Mongabay.co.id

Tak Hanya Soal Cuaca, Banjir Parah Kalimantan Selatan karena Alam Rusak

Banjir parah di Kalsel, melanda setidaknya 11 kabupaten dan kota pada Januari 2021. Foto: BNPB

 

 

 

 

Hari itu, Kamis (14/1/21) pagi, air masuk dan menggenangi Sekretariat Aliansi Masyarakata Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) di Kota Barabai. Para aktivis AMAN Kalimantan Selatan ini pun sontak kaget. Air terus masuk hingga sedada orang dewasa. Jarak sekretariat AMAN dengan sungai cukup jauh, sekitar satu kilometer.

“Barang, komputer dan berkas AMAN habis terendam semua. Ini semua staf ada di pengungsian,” kata Syahliwan, staf Infokom Pengurus Daerah AMAN HST.

Kisah dari Kantor AMAN HST itu hanya potret kecil dari bencana banjir besar yang menerjang Kalimantan Selatan sejak pekan lalu. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Senin (18/1/21), disebutkan 11 kabupaten/kota di Kalsel terendam banjir.

Baca juga: Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir

Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, mengatakan, dampak banjir Kalsel merenggut 21 jiwa, dengan 403.405 orang terdampak. Ada sekitar 79.636 rumah rusak atau terendam banjir. Pemerintah Kalsel telah menetapkan status bencana tanggap darurat banjir 14-27 Januari 2021.

Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, menyebut, di bagian hulu, bahkan terjadi banjir bandang. “Ini dalam sejarah paling besar untuk di Kalsel,” katanya pada via telepon, Selasa (19/1/21).

Baca juga: Lingkungan Hidup Rusak, Penyebab Banjir dan Longsor di Sumatera Utara

Banjir ini membuat lalu lintas pun terkendala. Jalur Banjarmasin ibukota Kalsel dan Kota Banjarbaru, tempat Bandara Internasional Syamsudin Noor berada, melintasi Kabupaten Banjar, pun sempat tergenang, bahkan nyaris lumpuh.

“Kemarin di Pal 8 Kabupaten Banjar itu masih terendam, masih tinggi. Knalpot Avanza terendam,” kata Rudy Redhani, aktivis lingkungan tinggal di Banjarbaru, Selasa (19/1/21).

 

 

Kerusakan alam

Walhi Kalsel menyatakan, kerusakan alam menjadi faktor atau penyebab utama yang mendorong curah hujan tinggi hingga menyebabkan bencana banjir begitu luas di Kalsel, sampai 11 kabupaten. Kisworo menyebut, ada 814 lubang tambang di Kalsel, yang tidak tereklamasi.

“Belum ada perubahan. Mana ada yang reklamasi. Perusahaan rata-rata belum reklamasi, alasannya masih beroperasi,” katanya.

Dia bilang, Walhi yang menang dalam gugatan hingga kasasi saja demi mempertahankan hutan seluas 5.908 hektar, tengah menghadapi upaya Peninjauan Kembali (PK) perusahaan.

Baca juga: Mahkamah Agung Kabulkan Kasasi, Walhi: Cabut Izin Tambang Batubara di Meratus

Kisworo menilai, pemerintah gagap dalam penanganan bencana hingga bencana berulang. “Kalau musim hujan, banjir, musim kemarau kebakaran. Ya gimana nggak. Udah darurat ruang, konflik agraria masif, kemudian bencana ekologis, seperti banjir dan karhutla.”

Menurut dia, tutupan lahan di Kalsel sudah hancur terbagi ke berbagai peruntukan dari tambang batubara, perkebunan sawit, erkebunan kayu, maupun HPH. “Belum illegal logging. Di hulu di rusak, di gunung rusak.”

Lebih rinci Walhi Kalsel mencata, dari 3,7 juta hektar lahan di Kalsel, 581.188 hektar merupakan hutan sekunder, hanya 89.169 hektar hutan primer. Selebihnya, didominasi konsesi. Seluas 234.492,77 hektar untuk HPH, 567.865,51 hektar buat HTI, 1.219.461,21 hektar izin tambang, dan 620.081,90 hektar untuk kebun sawit.

