Mongabay.co.id

Cita-cita Perlindungan Awak Kapal Perikanan Semakin Mendekati Kenyataan

 

Pemerintah Indonesia terus mematangkan finalisasi dokumen Rencana Aksi Nasional Perlindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan (RAN PPAKP) yang akan menjadi sumber hukum untuk perlindungan kepada para tenaga kerja perikanan yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP).

Dokumen tersebut akan diajukan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres). Bersamaan dokumen tersebut, diajukan juga lampiran lengkap RAN selama periode 2021-2024.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Basilio Dias Araujo, pekan lalu di Bogor, Jawa Barat, mengatakan bahwa penyusunan dokumen RAN menjadi kebutuhan yang mendesak untuk saat sekarang.

“Menyikapi adanya banyak kasus penelantaran pelaut dan awak kapal perikanan di luar negeri, kita terus berupaya untuk memperbaiki tata kelola perlindungan pelaut dan awak kapal perikanan Indonesia,” jelas dia.

Basilio mengungkapkan, penyusunan RAN PAKP dilakukan dengan tujuan untuk memastikan Negara senantiasa hadir dengan memberikan perlindungan yang layak dan wajar kepada setiap warga Negara Indonesia (WNI) secara umum, utamanya yang bekerja di subsektor perikanan tangkap.

“Baik itu yang bekerja di dalam, maupun di luar negeri,” tambah dia.

baca : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok

 

Sebanyak 157 awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia, termasuk dua jenazah yang berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia dari Republik Rakyat Tiongkok pada November 2020. Foto : Hubla Kemhub

 

Menurut dia, penyusunan RAN dilakukan dengan cepat, karena Pemerintah sangat serius dalam melakukan perbaikan tata kelola perlindungan WNI yang bekerja sebagai pelaut dan AKP. Di masa mendatang, dunia internasional juga harus tahu bahwa perundang-undangan Indonesia sudah berjalan.

Dengan kata lain, Indonesia akan menjadikan dirinya sebagai contoh untuk tata kelola ketenagakerjaan pada subsektor perikanan tangkap secara internasional. Diharapkan, negara-negara yang menjadi anggota organisasi maritim internasional (IMO), organisasi buruh internasional (ILO), dan lainnya bisa mencontoh dari Indonesia.

Penyusunan RAN juga menjadi langkah yang sangat penting, karena sepanjang periode 2017 hingga 2020 terdapat sebanyak 5.371 pelaut dan AKP asal Indonesia yang sudah menjadi korban penelantaran dan eksploitasi saat bekerja di atas kapal perikanan di dalam dan luar negeri.

Sementara, pada 2020 saja sudah tercatat ada lebih dari 20 pelaut yang bekerja pada subsektor perikanan yang dinyatakan meninggal dunia saat bekerja di kapal ikan asing (KIA). Jumlah tersebut, diyakini jauh di atas angka sebenarnya yang belum bisa diungkap lebih jauh.

“Jumlah ini tentu belum mencerminkan angka riilnya, karena terdapat banyak kasus yang tidak tercatat atau dilaporkan. Mengingat, banyak pelaut dan AKP yang berangkat ke luar negeri melalui jalur independen atau mencari lowongan sendiri di luar negeri,” papar dia.

baca juga : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan

 

Reynalfi dan Joni Juniansyah, awak kapal perikanan yang menyelamatkan diri dari kapal RRT Lu Qian Yua Yu 901 pada Jumat (5/6/2020) saat kapal sedang melintasi perairan Selat Malaka. Foto : newscorner.id

 

Akar Masalah

Selain ancaman kehilangan nyawa yang sering dihadapi para tenaga kerja yang bekerja di atas kapal perikanan, para pekerja juga sering menghadapi persoalan lain seperti penelantaran, eksploitasi, gaji tidak dibayar, dan juga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya.

Untuk mengatasi persoalan seperti itu, Kemenko Marves sejak 2019 sudah membentuk Tim Nasional Perlindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan yang beranggotan para pakar dari kementerian dan lembaga yang terkait di Indonesia.

Menurut Basilio Dias Araujo, masih terjadinya permasalahan yang sering dialami para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai pelaut dan AKP di atas kapal perikanan asing dan dalam negeri, dikarenakan masih ada tiga akar masalah yang membuat perlindungan tidak maksimal.

Pertama, adalah belum adanya sinkronisasi antara pendidikan dan pelatihan bagi pelaut serta AKP yang sesuai dengan standar Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F).

