Mongabay.co.id

Berharap Ratusan Pulau di Bangka Belitung Tetap Terjaga

Seorang nelayan mengangkat jaring di sekitar perairan Pulau Semujur. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesi

 

 

Bukan hanya timah yang menjadi kekayaan Kepulauan Bangka Belitung, tapi juga ratusan pulaunya. Tercatat, ada 950 pulau yang 470 pulau sudah memiliki nama, sementara 480 belum. Sekitar 51 pulau berpenghuni, termasuk Bangka dan Belitung. Diharapkan, pulau-pulau ini jangan sampai dirusak oleh penambangan timah, wisata, dan pertambakan.

“Sebaiknya, menjadi kawasan konservasi atau permukiman baru yang lestari di masa mendatang,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Februari 2021.

Secara geologi, Jessix memperkirakan kondisi ratusan pulau itu tidak berbeda dengan Bangka dan Belitung. Bukan hanya terdapat hamparan hutan mangrove dan laut yang berfungsi sebagai penyimpan karbon dan ruang hidup beragam jenis ikan, juga memiliki potensi kandungan timah dan logam lainnya.

Dijelaskan Jessix, luasan Kepulauan Bangka Belitung sekitar 8.172.506 hektar, sementara luasan daratannya 1.642.406 hektar. “Ini artinya, sebagian besar Kepulauan Bangka Belitung merupakan lautan [6.530.100 hektar] yang menjadi ruang hidup beragam jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, dan berfungsi sebagai penyimpan karbon,” katanya.

Baca: Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka

 

Nelayan tradisional di Kepulauan Bangka Belitung kian terdesak ruang tangkapannya akibat berbagai aktivitas yang mengubah bentang pesisir dan laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terkait potensi timah di Kepulauan Bangka Belitung, Jessix mengutip sciencedirect.com, yang menyebutkan Kepulauan Bangka Belitung masuk dalam “Sabuk Timah Asia Tenggara” yang memanjang utara-selatan sepanjang 2.800 kilometer dan lebar 400 kilometer. Posisi ini membentang dari Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Kepulauan Bangka-Belitung yang disebut sebagai “Kepulauan Timah’ dalam artikel tersebut. Secara keseluruhan menghasilkan 9,6 juta ton timah atau setara dengan 54 persen produksi timah dunia berasal dari kawasan ini.

“Harapan kami hamparan hutan mangrove tidak dirusak. Potensi timah di perairan maupun daratan ratusan pulau tersebut pun tidak segera ditambang timahnya seperti Pulau Bangka yang memberikan dampak sangat buruk bagi lingkungan dan manusia,” katanya.

Apa itu permukiman yang lestari? “Yakni permukiman yang berisi masyarakat yang sudah memiliki kesadaran baik terhadap lingkungan. Misalnya, terkait hutan mangrove, laut, dan sampah. Tepatnya, masyarakat yang mampu hidup harmonis dengan alam. Dan, saya percaya di masa mendatang akan ada kelompok masyarakat tersebut, sebab mereka lahir dari generasi yang belajar dari berbagai kerusakan lingkungan, yang berlangsung pada saat ini,” kata Jessix.

Baca: Berharap Mangrove di Pesisir Barat Pulau Bangka Tetap Terjaga

 

Terumbu karang yang tertutup subtrat lumpur di sisi utara Pulau Semujur. Lumpur yang berasal dari penambangan timah laut yang dibawa arus laut. Pulau ini juga dijadikan tempat wisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Seratusan pulau jadi wisata, tambak, tambang dan pelabuhan

Berdasarkan data RZWP3K [Renzana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, kata Jessix, puluhan perairan pulau menjadi wisata, tambak, tambang, dan pelabuhan.

Sebanyak 194 pulau akan dimanfaatkan menjadi wisata, pertambakan, pertambangan, dan pelabuhan. Wisata [131 pulau], budidaya ikan atau tambak [44 pulau], penambangan timah [14 pulau], serta pelabuhan [5 pulau].

Di perairan Pulau Bangka, sebanyak 95 pulau akan dimanfaatkan. Sebanyak 56 pulau dijadikan lokasi wisata. Yaitu, di wilayah pesisir barat Pulau Bangka [6 pulau], pesisir utara Pulau Bangka [21 pulau], pesisir timur Pulau Bangka [25 pulau], dan pesisir selatan Pulau Bangka [4 pulau].

