Mongabay.co.id

Tak Hanya Darat, Kejahatan juga Berpusat di Laut

 

Keamanan dan keselamatan bagi para pekerja yang beraktivitas di atas laut sampai sekarang masih terus menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Tugas tersebut harus diselesaikan, karena kejahatan di atas laut masih terus terjadi dan belum bisa dihentikan.

Akibat masih maraknya tindak pidana kejahatan, laut Indonesia dari waktu ke waktu menjadi semakin rawan. Kondisi tersebut harus segera diatasi oleh Pemerintah, agar seluruh kegiatan yang dilaksanakan di atas laut bisa dilaksanakan tanpa ada rasa kekhawatiran.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebutkan, sepanjang Januari 2021 saja, tindakan kejahatan di atas laut tercatat terjadi hingga 12 kali. Kejahatan maritim itu dilakukan oleh kapal asing, kapal Indonesia, dan warga negara asing (WNA) atau Indonesia (WNI).

“Aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan operasional di laut, mesti meningkatkan intensitas pengawasan, sinergi antar instansi, dan mendorong partisipasi masyarakat untuk melaporkan aktivitas ilegal yang terjadi di laut, terutama oleh kapal asing,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.

Melihat angka tindak pidana kejahatan yang terjai di atas laut, Abdi Suhufan melihat bahwa itu adalah angka yang tingg. Terlebih, karena itu terjadi baru di awal tahun saja dengan melibatkan sepuluh kapal ikan asing (KIA) dan tiga kapal Indonesia.

“Ini mengindikasikan tingginya tingkat kerawanan laut Indonesia atas kegiatan kejahatan maritim atau ocean crime,” tegas dia.

baca : Masih Terjadi, Ini Dampak Negatif dari Praktik IUU Fishing

 

Kapal pengawas KKP menangkap kapal asing berbendera Malaysia yang menggunakan alat penangkap ikan (API) terlarang trawl di perairan Selat Malaka pada Rabu (3/2). Foto : KKP

 

Adapun, tindak pidana kejahatan di atas laut yang selama ini marak terjadi di Indonesia, meliputi kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, penyelundupan Lobster, penyelundupan bahan bakar minyak (BBM), serta penyelundupan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).

Khusus untuk kegiatan terakhir, yakni penyelundupan narkoba, laut selalu dijadikan sebagai jalur favorit untuk melakukan penyelundupan dari dan ke luar negeri. Bahkan, tercatat sudah ada 300 kilogram narkoba jenis sabu dan lainnya yang diselundupkan lewat jalur laut melalui Aceh dan Selat Malaka.

Selain itu, DFW Indonesia juga menemukan adanya unsur kesengajaan, upaya melawan hukum nasional, dan ketentuan internasional lainnya yang dilakukan oleh KIA saat melintasi perairan Indonesia. Dari semua itu, yang paling sering adalah mematikan alat pendeteksi otomatis.

Abdi Suhufan merinci, kapa-kapal asing yang tercatat melakukan pelanggaran adalah kapal riset milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xiang Yang Hong 03, kapal ikan Taiwan Hai Chien Hsing 20, dan dua kapal tanker MT Horse berbendera Iran dan MT Frea berbendera Panama.

“Masing-masing memiliki modus yang sama, yaitu mematikan Automatic Identification System atau AlS,” ucap dia.

baca juga :  Aktivitas Perikanan Ilegal, Kegiatan Berbahaya Lintas Negara

 

Kapal Hai Chien Hsing 20 berbendera Taiwan ditangkap karena selama melakukan operasi penangkapan ikan di perairan Indonesia selalu mematikan AIS. Foto : istimewa

 

Pelanggaran

Khusus untuk kapal Hai Chien Hsing 20 yang berbendera Taiwan, aparat penegak hukum Indonesia menemukan fakta bahwa kapal tersebut selama melakukan operasi penangkapan ikan di perairan Indonesia selalu mematikan AIS.

“Kapal Hai Chien Hsing 20 terakhir kali mengaktifkan AIS sekitar tiga bulan lalu, tepatnya 6 Oktober 2020,” tambah dia.

Adapun, ketentuan yang dilanggar adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia; Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS), dan Tokyo MoU.

“Ada ancaman sanksi administrasi menurut ketentuan internasional dan ancaman pidana jika melanggar hukum nasional,” tegas dia.

Lebih jauh, Abdi Suhufan juga mengatakan tentang aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai peraturan (IUUF) yang juga tak bisa dihilangkan dari wilayah perairan Indonesia. Hingga sekarang, IUUF masih ada dan mengancam kelestarian sumber daya laut Indonesia.

