Mongabay.co.id

Bencana Ekologis Makin Parah, Momentum Proposal Ekosida

Banjir yang melanda Kalimantan Selatan. Foto: BNPB

 

 

Dalam beberapa pekan di awal tahun ini kedamaian dan kemanusiaan terganggu oleh rentetan bermacam musibah, dari pesawat terbang hingga bencana seperti banjir bandang, tanah longsor maupun gempa bumi.

Gempa bumi di Sulawesi Barat, dan banjir bandang Kalimantan Selatan jadi perhatian khusus Presiden Joko Widodo. Gempa di Mamuju-Majene Sulbar, tidak menimbulkan banyak pertanyaan dari publik.

Namun banjir bandang di Kalsel, menuai banyak pertanyaan dan pendapat. Banjir bandang Kalsel diasosiasikan dengan kerusakan lingkungan hidup.

Baca juga: Tak Hanya soal Cuaca, Banjir Parah Kaliamantan Selatan karena Alam Rusak

Kurun waktu 50 tahun terakhir, baru ada lagi peristiwa banjir sedahsyat terjadi di 10 kabupaten dan kota, kata presiden saat meninjau langsung lokasi terdampak bencana banjir Kalsel.

Data BNPB per 20 Januari 2021, dampak banjir Kalsel merenggut 21 jiwa, dengan 403.405 orang terdampak. Ada sekitar 79.636 rumah rusak atau terendam banjir. Pemerintah Kalsel menetapkan status bencana tanggap darurat banjir 14-27 Januari 2021.

Menurut data Serikat Petani Indonesia (SPI) kerugian terjadi di lima daerah dengan kerusakan lahan pertanian terluas dampak banjir bandang, yaitu Kabupaten Batola 64.133 hektar, Kabupaten Laut 37.440 hektar, dan Kabupaten Banjar 33.309 hektar. Kemudian, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 17.985 hektar, dan Kabupaten Tapin 16.479 hektar.

 

Pendangkalan sungai di Aceh Utara merupakan satu dari beberapa sebab terjadinya banjir di aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dua bencana, beda respon

Saat berkunjung di Kabupaten Pelalawan, Riau, presiden mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di Riau ada unsur kesengajaan terorganisasi. Indikasinya, lahan terbakar sangat luas. Berbeda saat meninjau langsung lokasi bencana banjir bandang di Kalsel di Kelurahan Pakauman, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar. Presiden menyebut, banjir bandang akibat tingginya curah hujan.

Baca juga: Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir

Kebakaran hutan dan banjir bandang dua peristiwa bencana berbeda namun keduanya adalah bencana ekologis (Walhi, 2020). Ia adalah suatu peristiwa alam atau bencana karena keikutsertaan manusia secara sistemik, destruktif dan masif menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian ekonomi, konflik agrarian, pelanggaran HAM dan korban jiwa.

Kalau kebakaran hutan terjadi karena tindakan langsung secara destruktif, adapun banjir bandang dampak suatu tindakan sistemik dan destruktif. Kedua tindakan ini merupakan pengabaian dan kelalaian serta ketidaktegasan pemerintah dalam melindungi kedamaian dan keamanan hidup warga dari ancaman, kekurangan dan gangguan atas sumber-sumber kehidupan.

Tim tanggap darurat bencana Lapan menyebut, penyebab banjir terbesar di Kalsel karena hutan primer dan sekunder terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, penurunan luas hutan alam di Kalsel mencapai 62,8%.

Pada Hari Lingkungan Hidup sedunia 2020, Walhi Kalsel mengingatkan, bahkan mewanti-wanti pemerintah daerah dan pusat, bahwa Kalsel dalam kondisi urgen dan darurat ekologis.

Sungguh mecengangkan, tak disangka, dari 3,7 juta hektar luas Kalsel, ternyata 50% sudah dikuasai konsesi pertambangan dan perkebunan besar sawit.

Artinya, dari 13 kabupaten atau kota di Kalsel lebih dari separuh daratan sudah dikuasai korporasi tambang dan perkebunan sawit. Tercatat, 1.242.739 hektar atau 33% telah terbebani izin tambang dan 618.791 hektar atau 17% izin perkebunan sawit, belum lagi izin HTI dan HPH.

Kalau mengacu pada data-data faktual itu, akan mudah berkesimpulan, banjir bandang melanda 10 kabupaten dan kota di Kalsel dampak eksploitasi alam.

 

Sumber: KLHK

 

Proposal ekosida

Indonesia sedang menghadapi tantangan lingkungan hidup luar biasa dalam bentuk pemanasan global, polusi, kehilangan keragaman hayati, deforestasi, konflik agrarian dan degradasi layanan alam.

Krisis ekologis makin hari makin dalam, kemungkinan akan jadi lebih buruk kalau tidak ada upaya sungguh-sungguh. Eksploitasi sumber daya alam akan jadi ancaman keamanan hidup manusia bisa lebih cepat daripada restorasi terhadap ekosistem alam.

Pada 2019, Walhi merilis sejumlah kerusakan lingkungan hidup dan bencana ekologis di Indonesia. Bahwa 86% kerusakan lingkungan hidup, konflik agrarian dan bencana ekologis bersumber dari ketimpangan penguasaan. Eksploitasi sumber daya alam bersumber dari aktivitas legal atau mendapatkan izin dari pemerintah.

Kasus itu, korporasi diduga tidak patuh dan menomor duakan pencegahan kerusakan lingkungan hidup dibandingkan ekspansi dan keuntungan. Karena itu, persoalan lingkungan hidup hanya dianggap pengaturan dan sanksi administratif berupa teguran, paksaan, pembekuan atau pencabutan izin yang diatur dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam rezim lingkungan hidup Indonesia, kejahatan lingkungan hidup hanya sebagai pelanggaran administrasi, perdata dan pidana biasa. Padahal, kejahatan lingkungan hidup di Indonesia, sudah mengarah pada tindakan kejahatan ekosida. Yakni, suatu tindakan kejahatan terhadap lingkungan hidup secara sistematis dan masif, berdampak luas dan jangka panjang serta menyebabkan kedamaian dan keamanan hidup masusia terancam.

Ada tiga alasan utama menggabungkan keprihatinan lingkungan hidup sebagai kejahatan luar biasa atau ekosida dalam pelanggaran HAM berat.

Pertama, kualitas lingkungan hidup itu merupakan esensi dari kehidupan manusia yang melengkapi harkat dan martabat kemanusiaan. Termasuk, perlindungan terhadap hak sipil politik dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Karena itu, perlu langkah hukum luar biasa untuk melindungi harkat dan martabat setiap orang dan kelompok masyarakat.

Kedua, menempatkan keprihatinan dan kejahatan lingkungan hidup dalam tradisi kejahatan luar biasa merupakan respon terhadap ketidak mampuan hukum lingkungan hidup nasional bahkan internasional untuk menghukum para pelaku kejahatan lingkungan hidup atau ekosida. Karena cara-cara perusakan mereka sudah melampaui dari kemampuan norma hukum yang tersedia.

Ketiga, pendekatan kemanusiaan dalam keprihatinan atas kerusakan lingkungan hidup diakibatkan kejahatan ekosida lebih khusus untuk menjamin restitusi, rehabilitasi dan konpensasi kepada semua korban kejahatan.

Jadi, tahun 2021, momentum tepat segera mengajukan proposal ekosida menjadi kejahatan ketiga sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) untuk diakui dalam Undang-undang 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

 

*Penulis adalah   Peneliti Senior Walhi Institut

 

Sumber: BNPB

 

 

Exit mobile version