Mongabay.co.id

Bekerja sebagai Nelayan, Berarti Siap Bertaruh Nyawa

 

Hanya dalam kurun waktu 42 hari, sebanyak 13 kecelakaan laut yang melibatkan perahu nelayan ataupun kapal ikan lokal terjadi di perairan Indonesia. Insiden tersebut berlangsung secara cepat dari 1 Desember 2020 sampai 10 Januari 2021.

Fakta tersebut menjelaskan bahwa kecelakaan kerja yang berlangsung di perairan laut masih sangat beresiko tinggi. Terutama, bagi masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan dan harus beraktivitas menangkap ikan secara rutin di perairan Indonesia.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebutkan, kehidupan nelayan Indonesia memang sangat rentan terhadap kecelakaan kerja ketika melakukan operasi penangkapan ikan.

“Itu terlihat dari tingginya kecelakaan yang dialami oleh kapal ikan dan perahu nelayan,” ungkap dia, awal pekan ini di Jakarta.

Tingginya resiko kecelakaan kerja yang harus dihadapi para pencari ikan, menegaskan bahwa tingkat keselamat kapal nelayan yang ada di Indonesia saat ini sangatlah memprihatinkan. Padahal, perlindungan penuh sudah selayaknya diberikan kepada para pencari rezeki di lautan Indonesia.

Dalam penilaian DFW Indonesia, Pemerintah Indonesia perlu untuk terus meningkatkan pengawasan, pemberian informasi dini, dan memberikan kelengkapan keselamatan kerja di kapal perikanan. Hal itu, karena akibat kecelakan kerja di laut, sudah ada banyak korban jiwa hingga saat ini.

“Memastikan nelayan dan awak kapal perikanan ikut serta dalam program asuransi nelayan,” tambah dia.

baca : Apa yang Terjadi di Laut Apabila Cuaca Ekstrim Bergabung dalam Satu Waktu?

 

Sejumlah perahu bersandar di TPI Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jatim, pada awal Desember 2020, saat cuaca buruk nelayan tidak berani melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Abdi Suhufan menjelaskan, dari 13 kali insiden kecelakaan kerja dalam waktu sebulan terakhir, tercatat ada 48 orang yang menjadi korban. Dengan rincian, 28 orang dinyatakan hilang, tiga orang meninggal dunia, dan 17 orang berhasil selamat.

Jumlah tersebut, seharusnya bisa menjadi acuan bagi Pemerintah untuk bekerja lebih keras dalam menekan tingkat kecelakaan kerja yang terjadi pada kapal nelayan. Contoh paling mutakhir, adalah kecelakaan kerja yang terjadi pada kapal perikanan KMN Berkah Abadi, Minggu (10/1/2021).

“Kapal tersebut bertabrakan dengan kapal tanker di perairan Jepara, Jawa Tengah,” jelas dia.

Akibat insiden tersebut, sampai sekarang sebanyak 12 awak kapal perikanan (AKP) KMN Berkah Abadi diketahui hilang dan masih belum ditemukan. Kejadian tersebut bisa memakan korban banyak, karena kapal perikanan yang beroperasi adalah kapal berukuran besar.

 

Tabrakan Kapal

Adapun, faktor utama kenapa kapal nelayan tersebut mengalami kecelakaan, adalah karena cuaca ekstrim seperti gelombang tinggi yang menyebabkan kapal terbalik, tabrakan dengan kapal besar, kerusakan mesin, dan kemudian terbawa arus.

“Saat ini musim barat yang ditandai dengan cuaca ekstrem seperti gelombang tinggi, nelayan mesti meningkatkan kewaspadaan dan mengikuti informasi cuaca oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika),” ucap dia.

baca juga : Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?

 

Ratusan kapal nelayan ditambatkan di perairan sekitar Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Cilacap, Jawa Tengah, kemarin. Akibat cuaca buruk yang ditandai dengan gelombang setinggi 5 meter, para nelayan banyak yang tidak melaut, sehingga hasil tangkapan minim. Hal itu berdampak pada sepinya transaksi di tempat pelelangan ikan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan resiko besar seperti itu, Abdi Suhufan mengimbau kepada nelayan agar bisa mematuhi anjuran ataupun imbauan yang diterbitkan otoritas pelabuhan. Dengan mematuhi imbauan, maka diharapkan nelayan tidak memaksakan diri untuk melaut jika memang kondisi cuaca sedang tidak bagus.

Tentang kecelakaan kerja tersebut, peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin mendesak agar Pemerintah Indonesia bisa meningkatkan pengawasan kepada kapal nelayan dan kapal perikanan yang akan melaksanakan operasi penangkapan ikan.

Selain itu, otoritas terkait yang ada di pelabuhan perikanan juga dinilai perlu untuk melaksanakan inspeksi bersama agar bisa memeriksa aspek keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di atas kapal. Misalnya, pemeriksaan ketersediaan pelampung, jaket keselamatan, dan radio komunikasi.

