Mongabay.co.id

Hanya Sepekan, 9 Nelayan Pengebom Ikan Asal Sikka Ditangkap. Kenapa Kian Marak?

 

Patroli gabungan satuan pengawas Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Satwas PSDKP) Flores Timur bersama Direktorat Polair Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) saat melakukan patroli di laut Flores dalam wilayah Kabupaten Sikka menemukan aktivitas pengeboman ikan.

Pelaku menangkap ikan menggunakan bom di sekitar perairan Wair Nokerua, Desa Kolisia, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Sebanyak empat nelayan berinisial A (36), AH (17), S (17) dan T (30) asal Desa Kolisia ditangkap, Jumat (26/2/2021) kemudian diserahkan ke penyidik Satwas PSDKP Flores Timur untuk diproses hukum.

Berselang empat hari, Selasa (2/3/2021) kapal patroli P. Sukur XXII-3007 Polair Polda NTT kembali menangkap lima nelayan usai melakukan pengeboman ikan di perairan Pulau Pangabatang.

Lima nelayan asal Desa Parumaan, Kecamatan Alok Timur ini pun diamankan di Pos Polair Maumere. Kelimanya sedang menjalani pemeriksaan untuk selanjutnya diserahkan kepada Kejaksaaan Tinggi NTT untuk diproses hukum.

Direktur Polairud Polda NTT, Kombes Polisi Andreas Heri Susi Darto melalui Panit Siesidik Direktorat Polairud Polda NTT, I Nyoman Bagia Utama saat ditemui Mongabay Indonesia Kamis (4/3/2021) menjelaskan aparat Polair menangkap lima pelaku itu setelah mendapatkan laporan masyarakat dan mendapati mereka melakukan pengeboman ikan.

Para pelaku menggunakan sebuah perahu motor dan dua sampan, dimana dua nelayan nelayan menggunakan dua sampan melihat ke dasar laut menggunakan kaca mata selam.

“Saat melihat banyak ikan sedang berada di terumbu karang, para nelayan melemparkan bahan peledak atau bom. Selang beberapa saat perahu motor membawa kompresor dan menurunkan nelayan untuk menyelam mengumpulkan ikan hasil bom,” ungkap Nyoman.

baca : Pelaku Pengeboman Ikan di Perairan NTT Kembali Ditangkap. Kenapa Masih Terjadi?

 

Petugas patroli Polair Polda NTT menangkap nelayan pengebom ikan usai beraksi di perairan TWAL Teluk Maumere, NTT. Foto : Polair Polda NTT

 

Saat petugas bergerak hendak melakukan penangkapan, pelaku melarikan diri menggunakan perahu dan sempat membuang barang bukti berupa ikan hasil pengeboman ke laut.

“Setelah pelaku berhasil diamankan, petugas pun kembali ke lokasi ikan dibuang dan mengumpulkan ikan sebagai barang bukti. Para nelayan pun mengakui ikan yang didapat dipergunakan dengan cara menggunakan bahan peledak atau bom,” jelasnya.

Petugas mengamankan barang bukti, antara lain satu perahu, dua sampan, berbagai alat selam, satu buah korek api dan 70 ekor jenis ikan campuran. “Kelima nelayan tersebut mempunyai peran masing-masing baik sebagai pemantau ikan, penyelam maupun petugas yang melempar bahan peledak,” ungkapnya.

Nyoman menjelaskan kelima nelayan tersebut melanggar pasal 84 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No.31/2004 juncto pasal 85 UU No.45/2009 tentang Perubahan atas UU No.31/2004 tentang Perikanan. “Pelaku dijerat dengan Undang-Undang Perikanan dan ancaman hukumannya diatas lima tahun penjara,” terangnya.

baca juga : Polda NTT Tangkap Pemasok Bahan Bom dan Pelaku Pengeboman Ikan, Bagaimana Selanjutnya?

 

Pelaku penangkapan ikan menggunakan bahan peledak di kawasan perairan TWAL Teluk Maumere sedang dibawa menggunakan perahunya menuju Pelabuhan Laurens Say Maumere, NTT. Foto : Polair Polda NTT

 

Wilayah Konservasi

Lokasi penangkapan ikan di perairan Pulau Pangabatang berada di dalam wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Maumere. Kewenangannya berada dibawa BKSDA NTT melalui Seksi Konservasi Wilayah IV Maumere.

Yohanes Don Bosco R. Minggo, Ketua Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikananan Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere menyesalkan aktifitas destructive fishing yang terus berulang.

Rikson sapaannya menegaskan wilayah depan perairan Pangabatang dan depan Desa Darat Pantai merupakan daerah potensial perikanan dan masuk zona hijau wilayah konservasi.

