Mongabay.co.id

Benda Berharga di Bawah Laut Itu Bukan Harta Karun, tapi Cagar Budaya

 

 

Sejak abad ke-7, ketika Kedatuan Sriwijaya menguasai perdagangan maritim, hingga masa kolonial pada abad ke-19, ada ratusan ribu hingga jutaan kapal melintasi lautan Nusantara [Indonesia].

Selama 12 abad tersebut, lautan Nusantara menjadi kuburan kapal-kapal yang tenggelam. Mulai dari kapal dagang dari Timur Tengah, China, Portugis, VOC [Verenide Oost-Indische Compagnie], Belanda, Spanyol, Inggris, Jepang, dan lainnya. Kapal-kapal tenggelam ini berisi berbagai muatan, baik hasil perdagangan maupun perampasan di Nusantara.

“Semua muatan berharga tersebut adalah tinggalan budaya air, bukan harta karun,” kata Aryandini Novita, arkeologi bawah laut dari Balai Arkeologi [Balar] Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [05/3/2021].

“Kalau pengertiannya harta karun maka semuanya seakan dapat dinilai secara ekonomi, dan dapat diperjualbelikan,” kata arkeolog yang banyak melakukan penelitian di Kepulauan Bangka Belitung.

Jika dipahami sebagai tinggalan budaya air, maka menilai benda-benda sejarah di bawah laut tersebut bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi juga nilai budayanya. “Sehingga tidak semua benda yang ditemukan dapat diperjualbelikan,” katanya.

Baca: Sebanyak Apa Harta Karun yang Ada di Perairan Indonesia Sekarang?

 

Pengambilan benda-benda berharga bawah laut sebaiknya dilakukan secara ketat, sehingga benda langka, unik dan bernilai penting, tidak terjual atau dimiliki pribadi. Foto: Dok. Balar Sumsel

 

Jika ditemukan benda yang langka, unik, dan mempunyai nilai penting bagi Bangsa Indonesia, maka harus dilindungi. “Misalnya prasasti, stempel kerajaan, pun kerangka kapal itu sendiri,” ujar Aryandini.

“Kita harus mematuhi UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” ujarnya.

“Jika muatan kapal yang ditemukan itu merupakan produk massal pada masanya atau tidak memiliki nilai penting, tentu saja bisa diperjualbelikan,” lanjutnya.

Dijelaskan dia, sebenarnya sudah lama terjadi penjarahan benda-benda budaya air di perairan Indonesia, termasuk di sekitar Pulau Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.

“Para penjarah itu memandang semua benda-benda tersebut merupakan harta karun, sehingga mereka merusak atau menjual sesuatu tanpa melihat pentingnya benda tersebut bagi sejarah budaya Bangsa Indonesia.”

Sebelumnya pemerintahan Jokowi, beranjak dari UU No.11 tentang Cipta Kerja Tahun 2020, membuka peluang bagi investor asing untuk mencari harta karun atau benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam [BMKT]. Hal ini seusai dengan Peraturan Presiden [Perpres] Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

“Dibuka pengangkatan benda berharga muatan kapal tenggelam, jadi kalau mau cari harta karun di laut bisalah kau turun. Syarat dan izinnya datang ke kita untuk bisa mendapatkan itu,” ujar Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers virtual, Selasa [2/3/2021], yang dikutip Kompas.com.

Di mana bangka kapal yang paling banyak di Indonesia?

“Wilayah perairan sekitar Sumatera yang mungkin paling banyak bangkai kapalnya. Misalnya di Selat Malaka, Selat Gelasa dan Selat Karimata,” kata Aryandini.

Kapal-kapal ini tenggelam karena berbagai sebab, seperti diserang badai, menabrak karang, dijarah perompak, perang atau terbakar.

Baca: Kapal Pemburu Harta Karun di Anambas Ditangkap di Malaysia

 

Inilah benda-benda budaya berharga yang rusak dari penjarahan dari kapal kuno tenggelam di situs Batuitam, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Dok. Balar Sumsel

 

Banyak kehilangan

Conie Sema, pekerja seni dan budaya di Palembang, mencemaskan diperbolehkannya pencarian benda budaya bawah air sebagai potensi ekonomi oleh para investor. “Saya cemas akan banyak bukti-bukti sejarah bangsa ini, sebagai bangsa bahari, yang akan hilang atau diperjualbelikan sebagai milik pribadi.”

“Bukti-bukti tersebut misalnya terkait Kedatuan Sriwijaya, yang merupakan kekuatan besar di Nusantara dalam menguasai jalur maritim di masa lalu, sebelum bangsa Timur Tengah, China dan Eropa melakukannya,” kata Conie kepada Mongabay Indonesia, Minggu [07/3/2021].

