Mongabay.co.id

Menanti Keseriusan Pemerintah Selesaikan Konflik Agraria

 

 

 

 

Kabar duka datang dari Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulaupinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, pada 21 Maret 2020. Suryadi dan Putra Bakti, tewas diduga diserang petugas sekuriti perusahaan perkebunan sawit, PT. Arta Prigel. Seorang warga, Lionagustin mengalami luka bacok di tangan.

Di provinsi tetangga Sumsel, Jambi, pada September lalu, para perempuan desa melawan ketika kebun mereka hendak digusur perusahaan kayu. Mereka melepas pakaian, menyisakan pakaian dalam dan dengan berani menghadang alat berat perusahaan agar tak menghancurkan kebun mereka.

Dua peristiwa itu hanya dua dari banyak kejadian yang memperlihatkan betapa kekerasan terhadap warga tetap terjadi dan perusahaan tetap menggusur lahan walau di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini.

Di tengah pandemi, ada kebijakan pemerintah soal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ternyata menurunkan kasus agraria, perampasan lahan maupun kriminalisasi bagi warga yang ingin mempertahankan lahan maupun berjuang agar lingkungan hidup mereka tak rusak.

Konsorsium Pembaharuan Agraria menyebutkan, kondisi ini menjadi bukti pengabaian dalam penyelesaian konflik di tingkat tapak. Keberpihakan politik saja tidak cukup, sementara konflik terus berlarut.

KPA merilis laporan Konflik Agraria 2020. Dalam laporan ini memperlihatkan, wajah konflik agraria begitu tragis, karena terjadi di tengah perekonomian yang mengalami minus pertumbuhan, di tengah rakyat berjibaku bertahan hidup dari ancaman virus dan ekonomi yang lesu.

“Konflik agraria struktural ini menunjukkan proses perampasan tanah yang bertumpang tindih dengan klaim masyarakat yang sudah tinggal bertahun-tahun,” kata Dewi Kartika, Sekjen KPA, dalam rilis laporan itu baru-baru ini.

Dalam catatan KPA 2020, ada 241 letusan konflik agraria, dengan luasan mencapai 624.272,711 hektar tersebar di 30 provinsi.

KPA juga mencatat konflik agraria di sektor perkebunan meningkat 28% dari tahun lalu, dari 87 jadi 122 kasus. Di sektor kehutanan angka naik sampai 100%, dari 20 kasus ke 41 kasus.

Dari luasan konflik agraria sub sektor, sektor kehutanan memiliki luas tertinggi mencapai 312.158,1 hektar disusul luas perkebunan 230.887,8 hektar. Jumlah masyarakat yang terdampak mencapai 135.332 keluarga dan tersebar di 359 desa atau kota.

Jumlah korban konflik agraria mencapai 169 orang, 139 orang mengalami kriminalisasi, 19 orang dianiaya dan 11 orang tewas.

 

Sumber: KPA 2020

 

Adapun lima provinsi tertinggi penyumbang konflik agraria, katanya, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur.

Berbicara dengan tipologi konflik agraria, perkebunan dan kehutanan menduduki peringkat teratas ini memberikan sebuah gambaran terkait bagaimana iklim investasi saat ini.

“Komoditas sawit merajai konflik agraria di tanah air, ada 101 dari 122 letusan konflik yang terjadi, diikuti dengan komoditas tebu, karet, teh, kelapa, cengkih pala, kopi dan lain-lain.”

Salah satu kasus yang menonjol adalah ekspansi perkebunan tebu di Sumut yang berhadapan dengan ekspansi PTPN.

Menurut Dewi, situasi agraria 2020 menunjukkan pengabaian terhadap konflik agraria struktural dan tak menganggap bahwa situasi ini penting untuk segera diselesaikan.

Praktik perampasan lahan, katanya, seakan mendapatkan legitimasi hukum, difasilitasi pemerintah, yang kemudian memiliki jaringan modal kuat karena terafiliasi grup-grup besar ternama. “Baik nasional maupun global.”

Berdasarkan kepemilikan badan usaha, konflik dengan perkebunan BUMN ada 12 kasus dan perkebunan swasta 106 kasus.