“Di bawah dilubangi tambang, di resapan, di ekosistem rawa gambut, izin sawit. Lalu bikin kanal-kanal, akhirnya kering. Maka restorasi gambut sekat kanal, dibasahi, untuk menyerap air. Oleh sawit kan dikeringkan, ditanggul, air nggak masuk kebun sawit. Berapa juta kubik air nggak masuk ke ribuan izin sawit tadi?! Karena kalau itu masuk, tenggelam sawitnya!”

 

Curah hujan tinggi, tutupan hutan menipis

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam siaran pers menyatakan, banjir di Kalsel karena anomali cuaca. KLHK seakan galau memberikan keterangan, satu sisi menyebut kalau penyebab banjir ini karena curah hujan tinggi atau terjadi anomali cuaca, sisi lain menyatakan, kalau DAS Barito di Kalsel, memang kritis, terjadi penurunan tutupan hutan alam di sana.

MR Karliansyah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, mengatakan, banjir  karenaterjadi cuaca ekstrem.

Dia coba menjelaskan, DAS Barito di Kalsel seluas 1,8 juta hektar hanya sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta hektar. DAS Barito di Kalsel secara kewilayahan mencakup 39,3% kawasan hutan dan 60,7% areal penggunaan lain (APL), bukan kawasan hutan.

Kondisi DAS Barito Kalsel, katanya, tidak sama dengan DAS Barito keseluruhan di Kalimantan. Banjir ini, katanya, karena hujan ekstresm di daerah tampung air (DTA) Riam Kiwa, Kurau, dan Barabai. Dia menyebut, kemungkinan hujan ekstrem ini terjadi dalam periode 50 hingga 100 tahun.

”Penyebab utama terjadi anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Selama lima hari dari 9-13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasa. Air yang masuk ke Sungai Barito 2,08 miliar meter kubik. Sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta meter kubik,” katanya, pada temu media, Selasa (18/1/21).

 

Banjir yang melanda Kalimantan Selatan. Foto: BNPB

 

Dalam diskusi daring itu dia juga menyebutkan kalau banjir karena kondisi jasa lingkungan pengatur air sudah tak memadai hingga tak mampu menampung aliran air. Hasil evaluasi sistem drainase, katanya, tak mampu mengalirkan air sebesar itu.

“Titik banjir merupakan daerah datar atau flat, elevasi rendah, dan bermuara di laut, hingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase yang rendah,” katanya.

Menurut dia, akumulasi air dengan volume besar terjadi karena daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung, morfologi merupakan meander, dan fisiografi berupa tekuk lereng (break of slope).

“Faktor lain yaitu beda tinggi hulu-hilir sangat besar, hingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir,” kata Karliansyah. Yang tak Karliansyah jelaskan, mengapa air di hulu melaju begitu cepat ke hilir seakan tak ada penyerap lagi.

Dia coba menyanggah pemberitaan yang menganggap KLHK mengakui ada pengurangan luas hutan di Kalsel. Kekeliruan itu antara lain karena yang dijelaskan DAS Barito Kalsel, bukan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan. Dia bilang, ada metode analisis kawasan hutan yang tidak sesuai standar dan tidak dengan kalibrasi menurut metode resmi yang dipakai.

“Kami meluruskan soal ini agar tidak terjadi simpang siur informasi di tengah bencana yang dirasakan masyarakat, sekaligus untuk dapat memberi rekomendasi yang tepat bagi para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah daerah dalam mitigasi bencana.”

Belinda Arunarwati Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, mengatakan, ada penurunan luas hutan alam DAS Barito di Kalsel selama periode 1990-2019 sebesar 62,8%. Penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5%.