“Pemerintah juga perlu melakukan program pelatihan dan simulasi kepada nelayan dan awak kapal perikanan jika menghadapi kecelakan di laut,” tutur dia.

Lebih jauh, Muh Arifuddin juga meminta kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar bisa melaksanakan program asuransi nelayan menjadi lebih luas lagi. Kemudian, memberikan imbauan kepada pemilik kapal ikan untuk mengikutsertakan AKP mereka dalam program asuransi mandiri.

Peran Pemerintah dan pemilik kapal harus ada, karena bekerja di laut memiliki resiko sangat besar bagi nelayan. Untuk itu, jaminan asuransi harus diberikan kepada nelayan, agar bisa merasa tenang saat sedang bekerja di laut.

“Hal tersebut merupakan amanah konstitusi sehingga wajib untuk dilaksanakan,” pungkas dia.

perlu dibaca : Akibat Cuaca Buruk, Nelayan Berhenti Melaut

 

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zaini mengatakan bahwa KKP saat ini sedang berupaya untuk melakukan pemenuhan hak AKP KMN Berkah Abadi. Hak tersebut adalah berupa jaminan kecelakaan kerja untuk dua AKP yang dilaporkan selamat.

“Dan juga santunan jaminan kematian untuk keluarga awak kapal perikanan yang dilaporkan meninggal dunia,” jelas dia.

Selain menunaikan hak, Zaini mengingatkan bahwa setiap AKP wajib memiliki asuransi dan itu menjadi tanggung jawab dari perusahan perikanan atau pemilik kapal perikanan. Hal tersebut, tertuang dalam perjanjian kerja laut antara AKP dengan pemilik kapal perikanan atau perusahaan perikanan.

 

Perjanjian Kerja Laut

Menurut dia, perjanjian kerja laut menjadi salah satu syarat kapal perikanan bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sebelum meninggalkan pelabuhan perikanan, Syahbandar Perikanan akan mengecek ulang seluruh dokumen kapal, termasuk perjanjian kerja laut.

Jika semua dinilai sudah lengkap persyaratannya, maka surat persetujuan untuk berlayar baru bisa diterbitkan oleh Syahbandar. Dengan demikian, kapal perikanan dinyatakan bisa untuk melaksanakan aktivitas penangkapan ikan di laut.

“Kita terus kawal dan mendorong perusahaan perikanan menerapkan hal ini sebagai salah satu upaya agar taraf hidup awak kapal perikanan menjadi lebih baik,” ungkap dia.

Di sisi lain, perjanjian kerja laut tak hanya menjadi bentuk perlindungan bagi AKP yang akan bekerja. Lebih dari itu, perjanjian kerja laut juga menjadi bagian dari upaya Pemerintah untuk melaksanakan sistem hak asasi manusia (HAM) pada usaha perikanan, khususnya usaha perikanan tangkap.

“Tujuannya, agar awak kapal perikanan mendapatkan kesejahteraan serta jaminan sosial berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun,” tambah dia.

baca juga : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Para pembeli ikan menunggu nelayan pulang melaut di TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Saat angin kencang, sebagian nelayan masih memberanikan diri berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Di atas semua itu, Zaini mengungkapkan rasa bela sungkawa atas insiden kecelakaan KMN Berkah Abadi yang terjadi pada Minggu. Insiden tersebut sekali lagi menegaskan bahwa bekerja di laut sebagai nelayan memiliki resiko yang sangat tinggi.

Untuk itu, sejak diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Nelayan, KKP semakin gencar mendorong agar para nelayan memiliki asuransi sebagai payung perlindungan jiwa. Dia berharap, pemenuhan hak AKP dapat segera diproses serta AKP yang dinyatakan hilang dapat segera ditemukan.

Tentang kecelakaan yang sudah terjadi di perairan Jepara, M Zaini meminta otoritas terkait seperti Komite Nasional Keselamatan Transportasi bisa melakukan penyelidikan untuk mengungkap penyebab kecelakaan tersebut secara detail.

“Guna diambil langkah-langkah perbaikan agar tidak terulang lagi kejadian serupa di masa mendatang,” tegas dia.

Diketahui, kecelakaan laut tersebut terjadi pada Minggu dini hari di perairan Jepara yang melibatkan KMN Berkah Abadi dengan kapal tanker yang berasal dari Surabaya menuju Jakarta. Akibat tabrakan kedua kapal tersebut, KMN Berkah Abadi mengalami kebocoran pada haluan depan bagjan kiri yang menyebabkan kapal tenggelam.

Hingga saat ini, tim gabungan SAR masih berupaya untuk melakukan pencarian 12 awak AKP KMN Berkah Abadi yang dinyatakan hilang.

 

Exit mobile version