pandemi, pengawasan kawasan konservasi mungkin berkurang karena terkendala banyak hal, sehingga perburuan dapat saja meningkat. Kejadian ini dilaporkan oleh rekan dari Vietnam pada beberapa waktu lalu.

 

Mongabay: Terkait kebakaran hutan, apakah burung bisa bertahan hidup?

Ani: Burung memiliki kemampuan yang baik untuk terbang dan pindah. Bila terlalu panas di dataran rendah, misalnya, mereka bergerak ke wilayah lebih tinggi atau lokasi lain. Dengan demikian, kelompok burung masih dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Sementara, kelompok satwa lain, contohnya amfibi, akan lebih rentan.

 

Ani Menjadi juri internasional pada kompetisi QuaryLife Heidelberg Cement. Foto: Dok. Ani Mardiastuti

 

Karier dan keluarga

Kegiatan padat di lapangan maupun kampus, tidak membuat Ani Mardiastuti melupakan keluarga. Meski menjabat Ketua Dewan Perhimpunan Burung Indonesia, pendiri dan anggota IdOU [Indonesian Ornithological Union], Anggota Dewan Pengurus WWF Indonesia dan Anggota Dewan Pengawas Yayasan Kehati, serta Direktur Eksekutif Yayasan Pembangunan Berkelanjutan [ad interim], dia selalu menyempatkan diri nonton film bersama keluarga. Mulai genre misteri, action, luar angkasa, hingga detektif.

Berkebun dan bermain piano klasik juga menjadi salah satu hobinya. Tak lupa, bersepeda bersama suami tercinta, Dr. Tonny Soehartono, menjadi kegiatannya selama pandemi.

Mongabay: Bagaimana Anda membagi waktu antara karier sebagai pengajar dan Avian Ecologist, juga sebagai ibu?

Ani: Sedari dulu saya sudah berada di situasi ini. Waktu sekolah S2 dan S3, saya telah memiliki anak dan harus membagi waktu: untuk anak, suami dan rumah-tangga, sambil belajar.

Trick ‘mencuri waktu’ saya lakukan, misalnya selama perjalanan menggunakan mobil, saya berpikir tentang topik kuliah, atau membuat alur tulisan untuk jurnal, juga mengerjakan hal lain yang berguna. Sering pula, “berpikir” sambil berolahraga. Jangan heran kalau di mobil saya selalu ada barbel, ‘Chinese boading balls’ dan ‘hand grip’ untuk berolahraga dalam mobil!

Saat di dapur, saya harus efisien memasak. Saya tidak punya asisten rumah tangga, jadi harus bergerak cepat agar bisa meneruskan pekerjaan lain. Sambil memasak, saya juga mesti mengurus baju cucian atau merapikan meja.

Kita sebagai perempuan, memiliki kemampuan multitasking lebih baik daripada pria. Bukan berarti perempuan lebih pandai ya, tapi kita sering dihadapkan dengan situasi yang banyak, melakukan berbagai hal untuk segera diselesaikan.

 

Ani Mardiastuti merupakan Avian Ecologist yang terus belajar sekaligus memantau perkembangan konservasi burung liar di Indonesia. Foto: Asep Ayat

 

Mongabay: Saat ini, semakin banyak orang yang memilih karir sebagai pengajar?

Ani: Sebetulnya banyak yang tertarik, pintar, dan masuk kualifikasi menjadi pengajar/dosen bidang konservasi.

Untuk lulusan yang masih berkeinginan menjadi pengajar tapi tidak bisa karena tidak dibukanya kesempatan, bisa bekerja dalam bidang serupa, seperti peneliti dan penyuluh. Atau, pekerjaan yang sifatnya berhubungan dengan orang lain dan menyebarkan ilmu pengetahuan.

 

Untuk bergiat di dunia konservasi, menurut Ani, kita harus memiliki panggilan hati dari diri sendiri. Foto: Dok. Ani Mardiastuti

 

Mongabay: Pesan Anda untuk mahasiswa yang tertarik dunia konservasi?

Ani: Kepada mahasiswa, saya selalu menekankan untuk mengerjakan hal-hal yang disukai. Tentu ‘suka’ dalam artian positif. Apa yang kita suka, tentu akan kita kerjakan dengan senang hati, sehingga hasilnya bagus.

Bila Anda senang di alam, ambil karir yang berkaitan dengan alam. Kerjakan sungguh-sungguh, tentunya dengan cara yang baik dan menyenangkan.

Pastinya, untuk bekerja di dunia konservasi, harus ada “panggilan hati” yang murni dari diri kita sendiri.

 

 

Exit mobile version