- Permen KP No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) ternyata menghadirkan resiko ketidakpastian baru bagi nelayan seperti penurunan pendapatan, kerugian asset, kredit macet, bahkan pengangguran.
- Buruknya pengendalian regulasi di sektor perikanan terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah memprediksi kemungkinan dampak yang timbul pasca diterbitkannya Permen 2/2015.
- Otoritas Jasa Keuangan (Oktober 2018) mencatat, pembiayaan usaha kelautan dan perikanan pada 2015-2018 mengalami peningkatan, dari Rp21,37 triliun untuk 257.087 debitur pada 2015, menjadi Rp30,31 triliun untuk 350.358 debitur pada 2018.
- Pembiayaan usaha kelautan dan perikanan ternyata tidak dalam menghadirkan praktik usaha perikanan yang berkelanjutan, karena berbagai faktor. Ini bisa diatasi dengan manajemen yang inklusif dan berkeadilan
Perilaku manusia (pemerintah, legislator, pebisnis, dan nelayan) membuat resiko ketidakpastian di dalam pengelolaan sumber daya perikanan kian membesar. Hal ini disebabkan oleh pengambilan keputusan tata kelola sumber daya yang menafikan pertimbangan saintifik, minusnya pengendalian terhadap regulasi, dan ketidakmampuan regulator dalam memprediksi perilaku pelaku usaha di dalam pemanfaatan sumber daya.
Sejarah mencatat, maraknya pemakaian trawl (pukat hela) pada kurun 1970-1980 menunjukkan betapa buruknya pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia. Betapa tidak, tingginya konflik horisontal antarpelaku usaha berimbas pada rusaknya ekosistem sumber daya perikanan. Dalam situasi seperti itulah, terbitnya Keputusan Presiden No.39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl setidaknya bisa meminimalisasi resiko ketidakpastian di dalam pengelolaan sumber daya perikanan.
baca : Nelayan Ajukan Jaminan untuk Proses Pergantian Cantrang, Apa Saja?
Lantas bagaimana situasi tata kelola sumber daya perikanan belakangan ini?
Disahkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen) No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia justru menghadirkan resiko ketidakpastian baru. Salah satu imbasnya sebagaimana ditemui oleh Suryawati dan Pramoda (2016) adalah nelayan cantrang di Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur, mengalami penurunan pendapatan, kerugian aset usaha yang sudah diinvestasikan, dan kredit macet ke perbankan.
Tak jauh berbeda, Ermawati dan Zuliyati (2016) juga mendapati fakta bahwa pemberlakuan Permen 2/2015 menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi nelayan cantrang di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, di antaranya adalah tingginya angka pengangguran dan menurunnya tingkat kesejahteraan nelayan. Pasalnya, sebanyak 120.966 nelayan menggantungkan hidupnya pada operasionalisasi 10.758 unit kapal cantrang atau 41,25% dari jumlah kapal yang ada di Jawa Tengah. Pada konteks inilah, tarik-ulur kebijakan pelarangan cantrang antarinstitusi pemerintah yang terjadi sepanjang 4 tahun 4 bulan terakhir mengindikasikan betapa pengendalian terhadap regulasi belum sepenuhnya dilakukan dengan baik. Apa penyebabnya?
baca juga : Susi : Cantrang Itu, Sekali Tangkap Bisa Buang Banyak Sumber Daya Ikan
Buruknya pengendalian terhadap regulasi di sektor perikanan ini terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah (selaku regulator) dalam memprediksi pelbagai kemungkinan dampak yang timbul pasca diterbitkannya Permen 2/2015. Dalam situasi inilah, pelaku usaha perikanan tangkap kehilangan produktivitasnya. Imbasnya, kapasitas untuk mengembalikan pinjaman pendanaan usaha perikanan dari perbankan/non-perbankan menjadi terbengkalai.
Otoritas Jasa Keuangan (Oktober 2018) mencatat, pembiayaan usaha kelautan dan perikanan yang disalurkan melalui perbankan sejak tahun 2015-2018 mengalami peningkatan. Pada tahun 2015, alokasi pembiayaan mencapai Rp21,37 triliun untuk 257.087 debitur. Sementara pada tahun 2018 angkanya melonjak menjadi Rp30,31 triliun untuk 350.358 debitur. Meski mengalami kenaikan dari sisi alokasi pembiayaan dan jumlah debitur, angka kredit macetnya justru mengalami peningkatan dari 1,8% (2015) menjadi 1,93% (2018).
Inisiatif pembiayaan lain yang dibangun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah membentuk BLU-LPMUKP (Badan Layanan Umum–Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan) yang dibentuk pada tahun 2017 melalui Permen No.3/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja LPMUKP.