Untuk tipologi konflik kehutanan karena perusahaan perkebunan kayu ada 34 konflik, diikuti enam konflik karena penetapan hutan lindung, sisanya satu kasus HPH.

Konflik lain, sektor infrastruktur (30) dan proyek strategis nasional ada 17 kasus, termasuk proyek-proyek pembangunan kawasan pariwisata nasional. Konflik ini, kata Dewi, menyumbang konflik agraria tertinggi ketiga, setelah perkebunan dan kehutanan.

“Kami menyimpulkan terjadi perampasan tanah berskala besar di tengah pandemi. Telah terjadi situasi anomali dan ironis, mengingat terjadi situasi surplus konlik di situasi saat ekonomi minus,” katanya.

Masa pandemi ini, kondisi ekonomi lesu bahkan resesi, katanya, berarti operasi investasi dan bisnis skala besar lapar tanah menahan diri karena ada pengetatan. Ternyata yang terjadi sebaliknya, konflik agraria mengalami ekskalasi.

 

Tanaman di lahan petani, yang bersengketa dengan PT WKS. Foto: Walhi Jambi

 

Tak berubah

Kalau mengkalkulasi konflik agraria struktural 2015-2020 mencapai 2.288 kasus. Sayangnya, peningkatan konflik ini tidak sejalan dengan upaya penyelesaian.

Dia nilai, penyelesaian konflik dinilai mengalami kemacetan luar biasa apalagi dilakukan dengan cara-cara biasa (business as usual), kasuistik, reaktif, seperti pemadam kebakaran, status clean and clear menjadi ‘mantra’ dalam penanganan konflik.

Krisis pandemi dan ekonomi, katanya, ternyata tidak mendorong perubahan dalam cara-cara penanganan konflik, sikap represif, intimidatif dan kriminalisasi masih terus berlangsung.

Reforma agraria, yang digadang-gadang pemerintah dan jadi salah satu tawaran solusi pun tidak jadi landasan dalam mengatur ketimpangan tata kuasa tanah dan sumber agraria. Akhirnya, tidak ada menyelesaikan konflik agraria secara struktural.

“Konflik agraria menandakan kebutuhan mendesak untuk proses menata ulang struktur penguasaan tanah dan meredistribusikan kepada petani serta masyarakat miskin,” katanya. Untuk itu, perlu perubahan mendasar tentang reforma agraria tak sekadar program sertifikasi tanah biasa.

Surya Tjandra, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang /BPN mengakui, terjadi konflik agraria di mana-mana dan pemerintah belum menyentuh masalah ketimpangan akses kepemilikan tanah.

Pelaksanaan reforma agraria, katanya, jadi salah satu jalan dalam mengurai permasalahan tentu memerlukan dukungan dari lintas kementerian dan lembaga.

Selain itu, katanya, penyelesaian konflik agraria mengalami kesulitan karena perlu kepemimpinan kuat. “Tantangannya memang kebiasaan untuk mendengar dari perspektif masyarakat itu harus terus dilatih dari pemerintah,” katanya.

Belum lagi, katanya, kalau bicara lahan di Indonesia juga terjadi mafia tanah yang berkontribusi sebagai salah satu akar permasalahan konflik agraria yang sulit teratasi di negeri ini.

Dia bilang, di Indonesia, banyak lembaga dapat mengeluarkan hak atas tanah mulai dari tingkat desa hingga kecamatan. Bahkan, ketika itu diperkarakan di pengadilan seringkali surat keterangan tanah itu menang.

“Selain sengketa tanah, ada ruang-ruang yang menjadi permainan para oknum dari luar dan dalam. Pengadilan juga jadi salah satu yang perlu direformasi sistemnya.”

Sugeng Purnomo, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, juga beri pandangan terhadap konflik agraria yang terjadi.

Dalam 2020, katanya, mereka menerima 60% laporan terkait masalah pertanahan. Laporan itu, merupakan kasus antara masyrakat dan masyarakat, masyarakat-kelompok pemodal, ataupun masyarakat dengan BUMN. “Ini sebagai gambaran bahwa memang konflik agraria itu terus terjadi.”

