Mongabay.co.id

Support LIN, Maluku Harus Cerdas dan Bijak Kelola Kekayaan Lautnya 

 

Potensi perikanan di Maluku sangat berlimpah dan menjanjikan. Paling besar berasal dari perikanan tangkap, yang diperkirakan mencapai 4,6 juta ton atau 37 persen dari 12,5 juta total potensi sumber daya ikan nasional.

Di Maluku sendiri ada tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara RI, yakni 714 (Laut Banda), 715 (Laut Maluku dan Pulau Seram), serta 718 (Laut Arafura).

Kepulauan Banda merupakan daerah penangkap ikan (fishing ground) utama untuk Maluku dan dunia. Kalau dikilas balik, Kepulauan Banda menjadi sorotan bangsa-bangsa Eropa dan lain-lain, di masa lalu.

“Kepulauan Banda memang disoroti di zaman dulu. Jepang di tahun 1968 misalnya, datang untuk menangkap tuna di Laut Banda,” kata Amrullah Usemahu Wakil Sekjen Masyarakat Perikanan Nusantara kepada Mongabay Indonesia, Kamis (4/2/2021).

Menurut dia, Kepulauan Banda juga memiliki karakter laut terdalam dan menjadi salah satu kawasan upwelling. Untuk itu, Maluku harus cerdas dalam mengelola lautnya, apalagi dalam rangka mendukung Program Lumbung Ikan Nasional (LIN).

“Soal LIN, kita tidak bisa asal mengelola sumber daya laut. Pemerintah jangan jadikan (stok ikan) 4 juta ton sebagai dasar argumen, namun lebih dari itu harus didata secara detil,” katanya mengingatkan.

baca : Bukan COVID-19, Infrastruktur Perikanan yang Jadi Kendala Nelayan Pulau Rhun, Maluku. Kenapa?

 

Dari kiri : Gubernur Maluku Murad Ismail, Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Ladahalia mengunjungi kawasan Pelabuhan Terpadu sebagai pengembangan Lumbung Ikan Nasional di Desa Liang dan Waai Kabupaten Maluku Tengah, Jumat (5/2/2021). Foto: KKP

 

Sisi lain, Kepulauan Banda di Kabupaten Maluku Tengah adalah jantung perikanan Indonesia, meski program LIN akan dipusatkan di Ambon. Mengapa LIN? Karena porsi anggaran APBD Pemprov Maluku untuk mengelola sektor perikanan sangat minim.

Kabupaten Maluku Tengah dengan 18 kecamatan dan 29 ribu nelayan, hanya menganggarkan Rp2,6 milyar dalam DAK-nya. Lantas bagaimana dana itu bisa menyejahterakan nelayan di sana, sementara kebutuhan sarana dan prasarana cukup besar.

Amrullah melihat permasalahan saat ini adalah posisi tawar Pemprov Maluku ke Pemerintah Pusat untuk proses pengelolaan LIN.

 

LIN untuk siapa?

Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut menegaskan bahwa negara berkewajiban menata pemanfaatan kekayaan sumber daya alam (SDA) termasuk potensi perikanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Welem Waileruny, Dosen pada Program Pascasarjana S2 dan S3 Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, pasal ini bukan sekedar memberikan wewenang negara mengatur kegiatan perekonomian, tetapi jauh dari itu yakni mencerminkan cita-cita yang harus dipegang teguh dan diperjuangkan secara konsisten oleh para pemimpin negara, yakni kesejahteraan rakyat.

“Ini merupakan cita-cita mulia pendiri negara kita,” tegas Waileruny, Dosen kepada Mongabay Indonesia belum lama ini.

Pertanyaannya siapa yang dimaksud dengan rakyat di dalam pasal ini. Menurut dia, jawabannyan adalah seluruh rakyat Indonesia. Dan rakyat yang dimaksud ada dalam dua dimensi, yakni ruang dan waktu.

baca juga : Presiden Jokowi Targetkan Program LIN Maluku Beroperasi 2023

 

Para nelayan Pulau Rhun, Banda, Maluku Tengah, dengan puluhan ton ikan layang, hasil tangkap. Dalam sehari mereka bisa menghasilkan 10 hingga 12 ton ikan layang. Foto : Victor Fidelis

 

Dalam dimensi ruang, mengandung arti bahwa pemanfaatan SDA yang terkandung di bumi Indonesia harusnya didistribusikan secara adil untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat di wilayah Tanah Air Indonesia.

