Mongabay.co.id

Gelombang Tinggi dan Angin Kencang Buat Nelayan Terpuruk

 

Tarmuji duduk termangu merasakan angin yang bertiup kencang pada Rabu (27/1) lalu. Dia hanya berjarak 50 meter dari bibir Pantai Teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah. Angin kencang yang terjadi pada sore itu cukup dahsyat. Stasiun Meteorologi BMKG Tunggul Wulung Cilacap mencatat kecepatan angin 61 km/jam. Tidak mengherankan jika tidak hanya pantai saja yang merasakan, namun juga hingga ke daratan. Sejumlah rumah yang tersebar di kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan pantai di Cilacap dilaporkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap mengalami kerusakan.

Cuaca buruk seperti angin kencang dan gelombang tinggi di Samudra Hindia sebelah selatan Jateng membuat nelayan merana. Mereka terpaksa tidak dapat melaut karena kini tengah mengalami masa paceklik.

“Nelayan sama sekali tidak bisa melaut. Apalagi beberapa waktu terakhir, kondisi cuaca tidak bersahabat. Angin kencang dan gelombang tinggi. Seperti pada Rabu lalu, angin bertiup sangat kencang. Situasi semacam itu jelas sangat berdampak bagi nelayan, baik yang kecil maupun para anak buah kapal (AKB) yang bekerja di kapal yang lebih besar,” ungkap Tarmuji yang juga Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Cilacap.

Ia mengungkapkan musim paceklik mulai dirasakan sejak pertengahan Desember lalu. Sampai sekarang, nelayan sangat sedikit mendapatkan tangkapan. Padahal, biasanya menjelang Imlek ada ikan bawal. Namun, saat sekarang sangat sedikit. Padahal harga bawal putih cukup tinggi berkisar antara Rp400 ribu hingga Rp500 ribu per kg.

“Apalagi, sekarang ditambah dengan cuaca yang memburuk ditandai adanya angin kencang dan gelombang tinggi. Praktis dalam seminggu belakangan, cuaca benar-benar tidak bersahabat. Saat sekarang umumnya kapal-kapal milik nelayan diparkir agak menjauh dari pantai, karena angin kencang dan gelombang tinggi,” kata Tarmuji.

Kalaupun ada yang melaut, hasilnya sangat minim, bahkan malah rugi, karena hasil tangkapan tidak sepadan dengan biaya BBM yang dikeluarkan untuk melaut. Padahal, pada saat musim panen ikan, nelayan bisa mendapatkan Rp3 juta hingga Rp4 juta setiap harinya. Malah, kalau lagi tinggi-tingginya ada yang mendapatkan Rp10 juta hingga Rp15 juta. Kini, paling-paling hanya Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Jelas rugi, karena biaya BBM yang dikeluarkan lebih dari itu.

baca : Apa yang Terjadi di Laut Apabila Cuaca Ekstrim Bergabung dalam Satu Waktu?

 

Cuaca buruk yang melanda kawasan Pantai Cilacap, Jawa Tengah, akhir Januari 2021. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Apa yang dilakukan nelayan?

Menurutnya, nelayan hanya dapat menunggu sambil memperbaiki alat tangkap berupa jaring. Karena tidak memungkinan nelayan nekat melaut, sebab risikonya terlalu berbahaya. “Hampir semua nelayan memang tidak melaut. Sudah paceklik, ditambah dengan cuaca buruk. Ya sudah, tidak ada pilihan lain, menganggur sementara. Soalnya mau bekerja lain, kondisi pandemi tidak memungkinkan,” ujarnya.

Tarmuji mengatakan ada sebagian nelayan yang sudah menggadaikan beberapa barang, bahkan menjualnya. Dengan berkelakar, Tarmuji mengatakan kalau nelayan saat ini jadi ‘pedagang’. “Iya ‘pedagang’ barang-barangnya sendiri, karena kondisi paceklik seperti sekarang, sehingga tidak ada pemasukan dari hasil tangkapan,” katanya.

Kondisi paceklik dan cuaca buruk menambah buruk nasib nelayan yang juga terpukul pandemi COVID-19. Misalnya saja, dengan adanya COVID-19 dan pembatasan orang yang datang ke obyek wisata pantai, membuat jualan ikan para nelayan khususnya ikan asin juga turun. “Biasanya di Pantai Teluk Penyu dikunjungi para wisatawan. Tetapi dengan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pantai jadi sepi. Sehingga nelayan yang menjual ikan asin juga terdampak,”ujarnya.

Tak hanya di Cilacap, nelayan di Kabupaten Kebumen juga terdampak adanya cuaca buruk yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. “Sebetulnya, tidak paceklik, karena nelayan masih mendapatkan tangkapan ikan. Namun, karena cuaca buruk, maka pada umumnya nelayan tidak berani melaut. Dalam kondisi semacam ini, tidak mungkin nekat, sebab risikonya terlalu besar,” jelas tokoh nelayan di Kebumen, Saman.

baca juga : Akibat Cuaca Buruk, Nelayan Berhenti Melaut

 

Gelombang tinggi masih terjadi di Cilacap, Jateng, sehingga nelayan tidak melaut. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Saman mengatakan dengan cuaca buruk yang terjadi sebagian besar nelayan memang tidak melaut. Jika cuaca agak reda, nelayan mencari ikan tetapi tidak berani sampai ke tengah. Akibatnya, hasil tangkapan menjadi turun. “Saat sekarang, pendapatan nelayan turun drastis hingga 50%. Paling-paling hanya Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Pada saat cuaca normal, juga tidak terlalu banyak hanya Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Pandemi memang menjadi salah satu penyebab turunnya pendapatan nelayan,”kata Saman.

