Mongabay.co.id

Fondasi Kuat untuk Ekonomi Kelautan Berkelanjutan

 

Pergantian tahun dari 2020 ke 2021 harus menjadi momen terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan yang ada dalam sektor kelautan dan perikanan. Momen tersebut, harus dijadikan kesempatan bagi masyarakat perikanan nasional untuk memperkuat fondasi ekonomi kelautan yang berkelanjutan.

Dalam menjalankan ekonomi kelautan yang berkelanjutan, terdapat prinsip-prinsip yang harus senantiasa dipatuhi oleh semua pemangku kepentingan yang terlibat. Prinsip tersebut adalah keselarasan, inklusivitas, pengetahuan, legalitas, pencegahan dini, dan perlindungan.

“Selain itu, ada juga prinsip daya lenting atau ketahanan ekosistem laut untuk memulihkan diri, solidaritas, dan keberlanjutan,” ucap Kepala Badan Riset dan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) Sjarief Widjaja belum lama ini di Jakarta.

Dia menjelaskan, pentingnya memahami prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam ekonomi kelautan yang berkelanjutan, karena ada perlindungan dan produksi laut yang harus tetap dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya.

Sementara, jika ingin melaksanakan prinsip perlindungan dan produksi laut, semua pihak juga harus bisa memahaminya dengan baik dan benar. Mengingat, kedua hal tersebut dalam pelaksanaannya harus tetap sejalan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim.

Selain itu, juga harus sejalan dengan perjanjian Paris, keanekaragaman hayati, dan prinsip pencemar yang harus membayar sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Rio. Semua tindakan tersebut, harus diselaraskan pada seluruh aktivitas berbasis lautan, daratan, dan ekosistem.

baca : Begini Urgensi Revisi UU Perikanan Demi Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan 

 

Bagi warga Gresik, bandeng memiliki peran penting secara sosial budaya termasuk saat Idul Fitri. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sjarief kemudian memaparkan, prinsip inklusivitas yang disebutkan pertama, adalah tentang hak asasi manusia (HAM), kesetaraan gender, komunitas, dan partisipasi dari penduduk asli di sekitar kawasan perairan yang harus tetap dihormati dan dilindungi.

Prinsip tersebut kemudian diwujudkan dalam kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang menjadi kebijakan pengarusutamaan. Dengan kata lain, inklusivitas akan memberikan akses pembangunan yang adil dan merata untuk semua aspek kehidupan.

“Itu melalui pembangunan yang berkelanjutan, pengarusutamaan gender, modal sosial budaya, dan transformasi digital,” papar dia.

 

Pencegahan Dini

Selain inklusivitas, masih ada juga prinsip pencegahan dini yang harus dipatuhi oleh semua pemangku kepentingan. Prinsip tersebut adalah bagaimana mencegah terjadinya kerusakan saat ada ancaman yang serius ataupun ancaman yang tidak bisa menghindari kerusakan.

Dalam kaitan hal tersebut, prinsip pencegahan dini memastikan bahwa langkah pencegahan harus menjadi tujuan utama dari penerapan ekonomi kelautan yang berkelanjutan. Jadi, tidak ada lagi alasan untuk menunda tindakan pencegahan degradasi lingkungan.

“Kurangnya kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda,” tutur dia.

baca juga : Membiayai Usaha Perikanan Berkelanjutan

 

Hamdani, kepala bagian pembesaran PT Bali Barramundi, Buleleng, Bali pada Kamis (10/5/2018) memberikan pakan pada ikan budi daya di keramba. Perusahaan itu telah menerapkan prinsip Seafood Savers untuk perikanan berkelanjutan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Untuk saat ini, berbagai inovasi terkait penerapan prinsip pencegahan dini juga sudah ada dan bisa diadopsi oleh semua pemangku kepentingan. Sejumlah inovasi itu, di antaranya adalah Aksi Bersama Deteksi Awal Tsunami Secara Mandiri (Adat).

Kemudian, ada juga inovasi Sistem Prediksi Kelautan (Sidik) Basis Data dan Informasi Kelautan, Aplikasi Sistem Informasi Kelautan, dan Model Alat Pemantau Cuaca-Iklim untuk Prediksi Produksi Garam. Semua inovasi tersebut dibuat untuk memudahkan penerapan prinsip pencegahan dini.

Terakhir, Sjarief Widjaja menjabarkan tentang prinsip perlindungan laut yang harus diterapkan semua pemangku kepentingan dalam ekonomi kelautan yang berkelanjutan. Menurut dia, prinsip tersebut menjadi simbol dari kesehatan laut yang akan menopang ekonomi yang berkelanjutan.