Perairan pulau yang dimanfaatkan sebagai penambangan timah [14 pulau], budidaya ikan atau tambak [22 pulau] dan pelabuhan [3 pulau].

Perairan pulau yang direncanakan sebagai lokasi penambangan timah tersebut tersebar di pesisir selatan Pulau Bangka [1 pulau] pesisir utara Pulau Bangka [1 pulau], pesisir timur Pulau Bangka [3 pulau], dan pesisir selatan Pulau Bangka [9 pulau].

Sementara, budidaya ikan atau tambak tersebar di pesisir selatan Pulau Bangka [2 pulau], pesisir utara Pulau Bangka [11 pulau], pesisir timur Pulau Bangka [5 pulau], dan pesisir selatan Pulau Bangka [4 pulau].

Sementara pelabuhan, satu berada di pesisir timur Pulau Bangka dan dua di pesisir selatan Pulau Bangka. Sedangkan di Pulau Belitung, sekitar 97 pulau yang dimanfaatkan yaitu wisata [75 pulau], pelabuhan [2 pulau], dan budidaya ikan [22 pulau].

Baca: Bakau dan Rempah Pernah Jayakan Nusantara, Mampukah Kita Mengulangnya?

 

Kondisi pantai Pulau Semujur yang bersih sampah plastik. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sangat mungkin dimanfaatkan

Wahyu Adi, peneliti wilayah pesisir dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [17/02/2021] mengatakan, “Terkait pemanfaatan perairan di sekitar pulau kecil, sangat memungkinkan dilakukan. Penggunaan untuk pariwisata, budidaya perairan [tambak atau keramba] sangat memungkinkan dilakukan.”

Lanjutnya, sekecil apa pun kegiatan manusia pasti menimbulkan dampak. “Misalnya kita berwisata, biasanya tetap membuang sampah makanan, walau di tempat sampah.”

Pemanfaatan ruang pesisir dan pulau kecil [Kepulauan Bangka Belitung] sebaiknya dilakukan dengan lestari berkelanjutan. Dampak yang ada diminimalisir, bahkan diubah menjadi sesuatu yang tidak berbahaya. Misal, sampah makanan organik dapat dibusukkan dalam tanah untuk mengurangi baunya dan dijadikan pupuk.

“Teknologi berkembang, untuk membuat kegiatan manusia makin ramah lingkungan. Budidaya perairan, semisal tambak di darat, dapat menggunakan instalasi pengolahan air limbah [IPAL] untuk mengolah air limbah sebelum dibuang kembali ke perairan asalnya.”

“Setiap kegiatan ada dampak baik dan buruk, tugas kita bersama, sesuai porsi dan posisi, untuk memperbesar dampak baik [positif] dan memperkecil dampak buruk [negatif],” ujarnya.

Baca: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

 

Pulau Begadung yang alami menjadi lokasi nyaman untuk penyu bertelur dan berkembang biak. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

NKT laut dan pulau-pulau?

Sebuah kebijakan yang memanfaatkan lanskap atau bentang alam, seperti halnya laut, jelas membutuhkan penilaian atau kajian NKT [Nilai Konservasi Tinggi]. Misalnya, kawasan terkait habitat fauna dan flora langka dan dilindungi, ekologi, sosial dan budaya.

Bagaimana dengan pulau-pulau atau perairan laut di Kepulauan Bangka Belitung yang masuk RZWP3K?

Kurniawan, Peneliti Lingkungan Hidup dari Universitas Bangka Belitung [UBB], kepada Mongabay Indonesia, Kamis [18/2/2021] menjelaskan, kawasan-kawasan yang ada di RZWP3K Kepulauan Bangka Belitung belum pernah dilakukan kajian, terkait NKT.

“Tetapi kami [UBB], tengah melakukan kajian terkait wilayah-wilayah laut di Bangka Belitung yang harus dilakukan konservasi. Jadi, jika kajian ini sudah selesai baru kami “publish”. Bukan tidak mungkin akan diusulkan perubahan-perubahan terkait wilayah zonasi [RZWP3K] di Bangka Belitung,” katanya.

