Mongabay.co.id

Semangat Menjaga Laut di Pulau Semujur [Bagian 1]

 

 

Sore itu, Minggu [27/12/2020], kapal yang kami naiki beranjak dari Dermaga Desa Batu Belubang, Kecamatan Pangkalabaru, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung. Yusman, kapten kapal, membawa kami menuju Pulau Semujur, sebuah pulau di pesisir timur Kabupaten Bangka, yang sebelah utaranya adalah Laut China Selatan.

Dua mesin kapal kapasitas masing-masing 100 PK menghantam gelombang laut yang saat itu tengah musim angin utara. Angin yang cukup ditakuti nelayan kecil, karena sering menimbulkan ombak besar dengan ketinggian satu meter lebih.

Baca: Sungai Upang dan Masa Depan Konservasi Pulau Bangka

 

Suasana malam di Pulau Semujur yang sunyi, karena para nelayan melaut. Pulau Semujur dulunya rumah Suku Laut Sekak. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sekitar dua mil dari bibir pantai Batu Belubang, terlihat aktivitas tambang timah apung. “Tambang ini yang membuat lumpur di pesisir pantai Batu Belubang semakin tebal, meyulitkan nelayan saat air surut. Harus berjalan meyusuri lumpur puluhan meter, agar sampai darat,” kata Yusman.

Setelah melewati lokasi tambang timah, kondisi air laut mulai berbeda, dari keruh berganti kebiruan. Dari kejauhan terlihat sejumlah nelayan mengangkat jaring. Dampak angin utara terlihat dari banyaknya bagan apung yang mendekat ke Pulau Panjang, pulau yang bersebelahan dengan Pulau Semujur.

Hal yang sama juga terlihat di sekitar pantai Pulau Semujur. Puluhan perahu nelayan terpaksa menepi karena angin kencang menerpa. “Memasuki Desember, banyak nelayan singgah dan menginap di sekitar Semujur. Musim angin utara mereka manfaatkan untuk memperbaiki, atau mengecat kembali perahu,” jelas Yusman.

Menempuh perjalanan sekitar 45 menit, akhirnya kapal yang kami tumpangi berlabuh di sisi barat Pulau Semujur. Maydi, Ketua RT di Pulau Semujur membawa kami ke penginapan di sisi selatan pulau yang memang disewakan bagi wisatawan.

Baca: Terasi Toboali Bergantung pada Kelestarian Laut Bangka

 

Seorang nelayan berdiri diantara di sisi utara Pulau Semujur. Foto Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Di masa lalu, Pulau Semujur merupakan rumah Suku Laut Sekak yang pada era Orde Baru dipindahkan ke Desa Baskara Bakti. Sepeninggalan Suku Sekak, Pulau Semujur kini ditinggali warga dari Kabupaten Buton [Sulawesi Tenggara], yang berbaur dengan penduduk Desa Tanjung Gunung, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah, yang juga menetap di Pulau Semujur.

Pulau Semujur secara administratif masuk Desa Kebintik, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah. Jumlah penduduknya sekitar 240 jiwa yang tinggal di 83 pondok kayu ulin berdinding bambu.

“Sebagian masyarakat merupakan pendatang dari Buton yang menetap sementara waktu. Mereka sering pulang saat air laut mulai tenang. Tetapi ada juga keturunan Buton dan melayu yang mempunyai KTP Bangka, berasal dari Desa Tanjung Gunung. Jika dihitung, hanya 10 kepala keluarga yang benar-benar menetap,” kata Maydi.

Kami pun disambut senyum ramah warga yang sibuk memperbaiki jaring, membuat bubu, menimang anak, dan bercengkrama satu sama lain. Pemandangan yang akan sulit ditemui jika bukan musim angin utara.

“Beginilah kegiatan warga kalau musim angin utara, kebanyakan hanya makan tidur, dan mencari ikan di pinggir pantai untuk lauk. Sehabis itu, ya ngobrol dan tidur,” jelas Maydi. Kesibukan terlihat pada Februari atau Maret, mereka akan mencari ikan hingga ke Pulau Gelasa di Selat Karimata.

Baca: Pesona Pulau Begadung yang Bebas Tambang Timah dan Bom Ikan

 

Anak-anak bermain di atas rotan yang digunakan sebagai kerangka bubu untuk mencari ikan. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Kami tiba di penginapan yang dibangun pemerintah Kabupaten Banga Tengah 10 tahun lalu. Biaya penginapan 250 ribu Rupiah untuk satu hari, dengan fasilitas kamar tidur dan kamar mandi di dalam. Ada aliran listrik dari pukul enam sore hingga pukul satu malam.

Fasilitas di Pulau Semujur sedikit berbeda dengan pulau lainnya di Pulau Bangka. Di sini, ada toko milik warga yang meyediakan berbagai kebutuhan. Harganya tidak ada perbedaan dengan di daratan.

