Mongabay.co.id

Kawasan Bedugul: Ketika Catur Desa Adat Ingin Kelola Hutan di Hulu Bali [Bagian 1]

 

Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Danau Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali, terlihat sunyi saat dikunjungi Januari 2021 lalu. Pandemi COVID-19 membuat pengelola menutup kawasan yang berada di tengah hutan lindung ini di tengah Pulau Bali ini.

Nampak sejumlah petugas patroli lalu lalang dengan kendaraan dan pengunjung yang hendak bersembahyang di sejumlah pura di sekeliling danau. Sedikitnya ada 11 pura di kawasan Tamblingan.

Danau seluas 110 hektar ini terlihat tenang diselubungi kabut. Musim hujan tahun ini, warga melaporkan air danau belum nampak meluap sampai areal pura. Hal ini disampaikan sejumlah warga yang turun temurun menjadi Bendega, sebutan untuk tukang kayuh perahu yang mengantar warga berkeliling danau untuk wisata atau ritual.

Salah satu Bendega yang mengantar kami saat itu adalah Komang Salini, perempuan paruh baya yang cekatan mengemudikan perahu. Ia bersyukur musim hujan yang cukup panjang tahun ini tak menyebabkan banjir seperti 2011 lalu. Rumahnya tenggelam bersama dengan puluhan keluarga lain pada peristiwa yang mengejutkan saat itu. Selama beberapa pekan ia membuat tenda di sekitar danau, sebelum pindah ke areal lebih tinggi, dan tinggal di sana sampai kini.

baca : Perkenalkan Kawasan Danau Buyan Dan Tamblingan Lewat Twin Lake Festival

 

TWA Danau Buyan dan Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali, ditutup selama pandemi COVID-19. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Para Bendega memang tinggal belasan meter dari bibir danau saat itu. Tak hanya rumah puluhan tenggelam, juga pura-pura sekitarnya. Kini, tak ada lagi rumah di sekitar danau. Saat statusnya TWA, pengunjung diizinkan berkemah.

Tak hanya Danau Tamblingan yang meluap, juga danau sebelahnya, Danau Buyan yang menenggelamkan ratusan hektar lahan pertanian. Dua danau ini, Buyan dan Tamblingan populer dengan sebutan danau kembar atau twin lake karena berdampingan, hanya dipisahkan oleh bebukitan.

Danau ketiga adalah Danau Beratan, namun posisinya di bawah kedua danau ini. Inilah kawasan purba atau yang disebut Cekungan Bedugul. Sumber mata air dan kawasan penyangga di kawasan tengah Bali.

Selain curah hujan tinggi, pemerintah saat itu juga menyatakan penyebab meluapnya Danau Buyan dan Tamblingan adalah sedimentasi dan kurangnya serapan air di lereng bukit.

Sejumlah warga mengatakan kejadian meluapnya air danau itu seperti peristiwa serupa yang terjadi pada 2011 dan 1972. Kondisinya hampir sama, selama tiga tahun warga yang mukim sekitar danau tinggal berpindah-pindah saat air menenggelamkan rumah mereka.

Peristiwa meluapnya danau kembali terjadi pada Maret 2017. Namun kawasan paling parah banjirnya saat itu adalah Danau Buyan. Air danau yang meluber telah menghancurkan kebun-kebun di sekitar danau seluas 360 hektar ini. Ratusan petani rugi sampai ratusan juta rupiah.

baca juga : Danau Buyan Meluap, Petani Bedugul Rugi Ratusan Juta

 

Kondisi Danau Buyan, Buleleng, Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya pada Februari 2018, akibat hujan deras, dua kawasan Tamblingan yakni Desa Munduk dan Desa Gesing mengalami longsor dan banjir bandang. Sejumlah rumah warga dan sebuah sekolah rusak. Lokasi ini merupakan daerah aliran air dari Gunung Lesung dan Bukit Pucuk yang menuju Danau Tamblingan.

Ni Luh Ketut Kartini, Dosen Program Studi Agro Ekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana saat itu pada Mongabay mengatakan pendangkalan di Danau Buyan juga terjadi di tiga danau lain meskipun tidak separah di Buyan.

