Mongabay.co.id

Bangun Tujuh Bendungan di NTT, Apakah Bisa Menjawab Krisis Air?

 

Presiden Joko Widodo saat meresmikan Bendungan Tukul di Pacitan, Jawa Timur, Minggu (14/2/2021) mengatakan ada 65 bendungan yang dibangun sejak enam tahun lalu. Bendungan ini tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Beberapa bendungan telah diresmikan antara lain Bendungan Rotiklot di NTT, Bendungan Tanju dan Mila di NTB dan Bedungan Teritib di Kalimantan Timur.

Kemudian ada Bendungan Gondang di Jawa Tengah, Segong di Kepulauan Riau, dan Nipah di Jawa Timur. Sementara di bulan Februari 2021 akan diresmikan Bendungan Napun Gete di NTT, Tapung di Kalimantan Selatan dan Sindang Heula di Banten.

Provinsi NTT boleh berbangga karena mendapatkan jatah tujuh bendungan selama masa pemerintahan Jokowi, dengan total anggaran sebesar Rp5,9 triliun.

Bendungan Raknamo dengan daya tampung 16 juta meter kubik air dan bisa mengairi lahan seluas 1.250 ha. Bendungan  yang diresmikan Jokowi, Selasa (9/1/2018) ini, bisa menjadi sumber air baku di Kabupaten Kupang 100 liter per detik dan mampu menghasilkan listrik 0,22 MW.

Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu dengan daya tampung 3,3 juta m³ diresmikan, Senin (20/5/2019). Dan bendungan Napun Gete di Kabupaten Sikka diresmikan Jokowi, Selasa (23/2/2021). Kapasitas tampung hingga 11,22 juta m³ dengan luas genangan mencapai 99,78 ha.

Bendungan ini untuk irigasi bagi sekitar 300 hektare sawah. Juga suplai air baku sebanyak 214 liter per detik 2/3 penduduk Kabupaten Sikka dan berpotensi menghasilkan daya listrik sebesar 0,1 MW.

Masih ada empat bendungan lainnya yakni Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Manikin di Kabupaten Kupang sedang dikerjakan. Bendungan Mbay dan Kolhua masih dalam proses perencanaan dan persiapan.

baca : Walhi Nilai Proyek Strategis Nasional Rawan Konflik dan Kerusakan Lingkungan Hidup

 

Bendungan Napun Gete di Desa Ilinmedo, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT yang baru diresmikan Presiden Jokowi, Selasa (23/2/2021). Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kunci Kemakmuran

Saat meresmikan Bendungan Napun Gete di Desa Ilinmedo, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, Selasa (23/2/2021), Presiden Jokowi mengaku sudah tidak bisa menghitung lagi berapa kali dirinya datang ke NTT.

Jokowi menyebutkan awal-awal setiap datang ke NTT selalu yang diminta adalah bangun bendungan dan waduk. Menurutnya, permintaan itu betul dan jangan minta yang lain-lain.

“Kunci kemakmuran di NTT ini adalah air. Begitu ada air, semua bisa ditanam, tanaman tumbuh, buahnya diambil, daunnya bisa dipakai untuk peternakan,“ ucapnya.

Menurut Jokowi, NTT juga sangat bagus untuk sektor peternakan. Gubernur NTT menyampaikan kepadanya bahwa di Kabupaten Sumba Tengah dulunya banyak ekspor sapi ke Hong Kong.

Tapi saat ini berhenti karena memang ketersediaan airnya kurang. Sehingga sedang dibangun tujuh bendungan di NTT.

“Tadi pagi gubernur menyampaikan kepada saya minta tambah dua bendungan lagi. Padahal provinsi yang lain paling banyak itu dua atau satu. Tapi ya memang di sini dibutuhkan, sangat dibutuhkan,” sebutnya.

baca : Kekeringan Lahan Pertanian di NTT, Bagaimana Solusinya?

 

Presiden Joko Widodo saat melihat Bendungan Napun Gete di Desa Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT usai meresmikannya, Selasa (23/2/2021). Foto : Sekretariat Kabinet RI

 

Jokowi berpesan agar produktivitas betul-betul harus dimunculkan. Jangan hanya pertaniannya saja, tapi limbah pertanian bisa dipakai untuk makanan ternak.