Sejak beroperasi pada 10 November 2017, BLU-LPMUKP telah menyalurkan dana sebesar Rp365 miliar kepada 14.002 penerima manfaat (nelayan, pembudidaya, pengolah/pemasar, petambak garam, dan masyarakat pesisir lainnya) di 210 kabupaten/kota. Alokasi pembiayaan terbesar dari BLU-LPMUKP ini didominasi oleh sektor penangkapan ikan (Rp126,4 miliar) dan pembudidayaan ikan (Rp159,604 miliar).
perlu dibaca : Lembaga Keuangan Mikro, Harapan Baru Nelayan untuk Bertahan Hidup
Pertanyaannya, seberapa efektifkah pembiayaan yang digelontorkan, baik melalui perbankan maupun BLU-LPMUKP, dalam menghadirkan praktik usaha perikanan yang berkelanjutan?
Seperti diketahui, setidaknya terdapat 3 dimensi keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Tiga dimensi inilah yang semestinya menjadi fokus pembiayaan usaha di sektor perikanan di Indonesia. Alih-alih menghadirkan pembiayaan usaha perikanan untuk sustainable fisheries, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Desember 2018) justru menemui fakta bahwa sejauh ini penyaluran pembiayaan usaha perikanan hanya menargetkan besaran alokasi yang tersalurkan semata dan mengenyampingkan apakah mata rantai usaha perikanan yang dibiayai berkontribusi terhadap tata kelola perikanan yang berkelanjutan dari hulu ke hilir.
Temuan di atas sejalan dengan hasil riset Transformasi (2017) yang menunjukkan bahwa pertama, pemberian izin penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh KKP (untuk kapal >30 GT) atau Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (kapal <30 GT) tidak mempertimbangkan ketersediaan sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan yang dituju. Akibatnya, ada tekanan yang cukup besar terhadap tingkat kelestarian sumber daya ikan. Ditambah lagi, hal ini berpotensi melahirkan konflik antarnelayan di laut.
Kedua, 80% unit bisnis perikanan mengakui kesulitan dalam mengurus kelengkapan administrasi perizinan perikanan dikarenakan jauhnya akses transportasi dan biaya yang terlampau tinggi. Selain merugikan keuangan negara, praktek ini juga menyulitkan aktivitas pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan di laut maupun di darat, seperti aktivitas perikanan budidaya, pengolahan ikan, dan pemasaran hasil perikanan.
baca juga : Begini Nelayan Mengkritik Susi di Depan Jokowi
Ketiga, sulitnya usaha perikanan skala kecil mengakses permodalan. Padahal, akses terhadap permodalan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin keberlangsungan bisnis dan peningkatan kesejahteraan pemilik dan tenaga kerjanya.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan nelayan sulit memperoleh akses permodalan dari perbankan, yakni (i) perbankan melakukan analisa bisnis menggunakan standar keuangan yang sering kali tidak bisa dipenuhi oleh nelayan, khususnya skala kecil; (ii) produk keuangan yang ditawarkan kepada nelayan tidak mengakomodasi pola usaha perikanan yang bersifat musiman; dan (iii) layanan perbankan menggunakan jam kerja yang tidak sesuai dengan pola kerja nelayan.
Di Jawa Timur dan Jawa Barat, adanya stigma pengemplang uang dan persepsi ketidakpastian yang tinggi terhadap usaha perikanan menjadikan nelayan sulit mengakses permodalan dari dunia perbankan. Situasi ini menjadikan sebagian pelaku usaha perikanan serba bergantung kepada tengkulak atau pengambak.
Keempat, instansi pemerintah di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota mesti duduk bersama mengevaluasi tingkat implementasi Undang-Undang No.45/2009 tentang Perubahan atas UU No.31/2004 tentang Perikanan dan UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan pengawasan dan pembinaan kepada pelaku usaha perikanan. Hal ini diperlukan mengingat adanya kesenjangan yang sangat besar antara regulasi dengan pelaksanaannya di lapangan. Belum lagi apabila kelembagaan di daerah belum memiliki kesiapan untuk menjalankan mandat UU atau aturan turunan pelaksananya.
Bertolak dari keempat temuan di atas, bisa dikatakan bahwa resiko ketidakpastian di dalam pengelolaan sumber daya perikanan bisa diatasi apabila ketidakpastian alamiah (didorong oleh dinamika ekologi dan lingkungan) dan ketidakpastian manusia (didorong oleh adanya preferensi, perilaku, dan terkadang kebijakan yang dalam beberapa hal tidak dikendalikan dengan baik) dikelola dengan manajemen yang inklusif dan berkeadilan, serta ditopang oleh skema pembiayaan usaha perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab.
perlu dibaca : Capres Dinilai Belum Punya Visi Kelautan yang Berkelanjutan
***
*Abdul Halim, Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity; Konsultan Peneliti “Pembiayaan Usaha Perikanan Berkelanjutan” pada Pusat Transformasi Kebijakan Publik (2017). Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.