Mongabay.co.id

Gunung Guha: Habitat Udang Purba, Wisata Alam dan Ancaman Eksploitasi Karst

kondisi lorong gua Sibibijilan_Azizfardhani

 

Pengelolaan ekosistem karst perlu pendekatan kehati-hatian. Sifat karst yang unik, -yang terdiri dari sistem perguaan dan aliran sungai bawah tanah, sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Jika tidak ditangani, maka ekosistem rapuh ini dapat menuai bencana bagi lingkungan dan manusia.

Adapun, salah satu ekosistem karst penting yaitu Kawasan Gunung Guha yang terletak di Desa Tanjung Sari, Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.

Formasi batugamping ini, diperkirakan memiliki ketebalan lebih dari 400 meter, dan berumur geologi Miosen Tengah atau sekitar 15 -11,2 juta tahun lalu (Sukamto dan RAB 1975)[1]. Dalam perkembangan morfologi endokarst juga ditemukan gua-gua yang memiliki beragam ornamen yang masih meneteskan air dan membentuk sungai bawah tanah[2].

Kawasan karst ini terbentang dari selatan ke utara yang mencakup dua administrasi kecamatan yaitu Jampang Tengah dan Nyalindung. Bentang alam karst Karst Gunung Guha merupakan bagian dari formasi karst Bojonglopang yang memiliki luas sekitar 7.639 hektar.

Lanskap karst Gunung Guha adalah daerah perbukitan dengan ketinggian 500-700 mdpl dengan batu gamping yang tebal lewat proses karstifikasi yang berkembang cukup baik. Hal ini ditandai dengan ditemukannya morfologi eksokarst seperti dolina (cekungan tertutup), ponor, telaga dan mata air.

Karst Gunung Guha adalah daratan tertinggi dibanding wilayah sekitarnya. Di bawahnya banyak bermukim perkampungan masyarakat yang mengelilingi wilayah perbukitan ini sampai ke batas sungai Cimandiri di bagian barat laut sana.

Pada kaki perbukitan ini tersebar lahan pertanian padi sawah dan padi ladang (huma) milik masyarakat. Tidak heran, air yang mengalir ke ladang dan perkampungan berasal dari perbukitan karst ini.

Baca juga: Karst dan Gua-Gua Alam: Sisi Lain Kekayaan Kepulauan Aru yang Perlu Diketahui

 

Aliran sungai bawah tanah di dalam Gua Legok Picung. Foto: Denny Batara

 

Keanekaragaman Hayati dan Potensi Sumberdaya

Pada akhir Desember 2020 lalu, kelompok pecinta alam Lawalata IPB melakukan pemetaan, penelusuran, dan pendataan sebaran gua dan mata air yang ada di wilayah karst Gunung Guha. Karakteristik gua-gua ini sendiri memiliki lorong yang bervariasi antara vertikal dan horizontal. Secara umum, mulut gua terletak di area lembahan (dolina) dan sebagian terletak di punggung bukit.

Dalam kajian eksplorasi, sedikitnya teridentifikasi 7 gua dan 1 mata air (Lawalata IPB, 2020). Berdasarkan informasi warga setempat, diduga masih ada beberapa gua lain dan mata air yang saat ini berada di wilayah pertambangan gamping di Kampung Nagrak (Rawaseel).

Dari penelusuran, bagian dalam gua memiliki beragam ornamen (speleotem) seperti stalaktit, stalakmit, gourdam, flowstone dan sodastraw yang masih meneteskan air perkolasi. Di beberapa gua juga dijumpai sungai bawah tanah yang mengalir cukup deras. Salah satunya adalah Gua Legok Picung.

Gua ini memiliki panjang lorong terpetakan sekitar 465 meter, dengan beberapa bagian lorong memiliki tingi 5 kali lebih dibanding lebar lorongnya. Lorong gua bercabang dan pada lorong utama dijumpai aliran air yang mengalir dari arah barat-selatan menuju timur-utara. Air gua ini diduga keluar menjadi mata air Sumur Salada yang berjarak 315 meter sebelah utara gua.

Fauna yang dijumpai berdasarkan observasi di dalam Gua Legok Picung cukup beragam.

