Mongabay.co.id

Apakah Orang Pendek di Hutan Sumatera Ada?

 

 

Tidak semua pertanyaan ada jawaban, salah satunya tentang keberadaan orang pendek di hutan belantara Sumatera. Orang pendek ini merupakan makhluk kriptozoologi paling terkenal di Sumatera. Masyarakat lokal menggambarkan orang pendek ini memiliki tubuh yang tingginya tidak lebih satu meter, berjalan layaknya manusia, dan memiliki bulu-bulu pendek di tubuhnya.

Di Kerinci, Provinsi Jambi, masyarakat menyebutnya uhang pandak; Bengkulu [gugu]; Banyuasin, Sumatera Selatan [sedepak]; Way Kambas, Lampung [manusia katai]; dan Inderapura, Sumatera Barat [orang liar pendek].

Kisah orang pendek ini pun, terutama di Kerinci, mengundang ilmuan mancanegara untuk meneliti. Bahkan, ceritanya tak kalah menarik sebagaimana bigfoot, yaitu makhluk misterius berkaki besar di Amerika Utara.

Baca: Kebiasaan Aneh Kambing Hutan Sumatera, Main di Tebing dan Menyendiri di Goa

 

Cetakan kaki yang diduga milik orang pendek yang ditemukan Dally Sandradiputra di hutan Kerinci, Sumatera. Foto: Dok. Dally Sandradiputra

 

Dr. W.G. Wheatcroft, ahli antropogi budaya secara khusus merangkum cerita orang pendek dalam artikel berjudul “Orang Pendek, The Little Bipedal Hominid of Sumatra [2018]” yang dimuat di portal bigfootencounters.com.

Pada jurnal itu, Wheatcroft merinci catatan pencarian orang pendek sejak abad ke-20.

“Orang pendek sebagian besar dilihat oleh orang yang tinggal di sekitar hutan, termasuk pemburu. Ada kesaksian, orang pendek berada di daerah terpencil di Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS], di daerah Danau Gunung Tujuh yang tidak jauh dari Gunung Kerinci,” tulisnya.

Salah satu kesaksian yang menguatkan Wheatcroft adalah Aripin, seorang penjaga hutan TNKS yang mengaku melihat orang pendek ketika berpatroli di wilayah Sungai Penuh, Gunung Kerinci pada 2001. Pengakuan Aripin, ia melihat orang pendek dari sisi belakang, warnanya cokelat tua, namun ketika makhluk itu sadar diperhatikan dia segera masuk semak belukar.

Wheatcroft juga mencatat kesaksian Debbie Martyr, konservasionis satwa liar yang banyak melakukan penelitian di TNKS. Debbie mengaku, pernah tiga kali bertemu orang pendek selama 18 tahun terakhir, bermula pada Juli 1989, di tahun itu melihat orang pendek dua kali. Selanjutnya pada 30 September 1994.

“Ia berjalan lurus melintasi lembah yang jaraknya tiga puluh meter; sangat dekat dan sangat jelas!” kata Debbie dikutip oleh Wheatcroft.

“Ia tampak primata yang sangat kekar, berjalan dari semak,” lanjut dia.

Ketika melihat orang pendek itu, kata Debbie, ia sadar betul sedang melihat makhluk yang tidak pernah ia lihat di buku, begitu juga di film, atau di kebun binatang yang pernah ia kunjungi.

“Saya lihat ia bergerak cepat secara bipedal dan berusaha untuk tidak terlihat, saya bersembunyi, melihat lembah yang dangkal. Sedang primata bipedal non-manusia itu berjalan di depan. Saya memegang kamera saat itu, namun jatuh karena sangat terkejut.”

Richard Freeman, ahli kripto asal Inggris pada 2003 dan 2004 juga melakukan percarian orang pendek di hutan Sumatera. Pada 2004, ia masuk hutan di wilayah Gunung Tujuh, Kerinci, sesuai anjuran Debbie Martyr. Hasilnya belum menemukan titik terang.

Baca: Hilang Selama 172 Tahun, Burung Pelanduk Kalimantan Ditemukan Kembali

 

Ukuran tapak kaki yang diduga milik orang pendek di hutan Sumatera. Foto: Dok. Dally Sandradiputra

 

Kontroversi jejak kaki

Dua penjelajah dari Inggris, yaitu Adam Davies dan Andrew Sanderson pada 2001 melakukan perjalan ke Danau Gunung Tujuh dan Hutan Kerinci. Pada perjalanan itu, mereka mengabadikan sebuah telapak dengan cetakan gips. Telapak kaki itu diduga milik orang pendek karena tidak biasa. Telapak itu seolah-olah jempol kaki secara struktural muncul dari sisi kaki, sekitar tiga perempat dari jarak tumit ke jari depan.

“Orang pendek ini sangat tertutup, mereka selalu saja bersembunyi. Kemungkinan juga secara biologis mereka pada waktunya akan diklasifisikan dalam genus homo, bersama dengan manusia yang hidup, homo sapiens,” tulis Wheatcroft.

“Berdasarkan penelitian hominid [primate], saya berpendapat orang pendek adalah hominid yang cerdas, sensitif, cenderung sadar diri, berjalan tegak dan mereka bukan kera [pongidae].”