Menurutnya sedimentasi Danau Buyan terjadi karena masifnya alih fungsi lahan. Selain karena pergantian komoditas dari tanaman umur panjang seperti kopi ke hortikultura termasuk sayur, pembangunan fasilitas wisata seperti vila juga menyebabkan terjadi erosi yang tanahnya menuju danau.

Danau Buyan termasuk salah satu dari empat danau yang ada di Bali. Danau paling luas adalah Batur dengan luas 1.607,5 hektar dan kedalaman 58 meter. Lokasinya di Kabupaten Bangli. Setelah itu ada Danau Beratan di Tabanan seluas 379 hektar dengan kedalaman 35 meter. Danau Buyan dengan luas 360 hektar dan kedalaman 87 meter serta Danau Tamblingan seluas 110 hektar dengan kedalaman 90 meter berada di Kabupaten Buleleng.

perlu dibaca : Peringati Hari Bumi, Bedugul Diusulkan jadi Cagar Biosfer

 

Panorama Danau Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali. Foto : pesonatravel.com

 

Masyarakat Adat Ajukan Hak Kelola

Sejumlah warga membersihkan TWA Danau Tamblingan walau sedang ditutup. Pembersihan lahan dan perbaikan dermaga menjadi jadwal rutin warga yang kerap bergotong royong ini. Tak heran, TWA ini terlihat bersih, taman-taman sekitarnya nampak terawat walau tak ada pengunjung.

Komunitas adat dan kelompok Bendega di Tamblingan menyepakati sejumlah aturan adat seperti tidak boleh membuat keramba apung untuk budidaya ikan dan menggunakan perahu tanpa mesin agar air danau tak tercemar. Di kawasan danau ini ada sejumlah sumber air atau Petirtan yang dirawat warga, salah satunya untuk kepentingan ritual.

Inilah yang membuat TWA Tamblingan nampak lebih terlindungi daripada dua danau tetangganya, Buyan dan Beratan yang makin disesaki aktivitas manusia dan pembangunan. Hutan sekelilingnya masih terasa memberikan asupan oksigen yang melimpah.

Namun, beberapa tahun ini, warga mulai mendapati sejumlah peristiwa, misalnya ada area di tengah hutan yang beralih fungsi jadi bangunan serta perambahan kayu hutan.

baca juga : Sejenak Melepas Kepenatan di Danau Beratan

 

Kawasan Danau Tamblingan dengan latar belakang Pura Ulun tertutup kabut. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Masyarakat Hukum Adat Catur Desa yang terdiri dari empat desa yaitu Umajero, Gobleg, Gesing, dan Munduk sedang mengajukan hak kelola hutan adat. Karena saat ini Danau Tamblingan statusnya TWA yang dikelola pemerintah. “Menjadikan (kawasan Danau Tamblingan) tempat suci, disakralkan. Mertajati artinya sumber hidup sesungguhnya,” ujar Putu Ardana, Ketua Masyarakat Hukum Adat Catur Desa.

Sebagai masyarakat agraris, sumber hidup utamanya adalah air. Danau Tamblingan dinilai sebagai penyimpan dan regulator air. Tak hanya diakui masyarakat adat di Catur Desa, tapi diyakini ada peta air ke Subak Jatiluwih. “Mereka ke sini untuk ritual, mereka meyakini air mereka dari sini. Koalisi kuat dengan Jatiluwih,” sebut Ardana.

Di permukaan memang tak terlihat ada koneksi dengan kawasan subak Jatiluwih di Tabanan, namun ada keyakinan terkait akuiver air bawah tanah. Salah satu ritual yang menyucikan sumber air Danau Tamblingan adalah ritual empat desa ke Labuan Aji, Temukus, Buleleng dengan parade jalan kaki sepanjang 21 km. Selama perjalanan, ribuan warga yang ikut akan disuguhi makanan dan minuman oleh warga desa yang dilalui karena meyakini sumber hidup mereka di Tamblingan.

Ritual di Danau Tamblingan ini biasanya dilakukan dua tahun sekali pada Tilem Kapat sampai Purnama Kalima dalam penanggalan Bali sebagai puncaknya. Dihelat selama empat bulan, agar warga bisa sembahyang bergiliran. Inilah yang disebut ngenteg linggih kamertaan, mengukuhkan kesejahteraan.