Ia yakin apabila nantinya semua bendungan selesai, dengan kepala daerah yang baik memimpin rakyatnya, menggiring semuanya untuk produktif, maka NTT akan makmur.

“NTT tidak menjadi provinsi yang kategorinya kalau di negara kita masih pada kondisi yang kurang. Kita lihat nanti kalau bendungannya sudah selesai,” ungkapnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyampaikan soal permintaan bendungan dan waduk dari gubernur dan bupati. Dikatakannya,semuanya yang berupa air, mau dan itu betul. “Inilah permintaan yang benar. Jangan minta yang lain-lain. Itu sudah benar,” tegasnya.

Bupati Flores Timur Antonius Gege Hadjon mengatakan daerahnya pun meminta dibangun sebuah bendungan skala kecil. Dia berharap bisa diakomodir mengingat krisis air di Kota Larantuka yang saban tahun dipadati peziarah dari berbagai daerah maupun dari luar negeri.

Anton sapaannya mengakui sudah menyiapkan lahan di Kecamatan Tanjung Bunga di Lamanabi dekat hamparan padang ilalang dan masyarakat tidak keberatan. “Saya sudah sampaikan kepada gubernur agar bisa diperjuangkan. Bendungan ini bisa dipergunakan sebagai irigasi dan pemenuhan air bersih bagi warga,” tuturnya.

baca juga : Walhi : NTT Hadapi Tiga Krisis Besar. Apa Saja?

 

Areal Bendungan Napun Gete di Desa Ilinmedo, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT yang baru selesai diresmikan Presiden Jokowi. Foto : Sekertariat Kabinet RI

 

Mengamankan Sumber Air

Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo mengatakan air dari Bendungan Napun Gete nantinya akan dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum bagi 2/3 warga kabupaten Sikka dan upaya penanganan stunting.

Dengan hadirnya bendungan, Robi sapaannya berjanji akan meningkatkan produktivitas pertanian demi ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi nasional dengan tanam tiga kali dalam setahun.

Disebutkannya pada areal lahan kering sedang dikembangkan irigasi tetes secara digital untuk mengatur pengairan dan injeksi pemupukan menggunakan telepon genggam android.

“Sistem ini dikembangkan oleh salah satu petani milenial, Yance Maring. Kegiatan ini juga mendapat dukungan penuh gubernur,” ungkapnya.

Robi sebutkan dengan keterbatasan yang ada secara bertahap pihaknya mulai mengembangkan agro industri kawasan dengan melibatkan kabupaten sedaratan Flores dan Lembata.

“Kami mengembangkan industri pengolahan kelapa, kakao, mente dan ikan sebagai salah satu kluster pengembangan ekonomi NTT,” ucapnya.

perlu dibaca : COVID-19 Berdampak pada Petani dan Ketahanan Pangan di NTT. Apa Solusinya?

 

Areal genangan air di Bendungan Napun Gete di Desa Ilinmedo, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT yang masih belum maksimal. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Yance Maring selaku petani pengembang sistem irigasi tetes saat ditanyai Mongabay Indonesia mengaku belum mendapatkan bantuan pemerintah.

Yance menyebutkan tetap mengembangkan sistim irigasi tetes dengan memanfaatkan teknologi menggunakan modal pribadi. Ia mengakui siap membagikan ilmunya dan bekerja sama dengan pemerintah.

“Memang gubernur hingga menteri pernah datang ke tempat saya termasuk anggota dewan. Namun sampai saat ini saya belum mendapatkan bantuan apapun,” ungkapnya.

Direktur Wahana Tani Mandiri (WTM) Carolus Winfridus Keupung kepada Mongabay Indonesia berpesan dengan adanya bendungan harusnya mendorong pemerintah untuk berpikir bagaimana mengamankan sumber daya air dengan cara penghijauan.

Win sapaannya mengatakan kalau penghijauan di daerah bendungan tidak penting karena itu hanya untuk memperindah. Dia tegaskan yang harus diutamakan adalah penghijauan di daerah mata air.

