Mongabay.co.id

Kisah Orangutan Boncel, Kembali Masuk Kebun Warga karena Habitatnya Rusak

 

 

Boncel harus kembali ditranslokasi, lantaran masuk kebun warga pada November 2020 lalu.

Tim gabungan Wildlife Rescue Unit [WRU] Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah [SKW] I dan IAR Indonesia, menyelamatkan orangutan dewasa ini dari areal Transmigrasi Sungai Pelang, Desa Sungai Pelang, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.

Ini kali kedua Boncel dievakuasi dari tempat yang sama, dari kebun nanas warga. Meskipun dipindahkan ke hutan yang sama juga, tapi titik pelepasannya lebih jauh, agar Boncel tidak datang lagi. Translokasi pertama dilakukan pertengahan Agustus 2020.

”Berulangnya translokasi menunjukkan, upaya pelestarian satwa liar dilindungi merupakan kerja sama semua pihak. Masyarakat dapat mendukung dengan melakukan upaya pencegahan kerusakan dan perbaikan habitatnya,” ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta, dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu. Dia memberikan apresiasi kepada tim penyelamat yang bekerja cepat dan efisien.

Perjalanan pelepasan Boncel ke Hutan Desa Sungai Besar memakan waktu lebih dari tujuh jam. Dokter hewan IAR Indonesia yang memeriksa kondisinya menyatakan orangutan usia sekitar 30-40 tahun ini sehat.

Baca: Pandemi Tidak Menghentikan Upaya Penyelamatan Orangutan di Kalimantan Barat

 

Boncel yang kembali masuki kebun warga setelah translokasi pertamanya. Foto: IAR Indonesia/Rudiansyah

 

Sebulan sebelumnya, bertepatan dengan Pekan Peduli Orangutan [Orangutan Caring Week], BKSDA Kalimantan Barat, Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya [BTNBBBR], bersama IAR Indonesia juga melepasliarkan lima individu orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus], di kawasan TNBBBR.

Mereka terdiri tiga individu jantan [Jacky, Beno, dan Puyol] serta dua individu betina [Oscarina dan Isin]. Semuanya orangutan rehabilitasi yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan ilegal.

Jacky diselamatkan dari Muara Pawan dan masuk pusat rebilitasi Agustus 2013. Beno dari Simpang Dua [2015], Puyol dari Kendawangan [2010], Oscarina dari Pontianak [2011] dan Isin Kabupaten Kayong Utara [2017].

Proses rehabilitasi tidak mudah, tergantung kemampuan masing-masing individu. Rehabilitasi diperlukan guna mengembalikan sifat dan kemampuan alami orangutan, untuk bertahan hidup di habitat aslinya.

Di alam bebas, bayi orangutan akan tinggal bersama induknya sampai usia 7-8 tahun. Jika terpisah dari sang induk, kemungkinan bertahan di alam liar sangat kecil. Sementara, bila menjadi satwa peliharaan, orangutan akan kehilangan kemampuan alaminya.

“Kita berharap, orangutan yang dilepasliarkan ini dapat membentuk populasi baru, dan mempertahankan eksistensi spesiesnya,” ujar Kepala Balai TNBBBR, Agung Nugroho.

Pelepasliaran di kawasan konservasi dilakukan untuk memastikan semua orangutan dapat hidup aman, tercukupi pakannya dari alam. Pemilihan TNBBBR berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, terkait ketersediaan jumlah jenis pohon pakan yang tinggi, sedangkan jumlah populasi alami orangutan cukup rendah.

Baca: Selama Hutan Dirusak, Konflik Manusia dengan Orangutan Tetap Terjadi

 

Boncel terpantau makan nanas di kebun warga. Foto: IAR Indonesia/Rudiansyah

 

Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta, menambahkan, penyelamatan satwa berupa evakuasi, translokasi, dan beberapa kegiatan lain seperti penyuluhan dan penyadartahuan, merupakan bagian dari solusi konflik yang terjadi antara satwa dengan manusia.

Perlu disadari bersama, sebagai bagian dari ekosistem dan alam, manusia harus bisa menerima kehadiran komponen alam lainnya, termasuk satwa liar. “Sudah waktunya kita belajar hidup berdampingan dengan seluruh makhluk hidup. Manusia sebagai makhluk yang dianggap paling cerdas, memiliki tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan dan menjaga harmonisasi alam,” ungkapnya.