Dia menyebutkam, Kemenko Polkam juga menangani konflik terkait masyarakat yang berhadapan dengan institusi TNI dan belum tuntas.

 

Jenazah Suryadi di rumah keluarganya, sebelum dimakamkan. Foto: Dok Walhi Sumsel

 

Sejalan dengan data KPA, aktor penyebab konflik agraria termasuk TNI ada 22 kasus dan polisi 46 masalah, satuan polisi pamong praja (9) dan petugas keamanan atau preman sewaan perusahaan ada 20 kasus.

Arif Rahman, Direktur Sosial Budaya Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri mengatakan, ada anggapan polisi jadi pihak yang kerap mengkriminalisasi masyarakat dalam konflik agraria.

Padahal, katanya, polri hanya melakukan pengamanan dan diminta menjaga kemanan oleh pihak lain yang bersengketa guna mencegah tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian materil dan jiwa. Dia membantah kalau polisi mengkriminalisasi masyarakat.

“Acuan Polri adalah hukum, pihak mana yang memiliki legalitas hukum akan diamankan Polri dan menjaga agar tidak terjadi konflik.”

Arif menilai, situasi pandemi saat ini tidak ada kaitan dengan konflik agraria. Ada pandemi atau tidak, konflik tetap terjadi karena ada permasalahan struktural.

 

Ke depan?

Perkiraan KPA, ke depan, Indonesia akan menuai gejolak sosial, ekonomi dan politik lebih besar karena ada pengabaian konflik dan perampasan tanah dan ketimpangan struktur agraria terus terjadi. Dewi juga khawatir, kasus-kasus makin meningkat tahun ini atau ke depan dengan ada UU Cipta Kerja.

“Di tengah krisis pandemi dan ekonomi tidak mendorong ada perubahan dalam cara penanganan, tetap represif, intimidatif dan kriminalisasi.”

Konflik agraria, kata Dewi, menandakan keperluan mendesak untuk serius memproses penataan ulang struktur penguasaan tanah dan menditribusikan kepada petani dan masyarakat miskin. Terlebih, mereka yang tengah mengalami konflik agraria berkepanjangan.

“Karena itu, perlu perubahan mendasar terhadap pengkerdilan reforma agraria dari sekadar program sertifikasi tanah.”

Dewi mendesak, pemerintah serius melakukan perubahan paradigma dalam melihat hak rakyat atas tanah, mengoreksi konsep tanah negara yang salah kaprah, yakni pemahaman dan praktik atas ‘tanah negara’ dan ‘kawasan hutan’.

Selain itu, katanya, pemerintah dan aparat keamanan harus menyikapi keberadaan konflik agraria itu sebagai sebuah permasalahan struktural.

“Butuh terobosan politik yang tidak lagi kembali dengan cara-cara lama.”

Penting, katanya, ada sistem efektif dalam merespon konflik agraria, bukan hanya pengaduan. Dewi menilai selama ini terjadi pengulangan pada setiap periode baru dengan alasan masih belajar, mendata kembali terkait masalah-masalah agraria.

Untuk itu, katanya, perlu ada badan khusus penyelesaian konflik struktural dan eksekutorial, seturut dengan tujuan reforma agraria.

Lembaga pengaduan dan penyelesaian konflik saat ini, katanya, tidak ada yang terbukti mampu menyelesaiakn konflik agraria signifikan.

KPA, katanya, pernah mengusulkan kelembagaan kurang lebih sama seperti usulan saat ini, Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

Namun, kata Dewi, saat itu ada penolakan secara politik dengan alasan pembentukan lembaga baru mahal. “Kemudian akan jadikan struktur pemerintah bengkak. Itu alasan klasik.”

Dewi berharap, proses pelepasan klaim-klaim konsesi dan hak atas tanah yang secara laten menjerat masyarakat dapat terealisasi konkrit, sistematis, cepat dan tepat sasaran.

 

La natu, 75 tahun, yang terjerat hukum perusak hutan saat tebang pohon di kebun yang dia tanam sendiri. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

*******Keterangan foto utama:  Aksi warga protes kriminalisasi Natu dan keluarga. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version