“Jangan sampai terjadi bendungannya ada, tapi saat musim kemarau airnya kering. Bagaimana kita bisa mengamankan sumberdaya air yang ada agar debit airnya terus terjaga dan membesar,” pesannya.

perlu dibaca : Ini Sistem Irigasi Tetes dan Penyiraman Tanaman Menggunakan Ponsel

 

Warga Desa Balawelin, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT, mengambil air payau dari sumur di pesisir pantai untuk dikonsumsi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Usulkan Lokasi Baru

Dari empat bendungan yang belum selesai salah satunya Bendungan Mbay di Kabupaten Nagekeo. Kenapa belum dibangun?

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga, Philipus Kami kepada Mongabay Indonesia, Kamis (25/2/2021) menjelaskan, masyarakat tidak menolak kehadiran bendungan atau waduk.

Menurut Lipus sapaannya, masyarakat menolak lokasinya karena berbagai alasan, seperti lahan itu menjadi identitas budaya yang diatur oleh konstitusi agar wajib dijaga, lahan pengembangan pertanian dan perkebunan yang juga merupakan tempat ritual adat serta padang perburuan.

Saban tahun, rutin digelar seremonial adat tahunan yang menggambarkan karakter masyarakat Rendu, Ndora, Labolewa dan sekitarnya serta Nagekeo pada umumnya yang tentunya perlu dilestarikan.

“Masyarakat memberikan dua lokasi alternatif lainnya,” ucapnya.

Lipus mengatakan masyarakat berharap pemerintah merespon saran lokasi alternatif dari masyarakat sehingga cita-cita pembangunan waduk di Nagekeo bisa terpenuhi.

Ia menyebutkan, tentu airnya akan dimanfaatkan oleh masyarakat di dataran rendah termasuk di Kota Mbay. Padahal bendungan Sutami saja belum diatur dengan baik, bahkan airnya terbuang percuma.

Lipus menjelaskan, Pulau Flores dan Lembata juga merupakan daerah rentan bencana seperti gempa dan tsunami karena  berada di dua lempeng benua dan terdapat banyak gunung berapi. “Pembangunan waduk berskala besar harus dihitung dengan baik dampaknya apabila terjadi bencana gempa,” pintanya.

baca : AMAN Minta Pengukuran Tanah Adat untuk Waduk Lambo Dihentikan. Kenapa?

 

Lokasi lahan pembangunan waduk Lambo yang diusulkan masyarakat adat Rendu, Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menyebutkan dibandingkan urusan irigasi dan pertanian, air untuk kebutuhan dasar warga saja masih bermasalah.

Umbu Wulang menjelaskan rasio pelayanan negara untuk kebutuhan air minum kepada masyarakat masih sangat kecil. Di Kota Kupang, ibukota provinsi saja pelayanan air bersih lebih banyak dilakukan perusahaan swasta.

“Seharusnya pemerintah lebih fokus mengurus hak dasar masyarakat soal air bersih ini. Menggunakan skema bendungan terus untuk pengairan di NTT menurut kami ada yang salah,” ucapnya.

Menurutnya, belum pernah diuji apa manfaat bendungan bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi warga NTT dan bagi kebutuhan air secara ilmu pengetahuan.

Umbu Wulang tegaskan selama ini orang hanya mengatakan NTT krisis air dan kata kuncinya harus dibangun bendungan. Padahal wilayah NTT didominasi ekosistem karst yang tidak cocok dibangun bendungan dengan skala besar.

Dia menyarankan lebih cocok dibangun embung dan waduk skala kecil yang tidak banyak merusak hidrologi karst. Menurut Walhi, NTT tidak krisis air tetapi hanya krisis akses terhadap air.

“Ini terjadi karena pemukiman masyarakat jauh dari akses air. Perlu dicek apakah lahan sawah yang diairi dari bendungan lebih banyak dimiliki pejabat dan orang mampu atau masyarakat kecil,” pesannya.

Walhi NTT meminta agar dilakukan evaluasi mengenai dampak pembangunan bendungan yang sudah beroperasi di NTT bagi masyarakat kecil dan terpinggirkan.

“Dasar evaluasi ini yang jadi rujukan apakah kita perlu memperbaiki pola pembangunan bendungan yang lebih komperhensif bukan sekedar soal teknis saja,” tegasnya.

 

Exit mobile version