Dijelaskan Kurniawan, semua wilayah perairan laut di Kepulauan Bangka Belitung terdapat jenis-jenis biota laut yang masuk kategori Apendik 1 dan 2 [Biota dilindungi atau memiliki habitat khas dan tidak bisa direkayasa], seperti pari gitar, hiu, penyu, dan sebagainya.

“Artinya, wilayah-wilayah perairan tersebut harus terhindar dari berbagai aktivitas yang dapat memicu perubahan alam secara fisik, ekosistemnya harus tetap terjaga,” lanjutnya.

Ancaman-ancaman yang berpotensi mengubah ekosistem laut secara fisik, misalnya berasal dari aktivitas pertambangan, wisata, budidaya, dan pelabuhan, harus dihindari. “Contohnya kawasan wisata, yang membutuhkan pembukaan lahan untuk keperluan akomodasi atau pembangunan fasilitas wisata, serta potensi pencemaran sampah di laut,” katanya.

Baca: Semangat Menjaga Laut di Pulau Semujur [Bagian 1]

 

Selama ini sudah banyak masyarakat yang berwisata ke Pulau Begadung, tapi persoalan sampah menjadi permasalahan serius. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Yang harus diperhatikan di Kepulauan Bangka Belitung, zonasi dalam RZWP3K saling bersinggungan. Seperti zonasi wisata, pertambangan dan budidaya yang berdekatan dengan zona tangkap nelayan atau konservasi.

“Jadi, kami mengusulkan adanya buffer zone, dengan jarak, satu hingga dua mil, sebagai pembatas antara zona satu dengan lainnya. Akan tetapi, ini belum tentu efektif, mengingat arus laut yang berubah-ubah [fluktuatif],” katanya.

Kurniawan mengatakan, aktivitas pertambangan di laut masih menjadi salah satu ancaman serius bagi ekosistem laut di Kepulauan Bangka Belitung.

“Nanti dulu kita menghitung pH air, kadar logam dan sebagainya sebagai akibat dari pertambangan di laut, yang jelas aktivitas pertambangan di laut sudah mengubah kedalaman lau. Subtrat pasir menjadi berlumpur yang akan berdampak dan mengubah ekosistem laut, serta mengancam habitat biota laut,” katanya.

Kurniawan menambahkan, perubahan bentang alam yang terjadi akibat berbagai aktivitas ekstraktif di Kepulauan Bangka Belitung, sudah signifikan dan semakin terasa dari hari ke hari. “Berawal dari krisis ekologi inilah, kemudian akan ikut mengubah kondisi sosial, ekonomi, hingga kebudayaan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung,” katanya.

Sebagai informasi di perairan laut Kepulauan Bangka Belitung, juga terdapat sejumlah ikan yang baru ditetapkan pemerintah untuk dilindungi seperti pari gergaji lancip [Anoxypristis cuspidate], pari gergaji kerdil [Pristis clavata], pari gergaji gigi besar [Pristis pristis], dan pari gergaji hijau [Pristis zijsron].

Baca juga: Abrasi yang Terus Menggerus Pulau Semujur [Bagian 2]

 

Seorang nelayan menunjukkan hasil tangkapannya hasil melaut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tidak berpihak pada rakyat

Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan [Center of Maritime Reform for Humanity], kepada Mongabay Indonesia, mengatakan RZWP3K Kepulauan Bangka Belitung sama seperti 21 RWP3K lainnya di Indonesia.

Pertama, kebijakan yang diambil tidak pernah mempertimbangkan atau mengutamakan ruang hidup bagi masyarakat. Misalnya, kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir. Laut bukan hanya sebagai sumber pangan juga ekonomi.

Kedua, semangatnya masih mengutamakan privatisasi. Lebih mengutamakan kepentingan [pendapatan] negara dan swasta. Mengabaikan hak-hak masyarakat.

Jadi tidak heran, jika banyak wilayah pesisir dan kepulauan pada akhirnya dijadikan wilayah reklamasi, wisata, dan pertambakan.

“Jika pertambakan rakyat yang skalanya kecil dan lestari, mungkin tidak menjadi masalah. Tapi jika dikelola secara besar, oleh perusahaan, mungkin dampaknya sangat besar baik ruangnya maupun penggunaan pakan buatan yang menghasilkan limbah,” katanya.

 

 

Exit mobile version