Agar kapal asing tidak semakin leluasa melakukan IUUF di perairan Indonesia, maka instansi dan penegak hukum yang berwenang dalam penanganan tindak pidana perikanan harus terus melakukan penguatan koordinasi, dan peningkatan intensitas pengawasan.

“Selain itu, mendorong penegakan hukum bagi pelaku kejahatan tindak pidana perikanan dan membenahi tata kelola perikanan,” jelas dia.

 

Kapal pengawas KKP menangkap kapal asing berbendera Malaysia yang menggunakan alat penangkap ikan (API) terlarang trawl di perairan Selat Malaka pada Rabu (3/2). Foto : KKP

 

Dalam catatan DFW Indonesia, sepanjang Januari 2021 saja sudah ada sembilan kapal ikan yang melakukan kegiatan IUUF di wilayah laut Indonesia dan berhasil ditangkap oleh aparat penegak hukum berwenang.

Sembilan kapal ikan tersebut berhasil ditangkap oleh kapal pengawas milik Badan Keamanan Laut (Bakamla), kapal milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP), dan milik TNI Angkatan Laut.

“Kapal yang ditangkap terdiri dari delapan kapal ikan asing, dan satu kapal ikan dalam negeri yang melakukan penangkapan ilegal. Dari sembilan kapal tersebut, mayoritas tertangkap di Selat Malaka ketika mencuri ikan,” sebut dia.

Adapun, sembilan kapal tersebut, delapan kapal ditangkap di perairan Laut Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, dan satu kapal ditangkap karena menggunakan alat tangkap jenis trawl. Kedelapan kapal tersebut, tujuh berbendera Malaysia, dan satu berbendera Taiwan. Sisanya, berbendera Indonesia.

Dari penangkapan kapal ikan tersebut, apara penegak hukum mengamankan sekitar 40 orang awak kapal perikan (AKP) dan barang bukti ikan seberat 23 ton yang menjadi hasil kejahatan. Dari AKP yang ditangkap, sebanyak 17 orang adalah WNI yang bekerja pada KIA berbendera Malaysia dan Taiwan.

baca juga : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok

 

Sebuah kapal yang sedang menangkap ikan. Foto : progressive-charlestown.com

 

Tantangan

Banyaknya kapal ikan yang melakukan IUUF di awal tahun, menjadi tantangan yang harus dijawab oleh aparat penegak hukum. Hal itu, karena aktivitas tersebut akan memicu banyaknya pekerja atau AKP asal Indonesia yang bekerja pada KIA dan terindikasi melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal.

Menurut peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin, persoalan banyaknya AKP asal Indonesia yang tertarik untuk bekerja pada KIA dan kemudian ikut terlibat dalam IUUF, harus bisa diantisipasi oleh Pemerintah Indonesia sejak dari sekarang.

Pasalnya, tidak hanya satu negara saja, namun ada banyak negara lain yang merekrut AKP Indonesia untuk bekerja pada KIA milik mereka. Selain Malaysia, ada negara seperti Tiongkok, dan juga Taiwan yang mempekerjakan AKP Indonesia dan berstatus tenaga kerja ilegal.

“Mereka sangat beresiko, karena berpotensi tertangkap dan bisa dijerat dengan berbagai macam tuduhan pelanggaran, seperti kejahatan perikanan, keimigrasian, pelayaran, dan ketenagakerjaan,” terang dia.

Dalam penilaian Arifuddin, kejahatan perikanan seperti IUUF terus berkembang menjadi lebih modern dari waktu ke waktu. Selain itu, kejahatan IUUF juga selalu berkaitan dengan pelanggaran lain yang juga terjadi di atas laut.

“Sehingga perbaikan tata kelola perikanan Indonesia menjadi sangat mendesak,” tambah dia.

Dengan kata lain, Pemerintah tidak hanya fokus untuk melindungi sumber daya ikan dari pencurian oleh KIA saja, melainkan juga bagaimana terus memastikan perlindungan kepada AKP yang bekerja pada KIA bisa tetap berjalan dengan baik dari waktu ke waktu.

”Kami mendorong Presiden Jokowi untuk memberi atensi terhadap masalah ini, sebab akan sangat memalukan jika kekayaan laut Indonesia di curi oleh kapal ikan asing dengan mempekerjakan awak kapal asal Indonesia,” pungkas dia.

Sementara, peneliti DFW Indonesia lainnya, Baso Hamdani mengatakan bahwa titik rawan kejahatan di laut Indonesia berada di lokasi sekitar perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Selat Malaka. Pada lokasi-lokasi tersebut, kemampuan operasi Bakamla yang baru mencapai 30 persen harus ditingkatkan dengan cepat.

 

Exit mobile version