Ada dua kerugian jika banyak benda-benda bersejarah itu lepas [terjual]. Pertama, kita kehilangan sumber ilmu pengetahuan terkait produk budaya masa lalu, seperti teknologi [perkapalan dan pelayaran], atau pihak asing lebih dahulu memahaminya dibandingkan Bangsa Indonesia. Kedua, potensi kekayaan bawah air [laut] kian terbuka untuk dipelajari pihak asing atau para investor tersebut.

“Jika akhirnya ada investor terkait penggalian kekayaan budaya air beroperasi di Indonesia, maka perairan Kepulauan Bangka Belitung yang mungkin paling sibuk dengan kegiatan tersebut. Banyak dampak yang akan dirasakan,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [07/3/2021].

Perairan Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan merupakan kuburan ratusan bangkai kapal selama belasan abad, seperti di Selat Bangka [Pulau Bangka-Pulau Sumatera], Selasa Gelasa [Pulau Bangka-Pulau Belitung] dan Selat Karimata [Pulau Belitung-Pulau Kalimantan]. Bangkai-bangkai kapal ini berasal dari berbagai aktivitas perniagaan laut sejak masa Kedatuan Sriwijaya hingga masa kolonial.

Bukan hanya potensi hilangnya tinggalan budaya air, yang seharusnya dilindungi atau tidak diperjualbelikan, juga banyak habitat ikan di perairan Kepulauan Bangka Belitung menjadi rusak. “Banyak bangkai kapal yang sudah ditumbuhi karang dan menjadi habitat kan. Kegiatan tersebut jelas akan membongkar bangkai kapal dan menghancurkan banyak batu karang,” katanya.

Sebagai informasi, luasan Kepulauan Bangka Belitung sekitar 8.172.506 hektar, sekitar 6.530.100 hektar adalah perairan atau laut. Perairan ini menjadi ruang hidup beragam jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, dan berfungsi sebagai penyimpan karbon.

Kepulauan Bangka Belitung memiliki 950 pulau, 470 pulau memiliki nama, sementara 480 belum. Sekitar 51 pulau berpenghuni, termasuk Bangka dan Belitung. Selama ini Kepulauan Bangka Belitung identik dengan aktvitas penambangan timah. Diperkirakan, pasir timah dihasilkan dari kepulauan tersebut bukan hanya di daratan, juga di dasar laut atau perairan.

Baca juga: Pesona Pulau Begadung yang Bebas Tambang Timah dan Bom Ikan

 

Salah satu koleksi barang muatan kapal tenggelam [BMKT] milik Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan [PANNAS] BMKT KKP, pada 2017 lalu. Foto: Dirjen PRL KKP

 

Cagar Budaya

Surya Helmi, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, dalam Webinar “Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres No.10 Tahun 2021” yang digelar Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia [IAAI], Rabu [10/3/2021] memberi tanggapan.

“Pada dasarnya, kapal karam dan muatannya merupakan benda hasil ciptaan manusia yang di balik benda tersebut tersimpan gagasan dan nilai budaya, perilaku dan organisasi sosial, serta teknologi dan lingkungan masyarakat masa lalu yang membuat dan memakainya.”

“Benda berharga asal muatan kapal tenggelam [BMKT] adalah cagar budaya yang perlu dilestarikan,” katanya.

Di awal paparannya, Helmi menyatakan dalam pengertian terbatas cagar budaya bawah Air [CBBA] yakni tinggalan budaya masa lalu yang terletak di bawah permukaan air [laut, sungai, danau dan rawa] yang memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan, yang minimal berumur 50 tahun. Objeknya, misalnya tinggalan kapal karam beserta isinya atau pemukiman lama yang sekarang di bawah air.

Sementara dalam arti luas, CBBA berhubungan dengan lingkungan air. Yakni di bawah permukaan air, di atas permukaan air, maupun daratan yang memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan, yang minimal berumur 50 tahun. Objeknya, misalnya tinggalan kapal karam beserta isinya atau pemukiman lama yang sekarang di bawah air, mercusuar, demarga, bengkel kerja kapal tradisioanl, teknologi perkapalan, masyarakat pesisir, ritual dan semua yang terkait aktivitas dan interaksi manusia dengan air.

Dijelaskan Helmi, berdasarkan data Badan Riset Kelautan dan Perikanan [BRKP] terdapat 460 titik posisi kapal karam di Indonesia.

Selanjutnya, berdasarkan catatan sejarah China, antara abad X-XX, ada ribuan kapal berlayar dari China, salah satunya ke Nusantara, yang tidak pernah kembali ke pelabuhan asal oleh berbagai sebab.