Bukan hanya kelompok masyarakat tertentu apalagi untuk bangsa lain. Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dari hasil eksploitasi SDA. Negara berkewajiban menata atau mengelola sumber daya alam dengan baik sehingga seluruh warga negara merasa adil dalam distribusi hasil eksploitasinya.

Distribusi secara adil bukan mengandung arti sama rata – sama rasa. Daerah yang kaya akan sumber daya alam berhak menikmati kekayaan sumber daya alamnya, bukan sebaliknya daerah yang kaya dengan sumber daya alam namun dari sisi kesejahteraan berada dalam kelompok daerah termiskin di negara.

“Hal ini berkaitan dengan kemauan negara untuk memberika rasa keadilan bagi seluruh anak bangsa,” jelasnya.

Kaitan dengan distribusi hasil eksploitasi sumber daya perikanan dan LIN, ungkap dia, saat kunjungan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akhir Agustus 2020, menyatakan bahwa kalau satu juta atau dua juta ton saja bisa dimanfaatkan untuk masyarakat Maluku, maka hasilnya akan sangat luar biasa.

Meski demikian, sambung dia, sangat tergantung pada sejauh mana Pemerintah Maluku menyikapinya. Artinya jika Pemerintah Maluku hanya menunggu hasil dari Pemerintah Pusat, maka boleh jadi LIN bukan untuk kesejahteraan masyarakat dan Pemerintah Maluku.

“Kekayaan SDA atau anugerah Tuhan harus dinikmati sepanjang generasi negara. Bukan hanya pada generasi tertentu, sementara yang lain hanya tahu ceritanya melalui sejarah pustaka,” ujarya.

perlu dibaca : Jemput LIN, Maluku Harus Siapkan SDM, Etos Kerja dan Bicara Anggaran

 

Bongkar muat ikan cakalang dari kapal ikan ke mobil pick up, di Pelabuhan Tulehu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Perikanan unggul

Menurut Waileruny, Maluku memiliki beberapa sumber daya perikanan yang unggul dan menjadi komoditi ekspor, seperti udang, ikan tuna, cakalang, ikan pelagis besar, pelagis kecil, ikan karang, dan ikan demersal yang diekspor dalam bentuk hidup atau mati. Kemudian berbagai jenis moluska, rumput laut dan lain-lain.

Dia mengungkapkan, sebelum moratorium penangkapan ikan tahun 2014, ekspor ikan khusus dari PPN Tantui Ambon sebesar 56.549.971 ton. Walaupun menurun drastis sampai 142.602 ton pada September 2019, lantaran kebijakan moratorium dan beberapa diantaranya lagi.

“Kita berada pada era ekonomi biru (blue economic) yang menghendaki pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya perikanan. Kekayaan sumber daya perikanan yang ada bukan hanya untuk kesejahteraan generasi saat ini,” katanya.

Menurutnya, pemenuhan kebutuhan pembangunan saat ini harus dibarengi dengan tindakan pengelolaan yang arif (bijaksana), sehingga pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Dan pada sisi lain, sumber daya tetap terjadi serta berkelanjutan.

Untuk menjamin keberlanjutan sumber daya perikanan, maka pengelolaan yang benar sesuai bukti ilmiah terbaik yang tersedia harus dilakukan sebagaimana diamanatkan Code Of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).

Batasan-batasan harus ditentukan berdasarkan data dan informasi ilmiah yang benar sebagaimana dikehendaki FAO melalui CCRF, untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan, dan bukan sebaliknya kepentingan kelompok atau lainnya.

“Sumber daya perikanan walaupun termasuk dalam kelompok sumber daya alam yang dapat pulih, namun kemampuan pulih banyak sumber daya perikanan lebih rendah dari kemampuan eksploitasinya, yang jika tidak dikontrol dapat mengakibatkan kepunahan,” katanya.

Hancurnya berbagai sumber daya perikanan ekonomis penting di berbagai belahan dunia, kata dia, diakibatkan lantaran pengelolaan yang tidak benar. Harus dipastikan, eksploitasi yang dilakukan melalui LIN di Maluku harus menjamin keberlanjutan sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia, terlebihnya bagi masyarakat Maluku.