Baca: Tokhtor Sumatera yang Kembali Terpantau di Taman Nasional Kerinci Seblat

 

Diduga jejak kaki ini merupakan milik orang pendek yang ditemukan Dally Sandradiputra di hutan Kerinci, Sumatera. Foto: Dok. Dally Sandradiputra

 

Dukungan dari ahli hominologi

Dmitri Bayanov, ahli hominologi asal Rusia dalam artikelnya “Some Thoughts Regarding Dr. Wilson Wheatcroft’s Overview of Orang Pendek Evidence” mendukung pernyataan Wheatcroft bahwa orang pendek adalah hominid, bukan kera, karena ia bipedal.

“Mungkin tampak kontroversial bagi pembaca mana pun,” tulis Bayanov.

Sebagai ahli biologi evolusioner dan genetika, Dmitri Bayanov mengatakan referensi yang paling relevan ketika berdiskusi tentang orang pendek adalah karya “Historiae Naturalis et Medicae Indiae Orintalis” oleh Jacob De Bondt atau Jacobus Bontius [1592-1631], seorang dokter Belanda yang datang ke Batavia [Jakarta] pada 1826 hingga kematiannya.

Buku itu ditulis di Jawa, dan diterbitkan di Amsterdam pada 1658. Dalam buku itu ia menjelaskan telah melihat homo silvestris [manusia hutan] berjenis kelamin perempuan dengan penjelasan yang sangat rinci. Bontinus menjelaskan, banyak orang percaya manusia hutan itu hidrida kera dan manusia, tapi pendapat ini ditolak para ahli lain [Linneaus], bahwa munusia hutan adalah spesies asli manusia, homo troglodytes.

“Perbedaan mereka dari kera adalah penggerak bipedal, dan sistem gigi tanpa diastemata [selalu ada pada kera dan monyet]; perbedaan dengan homo sapiens antara lain penglihatan pada malam hari, membran nictitans [kelopak mata ketiga], dan lengan yang lebih panjang dari manusia. Ukurannya juga tidak lebih tinggi dari manusia laki-laki berumur sembilan tahun. Mereka hidup di hutan dan siang hari di dalam gua,” tulis Linneaus seperti dikutip Dmitri Bayanov.

Baca: Mendaki Kerinci Bukan Hanya Menaklukkan Atap Sumatera

 

Cetakan kaki yang diduga milik orang pendek yang ditemukan Dally Sandradiputra di hutan Sumatera. Foto: Dok. Dally Sandradiputra

 

Bermula abad ke-17

Pada abad ke-17, orang Eropa baru belajar tentang kera besar, dan yang pertama didiskripsikan adalah simpanse. “Namun sebutan simpanse ini akhirnya berubah menjadi orangutan, mungkin mengikuti Bontius,” tulis Dmitry.

“Orangutan atau Simia satyrus [dahulu], sekarang menjadi Pongo pygmaes. Pongo artinya kera dalam Bahasa Afrika, jadi nama orangutan adalah kera kerdil.”

Pada abad ke-18, ketenaran dan otoritas Linneaus begitu besar sehingga pendapat dan inovasinya yang paling tidak menyenangkan pun ditoleransi.

“Saya menyampaikan keberanian pendapat Wheatcroft bahwa orang pendek adalah hominid merupakan hal yang begitu menggairahkan bagi kami,” tulis Dmitry.

Baca juga: Harum Kopi Arabika di Kaki Gunung Tertinggi Sumatera

 

Dally menunjukkan cetakan kaki yang diduga jejak orang pendek di hutan Kerinci. Foto: Dok. Dally Sandradiputra

 

Kesaksian warga lokal

Dally Sandradiputra, warga Sungai Penuh, Jambi, yang penasaran akan keberadaan makhluk kriptozoologi itu mengatakan, sejak 2009 di turut mencari keberadaan orang pendek.

Awal ketertarikannya bermula pada 2006, ketika peneliti dari Amerika, namanya Alex mampir ke Sungai Penuh. Peneliti itu mencari informasi orang pendek.

“Dari sana tumbuh rasa penasaran saya tentang orang pendek. Orang dari Amerika saja mau mencari orang pendek, kenapa saya warga lokal tidak?” kata Dally kepada Mongabay Indonesia melalui perbincangan telepon, Selasa [09/3/2021].

Sejak itu, puluhan saksi mata telah diwawancarai Dally. “Para saksi umumnya mengatakan hanya melihat beberapa detik, lalu orang pendek itu menghilang.”

Dari pengalamannya itu, ia menulis sebuah buku berjudul Misteri Orang pendek Sumatera.

Pada 2009, Dally mengaku menemukan tapak kaki orang pendek. “Saya masuk ke Gunung Tujuh, di hutan Kerinci. Selama 10 Hari di sana, ditemukan tapak kaki,” tuturnya.

Tak hanya itu, pada 2011, ia kembali menemukan jejak kaki orang pendek. “Jejak itu sudah saya dokumentasikan,” kata Dally.

 

Kawah Gunung Kerinci. Sumber: Wikimedia Commons/Lisensi Dokumentasi Bebas GPL/Slimguy/Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Taman Nasional Kerinci Seblat adalah taman nasional seluas 1.389.509,867 hektar yang membentang di empat provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

Taman nasional ini juga memiliki beragam flora dan fauna. Sekitar 4.000 spesies tumbuhan tumbuh di wilayah ini, termasuk bunga terbesar di dunia Rafflesia arnoldii, dan bunga tertinggi di dunia, Amorphophallus titanum. Fauna di wilayah taman nasional terdiri harimau sumatera, gajah, tapir, beruang madu, dan burung.

TNKS merupakan Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera yang ditetapkan UNESCO bersama Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

 

 

Exit mobile version