Terkait dengan tempat hidup orangutan, BKSDA Kalbar mencatat jika ancaman terhadap populasi orangutan bertambah. Ini terjadi sejak kebakaran besar melanda sebagian hutan habitat orangutan wilayah di Ketapang, pada 2019 silam. Hutan yang terbakar dan masifnya pembukaan lahan menyebabkan banyak orangutan kehilangan tempat tinggal dan dan sumber penghidupannya.

Orangutan-orangutan ini pergi meninggalkan rumahnya yang hancur dan masuk kebun warga untuk mencari makan. Kondisi ini menyebabkan tingginya jumlah perjumpaan manusia dengan orangutan yang tidak jarang menimbulkan konflik, keadaan yang merugikan kedua belah pihak.

Baca: Samson dan Boboy Akhirnya Kembali ke Kalimantan Barat

 

Proses evakuasi terhadap Boncel, sebelum ditranslokasi lagi ke habitatnya. Foto: IAR Indonesia/Rudiansyah

 

Penghargaan untuk penyelamatan

BBVA Foundation, yayasan yang memfokuskan pada isu lingkungan, biomedik dan kesehatan, ekonomi dan masyarakat, serta ilmu pengetahuan dan teknologi dasar, dan kebudayaan, memberikan IAR Indonedia penghargaa

n atas upaya penyelamatan satwa liar dan habitatnya. Khususnya di Kalimantan Barat.

Penghargaan diberikan BBVA Foundation di Spanyol pada Oktober 2020 untuk kategori keanekaragaman hayati atas upaya pendekatan inovatif dan terintegrasi melindungi keanekaragaman hayati di TNBBBR. Juga, beberapa spesies ikonik di dalamnya termasuk orangutan.

Sejak berdiri 2009, IAR Indonesia yang bermitra dengan KLHK telah menyelamatkan lebih 250 orangutan dan melepaskan 129 orangutan. Sebanyak, 46 orangutan dilepaskan di dalam kawasan TNBBBR sejak 2016 sampai sekarang. Sebagian orangutan hasil pelepasliaran ini sudah berhasil berkembang biak di alam.

Dalam pelaksanaan kegiatan, IAR telah memadukan upaya konservasi orangutan dengan pengembangan ekonomi masyarakat. Khususnya, masayrakat yang bermukim di zona pemanfaatan tradisional kawasan TNBBBR.

Lebih dari 50 warga setempat yang pernah terlibat dalam pembalakan liar, kini bekerja untuk IAR dalam penyelamatan dan pemulihan orangutan. Dengan peningkatan dukungan tersebut, TNBBBR dapat mewujudkan fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan.

“IAR Indonesia juga melakukan program edukasi dan pengembangan masyarakat di dua desa penyangga. Tekanan ekonomi yang mendorong mereka melakukan beberapa kegiatan yang kurang selaras dengan konservasi,” ungkap Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L. Sanchez.

Baca juga: Meski Bukan Ibu Kandung, Monti Tetap Asuh Anggun di TN Bukit Baka Bukit Raya

 

Translokasi Boncel dilakukan di hutan yang sama, yaitu di Hutan Desa Sungai Besar, hanya lokasinya yang lebih jauh. Foto: IAR Indonesia/Rudiansyah

 

Semua pendekatan holistik dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk mengubah pola pikir masyarakat desa di sekitar taman nasional. Mereka diberikan pemahaman tentang keistimewaan hutan, bahwa menyelamatkan hutan adalah solusi ekonomi jangka panjang yang lebih berkelanjutan ketimbang menghancurkannya.

“Penghargaan ini bukan tujuan dari program konservasi orangutan yang terintegrasi dengan pemberdayaan masyarakat. Penghargaan ini menunjukkan bahwa arah program kami sudah benar dan kami terpacu untuk mengembangkannya secara lebih luas dengan para pemangku kepentingan terkait,” papar Tantyo Bangun, Ketua Umum IAR Indonesia, sebagai bentuk komitmen IAR Indonesia di masa depan.

 

 

Exit mobile version