Pada zona remang (terang-peralihan gelap), dapat ditemui seperti ular sanca (Python reticulatus), katak, kecoa dan kelelawar. Pada zona gelap, dijumpa jangkrik (Rhaphidophoridae), Diplopoda (kaki seribu), laba-laba, kelelawar serta fauna akuatik ikan dan kepiting. Pada zona gelap total dijumpai jenis-jenis ikan, Amblypygi (kala cemeti), jangkrik dan udang purba (Stenasellus sp).

Keberadaan udang purba Stenasellus sp adalah contoh adaptasi ekstrim spesies  isopoda dalam lingkungan ekstrim gua sejak jejak nenek moyang jenisnya yang hidup di air asin (Rahmadi, 2018).

Baca juga: Stenasellus javanicus, Isopoda Gua Merah Jambu yang Terancam Punah

 

Udang purba Stenasellus sp di Gua Legok Picung. Foto Denny Bhatara

 

Lingkungan yang gelap total serta kelembapan yang tinggi dan rentang suhu yang sangat sempit menyebabkan beberapa spesies fauna yang hidup mempunyai kemampuan adaptasi dan berevolusi ke bentuk yang sangat unik dan bahkan aneh[3].

Persebaran udang purba Stenasellus di dalam gua di Jawa Barat sejauh ini sangat terbatas. Sejauh ini, persebarannya baru teridentifikasi di gua-gua yang ada di Bogor (Karst Citeureup dan Ciampea) dan Sukabumi (Gunung Walat dan Buniayu). Temuan ini tentunya menjadi catatan baru sebaran Stenasellus di wilayah karst di Jawa bagian barat.

Lain hal dengan Gua Sibibijilan. Gua ini memiliki aliran sungai bawah tanah yang keluar melalui mulut gua. Aliran air yang deras membuat adanya potensi banjir tinggi di gua ini. Lorong gua berbentuk horizontal dan memiliki satu mulut gua lain yang berbentuk vertikal.

Pada ujung lorong gua, berbentuk sump atau lorong tertutup air dan sumber aliran sungai. Panjang lorong gua yang terpetakan sekitar 353,5 meter dan masih berpotensi lebih panjang lagi.

Aliran dari Gua Sibibijilan membentuk sungai yang mengarah ke kampung Rawaseel. Air dari gua ini dimanfaatkan masyarakat untuk pengairan sawah dan kebutuhan air rumah, yang tampak dari banyaknya pipa yang dipasang di mulut gua ini. Selain itu, masyarakat juga membuat irigasi yang mengalirkan air ke lahan pertanian di lembah-lembah di sisi bukit.

Baca juga: Gua-Gua Alam Gunung Bongkok, Surga Tersembunyi di Pegunungan Halimun

 

Irigasi dan lahan pertanian sawah masyarakat di Rawaseel. Foto: Aziz Fardhani

 

 

Wisata Alam Situ Cipiit

Situ Cipiit merupakan perwujudan sebuah telaga karst luas yang terbentuk pada cekungan tertutup (dolina). Telaga dengan luas sekitar 12.865 m2 ini memiliki debit air yang cukup stabil. Menurut masyarakat air di Situ Cipiit belum pernah kering, meski pada saat kemarau air dapat menyusut, walau tak sampai ke dasar.

Dikelilingi oleh rindangnya pepohonan pinus, Situ Cipiit dan kawasan sekitarnya telah menjadi sebuah objek wisata alam. Ketika akhir pekan tiba, banyak orang berdatangan dari Sukabumi dan sekitarnya untuk berekreasi di tempat ini.

Tidak hanya itu, para wisatawan juga dapat melakukan kegiatan camping di pinggir telaga. Warung-warung yang bertebaran di sekitar tempat wisata menyediakan penyewaan peralatan camping. Atraksi lain, wisatawan bisa melakukan trekking menuju puncak Pandawa. Dari puncak bukit tersebut dapat terlihat pemandangan situ (telaga) yang indah.

Untuk wisatawan yang suka berpetualang, Wana Wisata Situ Cipiit juga menyediakan opsi wisata minat khusus penelusuran gua. Untuk kegiatan ini, para wisatawan wajib didampingi oleh pemandu (guide). Selain wisata, Situ Cipiit juga dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai tempat memancing ikan dan menjaring udang.