Meski begitu, Belinda mengatakan, untuk mendapatkan gambaran utuh tentang penyebab banjir perlukan kajian keseluruhan DAS utama di wilayah banjir. Kajian dilakukan terutama pada DAS Barito yang merupakan DAS utama, dengan perhatian khusus pada wilayah hulu DAS.

 

 

Dia menyebut, luasan DAS Barito di Kalsel sekitar 1,8 juta hektar atau 29%, dari keseluruhan DAS Barito yang berujung di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

DAS Barito di Kalsel terdiri dari 39,3% kawasan hutan dan 60,7% areal penggunaan lain (APL). Kawasan hutan seluas 718.591 hektar, dengan rincian 43,3% areal berhutan, dan 56,7% tidak berhutan.

“DAS di sini memang didominasi lahan untuk masyarakat atau disebut areal penggunaan lain yang bukan merupakan kawasan hutan.”

Yang tak disebutkan, ‘lahan untuk masyarakat’ itu  juga termasuk antara lain, kebun sawit skala besar milik perusahaan pun statusnya di APL, alias bukan di kawasan hutan. Begitu juga tambang, seperti batubara, ada juga di kawasan APL.

Hanif Faisol, Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, mengatakan, penduduk Kalsel banyak hingga membuat bukaan lahan terlihat lebih masif. “Kalsel memiliki penduduk 3,6 juta dan 2,7 juta-nya itu hidup di DAS Barito yang di Kalsel. Kita bisa lihat bagaimana masifnya perkebunan karet, dan mungkin sawit di sana, dan pertanian.”

“Jadi tentu infrastruktur ekologis lahan saat terjadi ekstrem hujan seperti ini, sebaik apapun, tidak akan mampu menahan air begitu besar. Apalagi dengan terbuka lahan hingga hutan kita tinggal di angka 18%.”

BMKG dalam siaran pers menyebutkan pada 12-14 Januari 2021 di kawasan sekitar terjadi hujan ekstrem. Tercatat di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Banjarmasin, curah hujan dengan intensitas tinggi pada 13 Januari 2021 sebesar 51 mm dan pada 14 Januari 2021 sebesar 249 mm. Adapun di Stasiun Klimatologi Banjarbaru masing-masing sebesar 15,9 mm dan 255,3 mm.

“Berdasarkan data itu, terlihat akumulasi curah hujan selama dua hari di Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor berjumlah 300 mm, jika dibandingkan pada normal curah hujan bulanan Januari 394mm, maka kondisi ini tergolong dalam kondisi ekstrem.”

Menurut Rudy Redhani, fenomena alam ekstrem bukan hal baru bagi sejarah bumi. Menurut dia, bila daya dukung alam memadai, dampak tidak separah banjir saat ini.

“Yang jelas, el nina bukan terjadi sekali ini. Curah hujan tinggi beberapa tahun yang lalu juga iya. Tapi nggak pernah terjadi seperti ini. Logikanya begitu.”

Perubahan iklim mendorong cuaca ekstrem pun sudah dijelaskan BMKG berulang-ulang. Pada banjir tahun lalu, Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, cuaca ekstrem terjadi karena ada perubahan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim hingga keseimbangan alam terganggu. Curah hujan yang seharusnya turun selama satu bulan, katanya, justru turun dalam satu hari karena perubahan iklim ini.

Baca juga: BMKG: Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem

Ucapan Dwikorita kala itu diamini Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Dia beberapa kali menyebutkan kerusakan lingkungan jadi penyebab meningkatnya dampak bencana di Indonesia. “Saya ditanya presiden ‘apa penyebab utama (bencana banjir dan longsor)?’ Yang pertama, alih fungsi lahan, dari kawasan hutan, tertutama kawasan konservasi, berubah jadi kawasan perkebunan, pertanian dan tambang,” katanya Januari 2020, kala  bencana banjir dan longsor bertubi melanda negeri.

Awal tahun lalu itu Doni bilang, hujan ekstrem dan banjir ini seharusnya dapat jadi peringatan bagi seluruh pemimpin daerah dan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan yang memerhatikan keseimbangan alam. “Jangan sampai kita mendapat pendapatan besar, tapi justru dampak kerugian jiwa juga besar.”