“Tetapi, jika ingin belanja kebutuhan, usahakan sebelum jam 10 malam, karena toko akan tutup. Begitupun jika ingin membeli ikan, cumi dan lainnya,” saran Maydi, sembari memberikan kunci kamar kepada kami.

Baca juga: Dian Rossana Anggraini, Pelestari Anggrek di Bangka Belitung

 

Dua pelancong lokal menikmati birunya air laut Pulau Semujur. Foto: Nopri ismi/Mongabay Indonesia

 

Suasana malam Pulau Semujur

Langit mulai gelap, pertanda malam segera tiba. Lampu pondok warga mulai menyala. Listrik tersebut sebagian bersumber dari panel surya yang mereka beli secara mandiri. Namun, ada juga sebagian rumah menggunakan genset.

“Sekitar 10 tahun lalu, warga di sini pernah diberikan bantuan diesel sebesar 16.000 watt dari pemerintah Kabupaten Bangka Tengah. Tetapi, selang beberapa tahun rusak, karena tidak terawat. Alhasil, warga secara mandiri membeli genset atau panel surya, jika ingin terang saat malam,” lanjut Maydi.

Suasana malam di Pulau Semujur dihiasi kelap kelip lampu perahu nelayan yang bersandar.

Saat Desember, air laut surut di malam hari. Hal ini dimanfaatkan warga untuk mencari kepiting, cumi, kerang atau ikan-ikan kecil yang terjebak di sela karang.

Bermodalkan sebuah senter dan jaring, Roni, nelayan asal Tanjung Gunung, berhasil mendapatkan kepiting dan sejumlah kerang malam itu.

“Lumayan untuk lauk esok.”

Setelah menikmati cumi dan ikan kerapu bakar, kami memutuskan istirahat. Seiring berhentinya suara mesin genset warga, suasana Pulau Semujur seketika sunyi, hanya menyisakan lampu kapal nelayan.

 

Seorang nelayan mengangkat jaring di sekitar perairan Pulau Semujur. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesi

 

Terbebas tambang

Hujan badai menyambut pagi pertama kami di Pulau Semujur. Badai disertai angin kencang berlangsung hingga pukul 8 pagi WIB.

Namun, setelah badai mereda, kami langsung menuju pantai. Layaknya lirik lagu “Badai Pasti Berlalu [Erros Djarot]”, setiba di pantai, kami disambut birunya air laut serta sejumlah nelayan yang menepi, setelah semalaman melaut.

Harmin, seorang nelayan mengangkat seekor ikan berukuran besar.

“Beratnya bisa lebih 10 kilogram ini. Alhamdulillah, meskipun semalam diterpa badai, hasil tangkap lumayan. Beruntung di dekat perairan Pulau Semujur ini tidak ada tambang, jadi masih mudah mendapat ikan berukuran besar, seperti pari, kerapu dan lainnya.”

Pulau Semujur yang luasnya sekitar 13 hektar, memang terbebas dari tambang timah laut. Kondisi lautnya cukup terjaga.

“Meskipun bebas tambang, di sejumlah titik Semujur, khususnya di barat dan utara pulau, terkena dampak. Terumbu karang yang tertutup lumpur terlihat jelas, saat air laut surut,” kata Maydi.

 

Seorang nelayan menunjukkan hasil tangkapannya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Semangat menjaga laut

Suku Laut Sekak, yang terkenal arif terhadap laut, memang tidak lagi berada di Pulau Semujur, akan tetapi semangat menjaga kelestarian laut masih ada dan dijaga oleh setiap nelayan yang tinggal maupun mencari ikan di sini.

“Kami nelayan di sini, meskipun pendatang, tetap menjaga kebersihan laut. Kami berkomitmen tidak menggunakan peralatan tangkap merusak, seperti trawl, pukat harimau, maupun bom ikan,” kata La Ape, nelayan keturunan Buton yang tinggal di Pulau Semujur.

Masyarakat Pulau Semujur paham, pulau tersebut pernah menjadi rumahnya Suku Laut Sekak. Bahkan, mereka masih percaya, jika berbuat kerusakan terhadap laut, akan ada teguran dari yang Mahakuasa, baik berupa badai atau menjauhnya ikan dari perairan Semujur.

“Hingga saat ini tidak ada warga yang berani merusak laut, bahkan kami siap mengusir siapa pun yang berani merusak lingkungan,” ujar La Dua, warga keturunan Buton lainnya.

Sore hari, kami pulang dengan gembira, sembari berharap, semangat menjaga laut tetap tumbuh dan menyebar ke seluruh masyarakat di Pulau Bangka. [Bersambung]

 

 

Exit mobile version