Keberlanjutan sumber daya perikanan dapat dilakukan melalui penentuan kuota, penentuan ukuran ikan layak tangkap, dan pelarangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

baca juga : Ironi di Kepulauan Kei : Kaya Potensi Perikanan, Tapi Miskin Pemanfaatan [1]

 

Nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara mengangkut ikan hasil tangkapannya. Foto : Kopnel Karya Mandiri/Mongabay Indonesia

 

Program Pemerintah Pusat

Perlu dijelaskan panjang lebar bahwa LIN ini merupakan program Pemerintah Pusat, yang kebetulan lokasinya di Maluku, lantaran daerah bertajuk Seribu Pulau ini memiliki karakter yang kuat dari sisi perikanan. LIN sebelumnya sudah dicanangkan pada 2010 lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Abdul Haris, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku menjelaskan, dalam Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) disebutkan LIN adalah kawasan penghasil produksi ikan secara berkelanjutan, diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagai wujud dinamisnya kebijakan ketahanan pangan dan merupakan pusat pertumbuhan ekonomi perikanan nasional.

“Jadi yang perlu kita ingat bersama adalah diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat,” tegas Haris saat menjadi narasumber dalam kegiatan webinar LIN yang digelar Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon bekerja sama dengan Yayasan EcoNusa, Sabtu (30/1/2021).

Sementara terkait tujuan LIN, lanjut dia, ada tiga hal. Pertama menjamin ketersediaan stok sumber daya ikan yang berkelanjutan dengan sasaran terwujudnya pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.

Kemudian mewujudkan peningkatan ekonomi negara, daerah dan masyarakat dengan sasaran terwujudnya optimalisasi produksi penangkapan budidaya dan pasca panen hasil perikanan, serta  ketiga mewujudkan pengelolaan kelautan dan perikanan yang efektif dan efisien. Tentu dengan sasaran terwujudnya efektivitas dan efisiensi pengelolaan kelautan dan perikanan.

Lantas kenapa Maluku harus dijadikan sebagai LIN, karena memang daerah kepulauan ini memiliki beberapa kriteria yang ditetapkan dalam Ranperpres tentang LIN. Di dalam Ranperpres disebutkan, suatu daerah dapat dijadikan sebagai LIN apabila memenuhi beberapa kriteria.

penting dibaca : Mewujudkan Lumbung Ikan Nasional dari Wacana Menjadi Terlaksana

 

Puluhan armada kapal ikan berlabuh di Pulau Rhun, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Foto : Nurdin Tubaka/Mongabay Indonesia

 

Pertama kawasan yang mencakup lebih dari 2 wilayah pengelolaan perikanan. “Kalau lihat di Indonesia ada 11 WPPNRI, dan di Maluku ada 3, yaitu WPP 714 (Laut Banda), 715 (Laut Maluku dan Pulau Seram), serta 718 (Laut Arafura). Maka Maluku memenuhi kriteria ini,” jelas dia.

Kedua memiliki potensi sumber daya ikan lebih dari 20 persen sumber daya ikan (SDI) Nasional. SDI Nasional adalah 12,5 juta ton pertahun, sementara SDI Maluku dengan 3 WPP adalah 4,6 juta ton pertahun, dengan demikian potensi sumber daya ikan Maluku yang ada di 3 WPP sebesar 37 persen dari potensi SDI Nasional.

Ketiga memberikan kontribusi produksi perikanan lebih dari enam persen produksi perikanan nasional. “Saat ini Maluku punya produksi perikanan tangkap berada pada 534 ribu ton pertahun. Sehingga dengan kondisi itu ternyata produksi perikanan Maluku sudah mencapai 12,4 persen dari produksi perikanan nasional, sementara yang dipersyaratkan cuma enam persen,” katanya.

Keempat memiliki daerah pelayanan produksi perikanan secara nasional. Di Maluku ada dua, yakni pelabuhan perikanan di Ambon dan satunya lagi di Kota Tual.