Kisworo  bilang, banjir seharusnya bisa diprediksi melalui analisis cuaca Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). “Pemerintah lagi-lagi tidak siap dan masih gagap. Akhirnya rakyat lagi yang menanggung. Sudah pandemi COVID-19, dihajar banjir, sudah jatuh ketimpa tangga.”

Sumber: data presentasi KLHK
Sumber: presentasi KLHK

 

 

Antisipasi?

Puncak musim hujan masih terjadi hingga Februari 2021. BNPB meminta masyarakat selalu tetap waspada dan siaga. Terkait bencana hidrometeorologi, BNPB meminta masyarakat memperhatikan prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

BNPB juga mengingatkan untuk persiapan keluarga dalam menghadapi sejumlah potensi bahaya. “Diskusikan di antara keluarga dengan terlebih dahulu mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko di sekitar. Masyarakat, kata Raditya, dapat memanfaatkan aplikasi, seperti InaRISK, Info BMKG, Magma Indonesia untuk mengetahui potensi bahaya dan risiko.

Kemudian, anggota keluarga dapat mendiskusikan upaya konkret yang dapat dilakukan di sekitar tempat tinggal. Setiap keluarga memiliki tingkat risiko berbeda, seperti parameter anggota keluarga, topografi di sekitar rumah, kekuatan bangunan, atau pun tata ruang rumah.

Untuk banjir Kalsel, kata Karlianyah, KLHK merekomendasikan pembuatan bangunan konservasi tanah dan air seperti sumur resapan, gully plug, dam penahan, terutama pada daerah dengan limpasan ekstrim. Juga mempercepat dan memfokuskan kegiatan rehabilitasi lahan di daerah sumber penyebab banjir, dan pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir.

Rekomendasi itu, katanya, sebagai respon atas tidak memadainya lagi infrastruktur ekologis jasa lingkungan pengatur di daerah tangkapan air Barabai, Riam Kiwa dan Kurau.

”Perlu terobosan-terobosan terkait dengan konservasi tanah dan air, terkait lansekap yang tidak mendukung. Serta pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air, dan pengembangan sistem peringatan dini. Beberapa rekomendasi ini telah dijalankan dengan baik bersama pemda,” katanya.

M Saparis Soedarjanto, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS (PEPDAS) KLHK mengatakan, KLHK berupaya mengurangi areal tidak berhutan melalui revegetasi, khusus pada lahan kritis.

“Rehabilitasi DAS di Kalsel sangat masif.”

Dia sebut data kegiatan rehabilitasi dengan penanaman pohon 2019-2020 di DTA Banjir Kabupaten Tanah Laut (DTA Kurau) seluas 155 hektar, DTA Riam Kiwa 4.341 hektar, dan DTA Barabai 395,5 hektar.

“Karena baru masif beberapa tahun terakhir, mungkin belum terlihat jelas di peta. Tapi beberapa tahun lagi akan terlihat,” kata Saparis.

Walhi Kalsel mengusulkan peninjauan ulang sejumlah kebijakan terkait lingkungan hidup di Kalsel, antara lain mendesak pemerintah review dan audit seluruh perizinan industri ekstraktif, stop perizinan baru, dan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan.

Mereka meminta, pemerintah memperbaiki dan memulihkan kerusakan lingkungan di sungai dan DAS. Mereka juga menganggap perlu peninjauan ulang rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan meminta rencana pembangunan jangka menengah dan manifestasinya melalui APBD/APBN lebih peduli pada lingkungan hidup agar terhindar bencana ekologis makin parah.

 

Sumber: presentasi KLHK
Sumber: Presentasi KLHK

 

Keterangan foto utama:  Banjir parah di Kalsel, melanda setidaknya 11 kabupaten dan kota pada Januari 2021. Foto: BNPB

Exit mobile version