“Sebuah pendekatan keuntungan bersih harus diterapkan pada pemanfaatan laut untuk mendukung keberlanjutan atau pemulihan kesehatan laut,” ungkap dia.

Untuk mendukung penerapan prinsip perlindungan laut, KKP menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Jaminan Perlindungan Atas Risiko Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP TB Haeru Rahayu sebelumnya juga sudah menyatakan bahwa para pemimpin dunia sudah memahami laut sebagai pusat kehidupan di bumi, menjadi sumber mata pencaharian, dan pusat kegiatan ekonomi bagi masyarakat.

Eksploitasi yang dilakukan untuk kegiatan ekonomi tersebut, memicu terjadi degradasi pada lingkungan laut dan itu sudah diakui oleh banyak negara di dunia. Degradasi laut bisa terjadi, karena ancaman polusi semakin meningkat, penangkapan ikan yang berlebih, dan perubahan iklim yang semakin cepat terjadi.

Atas pertimbangan tersebut pula, sejumlah kepala negara di dunia sejak dua tahun lalu sudah bertekad untuk mencari cara bagaimana mengembangkan rangkaian rekomendasi transformatif untuk menghadirkan ekonomi laut yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua orang di mana pun.

“Dan juga melindungi laut secara efektif,” tambah dia.

perlu dibaca : Begini Ajakan Indonesia untuk Pengelolaan Ekonomi Laut Berkelanjutan

 

Karyawan di PT Harta Samudera Pulau Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, memperlihatkan potongan ikan tuna yang sudah diberi label fair trade dari hasil tangkapan nelayan setempat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Di antara manfaat yang akan dirasakan nantinya, adalah laut bisa menghasilkan makanan enam kali lebih banyak dari sebelumnya, menghasilkan 40 kali lebih banyak energi terbarukan, mengentaskan jutaan orang dari kemiskinan.

“Dan berkontribusi terhadap seperlima pengurangan emisi gas rumah (GRK) yang diperlukan, agar kenaikan suhuh tidak melebihi 1,5 derajat celcius,” papar dia.

 

Pengelolaan Berkelanjutan

Dalam sebuah pertemuan yang digelar pada akhir 2020 lalu, Presiden RI Joko Widodo juga menyampaikan keyakinannya tentang keberlanjutan ekonomi laut yang sangat bergantung pada pengelolaan laut yang berkelanjutan.

Menurut dia, pengelolaan laut dengan berkelanjutan akan bisa mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) poin 14 yang sedang dijalankan oleh Indonesia sekarang.

Pengelolaan laut yang berkelanjutan, juga menjadi penegas dari komitmen Indonesia dalam upaya mewujudkan diri menjadi poros maritim di dunia. Dengan cara tersebut, sumber daya maritim Indonesia diyakini akan mampu mendorong proses pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19.

Dengan kata lain, Presiden ingin menekankan bahwa pandemi COVID-19 tidak hanya menjadi momen yang tepat untuk menekan tombol pengaturan ulang saja. Namun juga, itu menjadi momen untuk menata semuanya dan menjadi sebuah lompatan besar untuk melakukan aksi dan transformasi besar.

“Ini harus juga dilakukan dalam mengelola laut. Komitmen Indonesia sangat kuat untuk mewujudkan laut dunia yang sustainable melalui transformasi ekonomi yang telah dicanangkan dan diterapkan,” tegasnya.

baca juga : Kegiatan Ekonomi Global Ancam Laut Berkelanjutan

 

Turis menikmati seafood di Pantai Kedonganan, Bali, pada Mei 2018. Konsumen juga bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan dengan memilih produk perikanan yang ramah lingkungan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) M Zulficar Mochtar belum lama ini juga memberikan tanggapannya tentang kegiatan ekonomi kelautan yang berkelanjutan di Indonesia. Menurut dia, ada banyak masalah saat ini yang masih dihadapkan pada sejumlah sebab.

Mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP itu menjelaskan, masalah yang ada pada sektor kelautan dan perikanan sekarang masih berhadapan dengan isu perubahan iklim, IUU Fishing, logistik dan transportasi laut, oligarki perikanan, dan visi Poros Maritim yang masih menjadi mimpi Indonesia.

Tak hanya itu, pandemi COVID-19 yang berlangsung sepanjang 2020 di Indonesia dan dunia, juga memicu terjadinya krisis ekonomi di berbagai sektor kehidupan, termasuk sektor kelautan dan perikanan yang terasa sangat signifikan.

“Kondisi ini menambah berat beban pembangunan kelautan yang juga belum selesai,” tegas dia.

 

Exit mobile version