 

Situ Cipiit dengan latar belakang area karst yang ditambang. Foto: Denny Batara

 

 

Ancaman Eksploitasi Tambang

Jika bagian lain dari Kawasan Karst Gunung Guha masih terjaga, tidak demikian dengan bagian karst di wilayah kampung Leuwi Dinding. Mengutip pada berita media lokal, warga kampung ini telah merasakan dampak dari kegiatan penambangan batu gamping.

Selain dampak ledakan (blasting)[4] yang membuat tembok dan fondasi rumah bergetar, sejak tahun 2016[5] warga juga mengeluhkan kesulitan air bersih karena hilangnya mata-mata air di sekitar lokasi aktivitas penambangan[6].

Hasil penelusuran data, kegiatan penambangan dilakukan oleh PT Tambang Semen Sukabumi (TSS) yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) seluas 501 hektar di wilayah Gunung Guha.[7] Adapun PT TSS adalah anak dari Siam Cement Group (SCG), yang memiliki pabrik pengolahan semen di Desa Sirnaresmi.

Hal yang dikhawatirkan adalah area kegiatan pertambangan berjarak cukup dekat dengan lokasi wisata Situ Cipiit, yang hanya berjarak satu bukit di sebelah utara. Hasil overlay peta konsesi tambang lewat citra satelit yang dilakukan penulis, menjumpai bahwa batas konsesi hanya berjarak sekitar 150 meter dari lokasi wisata ini!

Hampir sebagian besar gua yang telah dipetakan pun berada di dalam area IUP, termasuk Gua Legok Picung, yang merupakan salah satu gua penting yang memiliki aliran sungai bawah tanah dan sumber mata air Sumur Salada.

Baca juga: Ahli LIPI: Pertambangan Bisa Putus Distribusi Air Kawasan Karst

 

Aktivitas penambangan batu gamping. Foto: Iqbal

 

Dok: Aziz Fardhani Jaya

 

 

Secara ekologi, maka kegiatan pengerukan batu gamping akan menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem karst. Penambangan akan mengurangi simpanan air yang pada akhirnya akan mengurangi debit sungai bawah tanah dan mata air.

Proses penambangan juga akan menyebabkan hilangnya lapisan epikarst sehingga proses karstifikasi tidak dapat terjadi karena terjadinya run off atau aliran air permukaan (Cahyadi 2017)[8]. Lebih lanjut, ekosistem gua, sebagai drainase alami dan tempat hidup biota gua yang memiliki tingkat endemisitas tinggi, pun bakal terancam.

Dengan temuan yang ada, sudah seharusnya Kawasan Karst Gunung Guha dijadikan kawasan lindung. Mengacu pada PERMEN ESDM Nomor 17/2012, maka Karst Gunung Guha seharusnya dimasukkan dalam kriteria yang ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).

Selain mempunyai fungsi sebagai pengatur alami tata air dengan bentukan ekso dan endokarst, maka Karst Gunung Guha juga memiliki nilai jasa lingkungan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Bagi para akademisi, mahasiswat dan pegiat cinta alam, kawasan karst ini pun menjadi laboratorium hidup untuk menyelenggarakan riset dan aplikasi ilmu.

 

Referensi:

[1] RAB & Sukamto. 1975. Peta Geologi Lembar Jampang dan Balekambang.

[2] Catatan hasil penelusuran lapangan

[3] Opini: Karst, Habitat Biota Dengan Fungsi Ekologis Penting Yang Harus Dilindungi | Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (lipi.go.id)

[4] Bom PT TSS Rusak Rumah Warga | radarsukabumi.com

[5] Warga Sukabumi Keluhkan Dugaan Pencemaran Pabrik Semen Jawa | Republika Online

[6] Terdampak Tambang Semen, Warga Leuwidinding Minum Air Selokan (detik.com)

[7] Data Konsesi Tambang Kementerian ESDM, 2018

[8] Cahyadi, Ahmad. (2017). Pengelolaan Kawasan Karst Dan Peranannya Dalam Siklus Karbon Di Indonesia. 10.31227/osf.io/8gh6d.

 

* Aziz Fardhani Jaya, penulis adalah pegiat dan penelusur gua, praktisi dan analis citra. Anggota Indonesia Speleological Society

 

***

Foto utama: Kondisi lorong Gua Sibibijilan. Foto: Aziz Fardhani Jaya

 

 

Exit mobile version