“Sangat disayangkan penangkapan ikan dengan bahan peledak kian marak di wilayah TWAL Teluk Maumere,” sesal Rikson saat ditanyai Mongabay Indonesia, Sabtu (6/3/2021).

Rikson menyebutkan para nelayan kecil pemilik kapal berukuran dibawah 10 GT itu tidak jera menangkap ikan dengan cara mengebom. Menurutnya bila ada bantuan kapal dan alat tangkap yang lebih canggih dan membuat hasil tangkapan lebih banyak, mungkin bisa membuat nelayan kecil beralih dari mengebom ikan.

“Alat tangkap modern bisa memudahkan nelayan menangkap ikan dengan hasil tangkapan yang lebih banyak,” tuturnya.

perlu dibaca : Pelaku Pengeboman Ikan di Perairan Teluk Maumere Kembali Ditangkap. Kenapa Terus Berulang?

 

Ikan hasil pengeboman yang disita dari nelayan asal Desa Parumaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Polair Polda NTT

 

Rikson sesalkan proses pendampingan dan edukasi kepada para nelayan tidak berjalan. Ia menyebut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sikka tidak memiliki anggaran karena kewenangan wilayah laut sudah beralih ke provinsi.

Menurutnya secara kolektif memang pengawasan selain menjadi tugas DKP, juga merupakan tugas PSDKP, Polair, TNI AL termasuk Bea Cukai yang mengawasi masuknya bahan baku pembuatan bahan peledak.

“Kalau masih ada pasokan bahan baku peledak dari luar maka pengawasannya tidak benar. Oknum penegak hukum di Sikka saja menjual barang bukti pupuk yang dipergunakan dalam pengeboman ikan,” sesalnya.

Rikson mengaku miris melihat ikan-ikan karang di PPI Alok, Maumere yang dijual banyak diperoleh dari penggunaan bahan peledak atau bom. Dia juga menyesalkan tidak ada data base di PPI Alok tentang jenis dan jumlah alat tangkap serta jumlah ikan yang ditangkap nelayan setiap harinya.

“Sistem perikanan tangkap berkelanjutan dan lestari di Sikka tidak berjalan. Sampai saat ini belum ada data potensi ikan. Kalau datanya tidak ada, bagaimana mengukurnya?,” ucapnya.

baca juga : Ikan Hasil Destructive Fishing Tak Akan Pernah Lolos Sertifikasi

 

Nelayan pengebom ikan di perairan laut utara Flores dalam wilayah Kabupaten Sikka, NTT saat diamankan Polair Polda NTT. Foto : Polair Polda NTT

 

Hukuman Tetap Ringan

Rata-rata pelaku pengeboman ikan di NTT hukumannya dibawah 3 tahun. Rikson meminta agar hukuman terhadap pelaku diperberat agar bisa memberi efek jera. Dia menyarankan pelaku tidak hanya dijerat dengan Undang-Undang Perikanan, tetapi juga undang-undang konservasi serta bahan peledak.

“Harusnya aparat penegak hukum lebih jeli melihat hal ini. Pelaku harus dijerat dengan undang-undang lainnya juga agar hukumannya berat dan pelaku jera,” imbuhnya.

Rikson mengaku bukan saja bom ikan yang selalu dipergunakan, namun alat tangkap tidak ramah lingkungan masih marak dipakai. Aturan  perikanan menyebutkan ukuran jaring yang diperbolehkan bagi nelayan lampara berukuran lebih dari 1 inchi sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan.

“Jaring ini masih banyak dipakai nelayan kita dan tidak pernah dikontrol. Pakai jaring in, ikan ukuran kecil ikut tertangkap. Belum sempat bertelur sudah ditangkap,” sesalnya.

Penasihat Maumere Diver Community (MDC), Yohanes Saleh sependapat. Menurutnya, pelaku masih dihukum ringan. Bahkan lima pelaku yang ditangkap, dua pelaku ternyata baru bebas dari penjara dengan kasus serupa.

Hans sapaannya menegaskan penggunaan bom ikan di laut membuat radius kerusakan bisa tiga kali lipat dibandingkan dengan di daratan. Ini terjadi karena hentakan dan tekanan arus akan menganggu pertumbuhan terumbu karang.

“Kita akan buat surat kepada pemerintah dan aparat penegak hukum agar bisa jadi masukan. Pelaku penangkapan ikan menggunakan bahan peledak harus dihukum berat,” tegasnya.

Hans menyebut masyarakat sebenarnya harus bisa mengawasi dan turut menghakimi pelakunya dengan hukuman adat. “Kalau bicara laut maka menjadi kebutuhan semua orang. Bukan  perikanan saja, sebab perairan menjadi daerah pariwisata dan penunjang keberlangsungan hidup buat masyarakat, bukan saja buat nelayan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version