Perjalanan penyucian sumber air ini disebut juga dengan ritual Melasti, dilakukan di tiap desa adat pada saat tertentu, sesuai ritual di desanya dan sehari sebelum Hari Raya Nyepi.

Ada 17 pura di kawasan Danau Tamblingan dengan tata ruang khas seperti Luring/During Capah, Madyaning, dan Soring di Temukus. “Setelah merdeka, diklaim hutan negara. Tanah ini bukan hak milik negara. Ini kan milik komunitas,” jelas Ardana.

Ia menyebut, saat itu warga sekitar tidak mempermasalahkan klaim hutan negara selama masih jadi sumber hidup dan lestari. Namun, kemudian ada peristiwa penebangan kayu, perambahan hutan, perburuan liar, pencurian bunga anggrek endemik Tamblingan, dan lainnya yang bisa merusak kawasan. Ardana menyebut anggrek endemik ini dengan nama three colour Merta Jati. Sayangnya sudah tak ditemukan di hutan, namun ada warga yang masih punya satu dan hendak dibibitkan untuk mulai ditanam lagi dalam hutan.

“Perburuan itu sadis sekali, dulu pakai senapan sekarang pakai perekat dan jaring,” heran Ardana.

menarik dibaca : Merekam Krisis Air di Bali Melalui Film. Seperti Apakah?

 

Pepohonan di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali, yang rimbun. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia.

 

Degradasi Kawasan Tamblingan

Menurutnya kawasan hutan Danau Tamblingan makin terdegradasi sejak 2014. Warga juga berusaha terlibat dalam perlindungannya misalnya dengan melestarikan Menega yang jaga dan menyebrangkan warga di danau ke pura-pura, membersihkan, dan lapor jika ada transportasi kayu hasil illegal loging. Sekitar 4-5 tahun lalu, tim penjaga keamanan adat yang disebut pecalang pun masuk hutan.

Hasil temuan perambahan kayu ini oleh warga pernah difoto dan dipasang sebagai baliho. “Biar petugas tahu. Kita tak bisa menangkap dalam hutan. Proses hukum alot, kasus dipetieskan,” keluh Ardana.

Degradasi kawasan penyangga hutan karena ulah warga juga terjadi misalnya tanah milik dialihfungsikan dari kebun kopi yang bisa jadi penyimpan air jadi hamparan kebun bunga kembang seribu. Karena alasan ekonomi, lebih cepat menghasilkan, karena bisa dipanen cepat dan beberapa kali.

Tamblingan diyakini berasal dari kata tamba dan elingan, artinya obat yang harus diingat untuk memelihara kehidupan. Dalam upaya mengakses hak hutan adat ini, pada 2018 masyarakat adat empat desa itu melihat peluang ada dari pasal 18b ayat 2 UUD tentang eksistensi hukum adat.

 

Proses Pengajuan Hak Kelola

Masyarakat Adat Catur Desa membentuk Tim 9 berisi sembilan tokoh adat untuk memulai tahapan permohonan, dan interaksi dengan pemerintah. Ketika mengajukan peraturan atau surat keputusan bupati tentang masyarakat adat Dalem Tamblingan ke bupati Buleleng, ada hambatan nomenklatur administrasi masyarakat hukum adat disebut tak ada di Perda Desa Adat. Sedangkan Ardana mengatakan memang bukan terkait desa adat karena tentang empat desa adat, satu kesatuan masyarakat adat.

Namun nota kesepahaman dengan Pemkab Buleleng sudah dibuat, isinya komitmen menjaga kelestarian Alas Mertajati, demikian masyarakat empat desa adat ini menyebut hutan kawasan Danau Tamblingan. Proses ini didukung lembaga seperti Samdhana, Aliansi Masyarakat Adat Nusntara (AMAN), dan Yayasan Wisnu.

Ardana tak mau akses hutan sosial, karena ini hutan suci. Ia meyakini jika dikelola masyarakat hukum adat tak akan menjadikan area komersil seperti obyek wisata pura di beberapa lokasi lain di Bali.

Pelestarian Alas Mertajati melalui sistem dan mekanisme Menega adalah bentuk kontribusi desa adat yang menopang kawasan hulu.