“Jadi semua syarat yang ada dalam Ranperpres LIN dipenuhi oleh Provinsi Maluku. Maka Maluku pantas dijadikan sebagai LIN,” katanya tegas.

baca juga : Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Peran Pemprov Maluku

Kemudian, lanjut Haris, dalam dokumen perecanaan yang harus dibuat, yakni masterplan (rencana induk). Dalam Ranperpres LIN disebutkan, masterplan dibuat oleh Pemerintah Pusat melalui KKP. Selanjutnya dari masterplan itu diturunkan lagi menjadi rencana pengelolaan dan rencana aksi. Rencana pengelolaan dan rencana aksi dibuat oleh Pemerintah Daerah.

“Sekarang bagaimana kita mau membuat masterplan LIN, sementara di satu sisi yang mengetahui karakteristik wilayah Provinsi Maluku adalah orang Maluku,” katanya.

Jadi yang tahu tentang kelebihannya, kekuatan, kelemahan, peluang, tantangan dan ancamannya adalah orang Maluku. Lantas bagaimana Pemerintah Pusat mau membuat masterplan yang baik, sementara mereka tidak menguasai karakteristik wilayah Maluku.

Sehingga itu, Pemerintah Daerah menyiapkan dokumen yang namanya grand design LIN. Grand design ini dibuat oleh pemerintah daerah dan telah dinyatakan secara resmi oleh Gubernur Maluku dengan surat tertanggal 26 Januari 2020 kepada KKP.

Ada dua dokumen yang disampaikan, yakni grand design LIN sebagai acuan bagi Pemerintah Pusat untuk membuat masterplan, dan dokumen yang kedua adalah studi kelayakan untuk lokasi pusat industrialisasi.

“Dua dokumen ini telah disampaikan secara langsung ke kementerian dan instasi terkait termasuk ke Kantor Staf Presiden untuk bagaimana lembaga-lembaga ini dapat menindaklanjutinya,” katanya.

perlu dibaca : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil [Bagian 1]

 

Pembersihan ikan tuna di PT Harta Samudera Pulau Buru, Maluku, pada akhir Agustus 2017. Perikanan di tempat tersebut mempraktekkan prinsip fair trade dan perikanan berkelanjutan bagi nelayan setempat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dia menambahkan, dalam strategi implementasi LIN ini harus merubah paradigma sektoral di internal kelautan dan perikanan itu sendiri, yakni perikanan tangkap, budidaya, penguatan daya saing, pengelolaan ruang laut, pengawasan dan lain-lain. Jadi semua pihak harus melepas ego dari masing-masing eselon yang ada di kelautan dan perikanan.

“Kita harus mengubah ini menjadi paradigma terpadu, terintegrasi dari hulu sampai hilir. Untuk itu kita harus mulai dari pengelolaan atau pemanfaatan ruang laut yang ada di dalam wilayah perairan Provinsi Maluku,” ajaknya.

Kemudian optimalisasi jasa kelautan, pendayagunaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pengembangan dan optimalisasi kawasan-kawasan konservasi. Sisi lain itu perikanan tangkap, artinya bagaimana Maluku mengoptimalisasi potensi produksi perikanan yang ada di daerah ini.

Saat ini baru ada 12,4 persen dari potensi yang tersedia. Masih terbuka peluang pemanfaatan, tentunya dengan konsep-konsep pengendalian, pembatasan dan peningkatan produksi terhadap WPP-WPP yang sudah over eksploitasi.

“Kita harus adakan pembatasan. Kemudian untuk pulih eksploitasi kita lakukan pengendalian, sedangkan yang masih moderat kita lakukan pemberdayaan untuk peningkatan produksi,” jelasnya.

Sisi lain juga untuk perikanan budidaya berkelanjutan. Yakni, terkait dengan pengelolaan kawasan budidaya berkelanjutan, optimalisasi produksi perikanan budidaya dan juga penyediaan sarana dan prasarana budidaya. Kemudian didukung oleh daya saing, peningkatan konsektifitas dan penyediaan sarana dan prasarana logistik, termasuk sistim logistik ikan nasional (SLIN).

Demikian juga dengan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan (PSDK), yaitu pengembangan dan penguatan kelembagaan PSDK, kemudian pemberian sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, peningkatan peran serta dari masyarakat, baik lokal, tradisional maupun masyarakat pesisir secara luas.

 

Exit mobile version