Mongabay.co.id

Berharap Mangrove di Pesisir Barat Pulau Bangka Tetap Terjaga

 

Baca sebelumnya: Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka

**

Pesisir Barat Pulau Bangka, yang menghadap Selat Bangka, merupakan lanskap hutan mangrove yang masih terjaga di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Salah satunya di Desa Labuh Air Pandan. Hutan mangrove di desa ini lestari karena masyarakatnya yang tetap setia pada tradisi dan budaya.

Selama empat hari, 22-25 Januari 2021, Mongabay Indonesia, melakukan perjalanan ke desa ini.

Desa Labuh Air Pandan yang luasnya sekitar 1.136 hektar dengan penduduk sekitar 1.183 jiwa, terletak di tengah Teluk Suak Labuh. Teluk tersebut diapit dua sungai besar yang bermuara di Selat Bangka, yakni Sungai Menduk dan Sungai Kotawaringin.

Desa ini pun berbatasan dengan kawasan hutan mangrove [hutan lindung] seluas 1.200 hektar yang membentang sepanjang pesisir Teluk Suak Labuh.

Baca: Bakau dan Rempah Pernah Jayakan Nusantara, Mampukah Kita Mengulangnya?

 

Pohon nyiri batu di Teluk Suak Labuh. Pohon ini sering menjadi sarang lebah kelulut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Desa yang berseberangan dengan wilayah Sugihan dan Muara Sugihan [Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan] di Pulau Sumatera, terbagi tiga dusun yaitu Dusun Labuh, Dusun Air Pandan, dan Dusun Balau.

Di setiap dusun, warganya memiliki karakter profesi. Dusun Air Pandan, sebagian besar warganya merupakan nelayan dan perajin daun nipah yang dijadikan atap rumah. Warga di Dusun Labuh sebagian besar berkebun dan nelayan. Sementara di Dusun Balau, sebagian besar adalah petani palawija dan padi.

“Setengah dari warga desa ini adalah nelayan, sehingga mereka hampir setiap hari berhubungan dengan hutan mangrove, laut, dan sungai,” kata Badarudin, Kepala Desa Labuh Air Pandan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, 23 Januari 2021 lalu.

“Jadi dengan kondisi itu, kami sangat menjaga hutan mangrove. Hutan yang sangat penting bagi kami sebab memberikan sumber pangan dan pendapatan warga,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, selama ini hutan mangrove melindungi permukiman [sebelum menjadi Desa Labuh Air Pandan] dari ancaman badai atau angin kencang. Wilayah kami menjadi sasaran angin kencang dan badai saat musim muson barat [Desember-Februari].

Baca: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Bonggol pohon yang ditebang di hutan mangrove Desa Labuh Air Pandan, yang masih awet. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Nilai sejarah

Keberadaan hutan mangrove di Teluk Suak Labuh, bagi masyarakat Desa Labuh Air Pandan juga terkait dengan sejarah para leluhurnya.

“Kami percaya, sebagian kami merupakan keturunan para lanun yang menetap di wilayah ini jauh sebelum masa Kedatuan Sriwijaya. Kepercayaan kami dibuktikan dengan adanya legenda “batu darah” dan “akek mencali” terkait keberadaan leluhur kami di desa ini,” kata Rudi, Ketua Lembaga Adat Desa Labuh Air Pandan.

Selain itu, masyarakat Labuh Air Pandan juga yakin jika kawasan mereka di masa lalu termasuk dalam permukiman atau bandar Kota Kapur, yang ditaklukan Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-7. “Selama ini, kami sering menemukan keramik atau benda-benda purba [tiang rumah], baik di kawasan mangrove atau tanah mineralnya,” jelas Rudi.

Baca juga: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Sungai Menduk yang bermuara ke Selat Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Membakar perahu pencuri kayu

Beberapa tahun lalu, ada sejumlah pencuri kayu menebang pohon perepat di kawasan hutan mangrove di Teluk Suak Labuh. Warga kemudian mengusir dan membakar perahu para perambah tersebut. “Sejak peristiwa tersebut, sampai sekarang tidak ada perambah yang berani mengambil kayu di hutan mangrove kami,” kata Badarudin.

Di masa hak pengusahaan hutan [HPH], hutan mangrove di Teluk Suak Labuh juga dirambah. Namun perambahan ini berlangsung tidak lama, sebab mendapat penolakan masyarakat.

Mongabay Indonesia juga mendapatkan informasi jika beberapa kali pelaku tambak udang mencoba masuk ke hutan mangrove tersebut, tapi langsung ditolak dan diusir warga.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia selama tiga hari, tanaman yang mendominasi di Teluk Suak Labuh antara lain perepat [Sonneratia alba], bakau [Rhizophora], nyiri batu [Xylocarpus moluccensis], nipah [Nypa fruticans Wurmb], dan nibung [Oncosperma tigillarium syn. O. filamentosum].

Lapisan pertama kawasan mangrove berlumpur ini adalah perepat. Kemudian bakau, nyiri batu, nipah dan nibung. Panjang lapisan lima jenis tanaman tersebut berkisar 200-250 meter dari garis pantai.

Sebagai informasi, luasan mangrove di Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, sekitar 12.000 hektar, yang tersebar di Kecamatan Belinyu, Puding Besar, Mendo Barat, Riau Sili, Pemali dan Merawang. Kawasan mangrove terluas di Mendo Barat dan Puding. Tapi sekitar 2.000 hektar mengalami kerusakan.

 

Hutan mangrove membentang di sepanjang pesisir Teluk Suak Labuh. Hutan mangrove ini melindungi dan menghidupi ribuan warga Desa Labuh Air Pandan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menjaga hidup

Merawat hutan mangrove di Teluk Suak Labuh bagi warga Desa Labuh Air Pandan adalah menjaga kehidupan.

“Bakau [mangrove] itu kan atap bagi kami. Atap melindungi kami dari badai, dan dari berbagai persoalan hidup. Bakau itu tempat kami mencari hidup,” kata Rusmi [54], warga Dusun Air Pandan.

“Jadi janganlah dirusak bakau nih. Susah hidup kami kalau rusak,” kata perajin anyam atap daun nipah ini.

Pendi [39], nelayan dari Dusun Labuh mengatakan, hutan mangrove menjamin kehidupannya. “Bakau kan tempat menetas dan sumber makanan ikan. Kalau tidak ada tumbuhan ini jelas kami kesulitan mendapatkan ikan di laut dan sungai.”

 

Mangrove melindungi Teluk Suak Labuh dari sasaran badai dan angin kencang, terutama saat musim muson barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di hutan mangrove para nelayan biasanya mendapatkan udang, ikan sembilang dan kepiting. “Kalau melaut yang tak jauh dari pantai. Ikan yang kami dapatkan kembung, selangat, kakap, pari, mangut, manyung, dan todak. Terkadang bawal,” kata Pendi.

Para nelayan di Desa Labuh Air Pandan mencari ikan di mangrove, sungai, dan laut menggunakan peralatan tradisional seperti pancing, jaring apung dan jaring serok. Sementara perahu yang digunakan ukuran kecil dengan mesin 3 PK [Paardenkracht atau tenaga kuda].

“Setiap hari kami mendapatkan penghasilan kisaran Rp100-150 ribu. Itu setelah dikurangi biaya BBM dan makan sekitar Rp150 ribu,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version