 

Pengunjung melakukan foto pranikah di dalam Kebun Raya Bedugul Bali pada Desember 2019. Kebun raya menjadi salah-satu kekayaan di kawasan Bedugul, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Berbagai landasan hukum yang dipetakan antara lain UUD 1945 pasal 18 B (2), pasal 28 I ayat (3) yang menyatakan Negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan hak masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya.

Juga UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Putusan MK No.35/2012 tentang UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Serta Peraturan Menteri LHK No.32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak yang berisi definisi, fungsi, hak dan kewajiban, dokumen permohonan, verifikasi, dan penetapan hutan hak.

Mengutip Forest Watch Indonesia, 2011, deforestasi pada 2000-2009 terjadi lebih dari satu juta hektar di kawasan Bali-Nusa Tenggara. Menyisakan tutupan hutan pada 2009 sekitar 1,1 juta ha. Di sisi lain ada ancaman krisis air tanah di Bali karena pada 2025 diperkirakan kesulitan air tawar karena intrusi air laut meluas.

Saat industri pariwisata bergerak, konsumsi tertinggi air adalah sektor pariwisata sekitar 3 juta liter/hari. Sementara ada tanda-tanda penurunan sumber air karena penurunan mukai air danau Buyan sekitar 3,5meter, dan jumlah sungai kering 260 dari 400 sungai. Jarak intrusi air laut sekitar 1 km.

 

Permasalahan dan Potensi Kawasan

Kabupaten Buleleng memiliki sejumlah sumber air di pegunungan dan air terjun terbanyak. Hutan terluas di Bali juga di Buleleng, namun jumlah keselurahan kurang dari 30% seperti yang disyaratkan tata ruang.

Selain degradasi hutan, permasalahan Alas Mertajati, menurut Ardana adalah air dan sampah, pembatasan akses karena dikelola BKSDA, ketidakjelasan peran adat, dan jasa wisata kurang ramah pada kawasan suci.

Selain spiritual dan ritual, kawasan hutan danau Tamblingan ini memiliki peran ekologi dan hidrologi, ekonomi sebagai sumber pangan, ternak, dan jasa lingkungan.

 

Peta Kawasan Bedugul, Bali beserta Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Sumber : google earth

 

Proses yang telah dilakukan untuk akses hutan adat ini adalah pemetaaan spasial dan riset sosial budaya, inventarisasi vegetasi, dan penyusunan rencana kelola ruang. Perencanaannya meliputi kawasan suci berkelanjutan. Rencana aksi pengelolaan dan transformasi pengetahuan dilakukan melalui pendokumentasian, pendidikan lokal untuk anak muda, dan penelitian. Selain itu penguatan lembaga adat dengan membentuk badan pengelola termasuk Menega, aturan dan rencana kerja.

Secara praktis, Alas Mertajati ini dinilai potensial sebagai budidaya madu, pusat belajar hutan lestari berbasis tradisi, dan agroforestri.

Kasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali Sumarsono mengatakan pihaknya belum mendapat salinan permohonan kelola TWA Buyan-Tamblingan oleh masyarakat hukum adat Catur Desa Tamblingan.

Permohonan biasanya diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan ditembuskan ke BKSDA Bali. Ia tak mempersoalkan siapa pengelolaanya, asal sesuai konsep konservasi. “Tak ada pengaruh dikelola siapa, sudah ada di blok religi, memang bisa diakses masyarakat. Tanpa hutan adat pun bisa dimanfaatkan,” ujarnya. Area TWA paling luas adalah blok perlindungan dan zona inti khusus konservasi.

Ancaman konservasi sampai kini adalah warga yang melepas ikan bukan jenis spesies asli untuk budidaya atau dipancing. Misalnya ikan nila dan mujair, yang bisa jadi spesies invasif. “Danau kan kawasan konsevasi bukan kolam biasa. Nanti jenis asli kalah oleh spesies pendatang,” keluh Sumarsono. Terutama di Danau Buyan. Sementara di Danau Tamblingan relatif minim karena dekat areal pura besar dan ada kelompok Menega yang melakukan penjagaan.

 

Exit mobile version