Kondisi itu terjadi, karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih belum menganggarkan dana untuk membeli silabus kurikulum standar IMO yang semuanya harus dibeli dari Singapura dengan nilai mencapai Rp60 juta.

Kedua, belum adanya tata kelola yang baik untuk mengatur perusahaan yang melaksanakan penempatan kerja bagi para pelaut dan AKP. Ketiga, belum ada sumber data terpadu secara nasional antar kementerian dan lembaga yang bisa dijadikan rujukan data untuk menelusuri keberadaan pelaut dan AKP Indonesia yang bekerja di KIA.

“Akibatnya, perlindungan sulit dilakukan,” sebut dia.

perlu dibaca : Pentingnya Harmonisasi Peraturan untuk Perlindungan Pekerja Perikanan

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing. Foto : screenshoot Youtube MBC News/Mongabay Indonesia

 

Di lain sisi, perlunya perlindungan penuh diberikan, karena para TKI yang bekerja pada subsektor perikanan tangkap juga menjadi penyumbang devisa yang sangat besar bagi Negara. Dalam setahun, mereka menyumbangkan devisa hingga Rp150 triliun, dengan asumsi gaji per orang mencapai Rp7 juta.

Jika dikalikan dengan jumlah pelaut dan AKP sebanyak 1,2 juta orang, maka nilainya bisa mencapai jumlah total di atas. Data jumlah pelaut dan AKP tersebut sesuai dengan data yang tercatat pada Kementerian Perhubungan RI dan diambil dari jumlah buku pelaut yang diterbitkan.

“Jadi kalau pelaut dan ABK kita yang satu juta lebih orang itu mampu sumbang devisa sebesar itu, artinya negara wajib memberi perlindungan yang pantas dan layak kepada para pelaut dan ABK Indonesia dan harus dikelola dengan baik,” tandas dia.

 

Penguatan Kapasitas

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendukung penuh pemetaan masalah para TKI yang bekerja pada subsektor perikanan tangkap melalui RAN PAKP. Upaya tersebut menjadi bentuk penguatan kapasitas pelaut dan AKP asal Indonesia, karena akan ada peningkatan sumber daya manusia (SDM).

“Pengembangan kapasitas para pelaut dan AKP akan bisa menaikkan kesejahteraan, upah, dan penghargaan profesi pelaut dan AKP,” ungkap Direktur Ketenagakerjaan Bappenas Mahatmi Parwitasari Saronto.

Menurut dia, dengan pemahaman yang lengkap mengenai peraturan perundangan terkait perlindungan hak-hak pelaut dan ABK, maka itu akan menguatkan posisi para pelaut dan AKP asal Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak dasar mereka.

baca juga : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PBN/Mongabay Indonesia

 

Kehadiran RAN, diyakini akan bisa mempertajam upaya Pemerintah Indonesia yang sedang berusaha meningkatkan perlindungan bagi pelaut dan AKP asal Indonesia. Untuk itu, Bappenas akan melakukan sinkronisasi dengan program strategis RPJM 2021-2024 yang disusun Tim Nasional utnuk RAN-PAKP.

“Kita tidak mau kehilangan momentum baik ini, jadi identifikasi program dan skala prioritas nasional menjadi penting,” ungkap Direktur Pemantauan, Evaluasi dan Pengendalian Pembangunan Sektoral Bappenas Adhi Putra Alfian.

Melalui RAN PAKP, maka kondisi ideal perlindungan kepada pelaut dan AKP bisa digapai oleh Indonesia di masa yang akan datang. Dengan demikian, kejadian menyedihkan yang menimpa mereka saat bekerja di kapal perikanan diharapkan bisa dikurangi lebih cepat lagi.

Terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memaparkan bahwa sepanjang 2020 sudah ada 22 orang pekerja AKP asal Indonesia yang harus kehilangan nyawanya saat bekerja di kapal perikanan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Mereka yang harus meregang nyawa mayoritas merupakan korban kerja paksa dan perdagangan orang. Selain 22 orang yang diketahui meninggal dunia saat sedang bekerja di atas KIA, terdapat juga tiga orang yang nasibnya hingga kini tidak diketahui karena dinyatakan hilang di tengah laut.

“Ironisnya, proses hukum kepada pelaku dan ganti rugi berupa pemenuhan hak-hak korban tidak pernah maksimal dilakukan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version