Menurutnya, saat sekarang nelayan di Kebumen masih bisa mendapatkan ikan bawal, tengiri dan lobster. Untuk bawal, harganya berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per kg tergantung ukuran ikan. Ikan bawal naik harganya karena menjelang Imlek, biasanya banyak yang mencari. Yang menjadi andalan nelayan Kebumen adalah lobster. Namun, karena gelombang tinggi, lobster yang dicari hanya yang berada tidak jauh dari pantai.

“Lobster yang tidak jauh dari pantai jenisnya lobster hijau pasir. Harganya setiap kg mencapai Rp600 ribu hingga Rp700 ribu. Kalau yang di tengah, ada lobster mutiara. Saat ini, harga lobster mutiara mencapai Rp1,5 juta per kg. Memang cukup mahal, namun kondisi gelombang tinggi dan angin kencang tidak memungkinkan dicari, karena risikonya tinggi,”kata mantan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kebumen selama 25 tahun tersebut.

Apalagi, kata Saman, rata-rata kapal yang digunakan nelayan di Kebumen bobotnya 5 grosston (GT). Sehingga sangat rawan jika tetap nekat melaut mencari ikan pada waktu kondisi cuaca buruk.

baca juga : Nelayan Kalbar, Bergelut dengan Pandemi dan Cuaca

 

Seorang nelayan nekad melaut di saat cuaca buruk yang masih melanda kawasan perairan Cilacap, Jawa Tengah, akhir Januari 2021. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dihubungi terpisah, Ketua HNSI Cilacap Sarjono mengatakan bahwa cuaca buruk yang ditandai dengan angin kencang dan gelombang tinggi sangat berdampak nelayan. Padahal sebetulnya kondisi Samudra Hindia sebelah selatan Jateng tidak terlalu paceklik. Apalagi saat sekarang nelayan Cilacap menggunakan alat tangkap baru yakni handline atau pancing ulur. Konstruksi peralatan ini sangat sederhana. Pada satu tali pancing utama dirangkaikan 2-10 mata pancing secara vertikal. Biasanya, pengoperasikan alat tersebut dibantu menggunakan rumpon sebagai pengumpul ikan.

“Dalam pekan ini, kapal-kapal yang di atas 10 GT sudah diminta untuk masuk ke Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC). Meski kapalnya cukup besar, tetapi ketinggian gelombang yang mencapai 4-6 meter, jelas sangat membahayakan. Ya sudah, daripada risiko tinggi, maka lebih baik masuk semua dulu ke PPSC sambil menunggu cuaca membaik lagi,” jelas Sarjono.

Dijelaskan oleh Sarjono, saat sekarang sebetulnya cukup banyak ikan yang muncul. Dengan alat handline maka hasil tangkapan cukup bagus. Dengan alat itu ditambah dengan adanya rumpon, maka hasil tangkapan masih tetap bagus. Misalnya ikan layur, cakalang, baby tuna dan tuna. Saat ini, harga ikan layur cukup baik, apalagi menjelang Imlek. Ikan layur berkisar antara Rp15 ribu hingga Rp39 ribu per kg tergantung ukuran ikan. Sedangkan cakalang harganya Rp15 ribu per kg. Sementara untuk baby tuna mencapai Rp17 ribu per kg serta tuna Rp25 ribu. “Ikan tuna memang cenderung turun, karena ekspor masih sulit, banyak negara yang lockdown,” jelasnya.

Ia mengharapkan kepada nelayan untuk bersabar, karena cuaca masih memburuk dalam beberapa hari mendatang. Jika cuaca sudah membaik, maka silakan melaut kembali. Keselamatan tetap menjadi yang utama jika dibandingkan dengan lainnya. Saat ini memang sudah mulai peralihan dari musim angin barat ke angin timur. Masa peralihan terjadi sampai Februari dan pada Maret akan memasuki musim angin timur. Ketika itu, nelayan lebih tenang melaut karena biasanya cuaca relatif baik.

Pengamat cuaca Stasiun Meteorologi BMKG Tunggul Wulung Cilacap Rendi Krisnawan mengatakan pada Januari memang kerap terjadi cuaca buruk di wilayah perairan Jateng. Bahkan sampai akhir Januari, gelombang tinggi dengan ketinggian 6 meter bisa terjadi di tengah samudra dan di kawasan pantai maksimal dapat mencapai 4 meter.

“Kami mengimbau kepada nelayan di Cilacap untuk senantiasa mengakses informasi cuaca yang setiap saat kami keluarkan. Prediksi cuaca sangat berguna demi keselamatan nelayan. Sebab, dengam melihat prakiraan cuaca, nelayan bisa memutuskan akan berangkat atau tidak,” tambahnya.

 

Exit mobile version