Bahkan, UNESCO mencatat sekitar 5.000 kapal karam di Asia Tenggara, sekitar 10 persen berada di Indonesia.

 

Koleksi dari barang muatan kapal tenggelam [BMKT] milik Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan [PANNAS] BMKT KKP, pada Mei 2017 lalu. Foto: Dirjen PRL KKP

 

Perairan Bangka Belitung

Sebenarnya aktivitas pencarian dan eksploitasi kapal karam di Indonesia demi kepentingan komersial, baik legal maupun illegal, sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Saat itu kapal karam dianggap “harta karun” karena tidak diketahui pemiliknya. “Namun, kenyataannya sejak 1985, Indonesia tidak atau belum dapat apa-apa,” kata Helmi.

Dari puluhan pengangkatan kapal karam, hanya sebagian yang dinilai berhasil, dan lainnya hanya puluhan ribu benda-benda berupa keramik yang tersimpan di gudang BMKT atau gudang investor yang tidak punya nilai komersial atau tidak laku dijual.

Awalnya, diceritakan Helmi, pengangkatan kapal Geldermasern milik VOC pada 1985 di Perairan Karang Heluputan Kepulauan Riau yang karam 1751, yang dilakukan pemburu harta karun asal Inggris, Michael Hatcher. Dia berhasil mengangkat berbagai keramik dari masa Dinasti Qing dan ratusan batang logam mulia. Pengangkatan ini ilegal. Semua benda budaya itu dilelang di Amsterdam dengan penghasilan sekitar 17 juta dolar AS. Indonesia tidak dapat apa-apa.

Kemudian pengangkatan kapal karam di Kepulauan Bangka Belitung.

Pertama, pengangkatan kapal karam di Batuhitam, Belitung, pada 1998, yang menghasilkan puluhan ribu artefak, seperti keramik dari masa Dinasti Tang, dan benda-benda berupa logam kaca, kayu dan gading, senilai 32 juta dolar AS, yang sekarang dimiliki perusahaan Singapura yakni Sentosa Deverlopment Corporation dan Pemerintah Singapura. Dari pengangkatan ini bagian untuk Indonesia juga tidak signifikan.

Kedua, kapal Tek Sing di Teluk Gelasa [Bangka Belitung] tahun 1999. Dilakukan perusahaan nasional dan perusahaan dari Singapura dan Australia. Izinnya juga diduga dipalsukan. Michael Hatcher diduga terlibat dalam kerja ini. Terangkut keramik, benda logam dan berbagai mata uang. Semua hasil dikemas menggunakan 43 kontainer, yang kemudian dibawa ke Australia untuk dikonservasi. Selanjutnya 36 kontainer dibawa ke Jerman. Dilelang oleh Balai Lelang Nagel di Stuttgart, pada November 2000. Sebanyak 7 kontainer masih di Australia.

“Hasil lelang di Jerman, 1.400 keramik yang dipilih diperoleh untuk koleksi negara Indonesia. Sekitar Rp4,2 miliar masuk kas negara Indonesia,” kata Helmi.

Di perairan Cirebon pada 2004 juga dilakukan pengangkatan kapal karam. Diperkirakan kapal dari abad ke-10. Saat itu, ditemukan sekitar 500 ribu keping keramik dan beberapa benda logam yang terbuat dari emas, perak, perunggu, besi, gading, kayu dan timah. Keramik dari Five Dinasty di Tiongkok pada abad ke-10.

Hasil pengangkatan benda berharga di Cirebon itu gagal dilelang di luar negeri sebab bertepatan dengan keluarnya UU No.11 tahun 2010 Cagar Budaya yang melarang CBBA dibawa ke luar dari Indonesia. Lelang di Indonesia selalu gagal. Kompensasinya Indonesia mendapatkan bagian untuk koleksi Negara.

 

Seorang penyelam sedang menyelam dekat bangkai kapal dengan segala isinya yang merupakan cagar budaya, pada 2017 lalu. Foto: Dirjen PRL KKP

 

Badan Cagar Budaya

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI, mengapresiasi apa yang dicemaskan para arkeolog, sejarawan, budayawan, terhadap ancaman cagar budaya bawah air, menyusul Perpres No.10 Tahun 2021.

“Saya mengafirmasi, apa yang sudah disampaikan para narasumber [Webinar Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres No.10 Tahun 2021] terutama menyangkut pemahaman cagar budaya [bawah air] dan pemanfaatannya,” terangnya.

Menurut dia, memang betul, ada kecenderungan untuk mereduksi benda cagar budaya ini, temuan bawah air sebagai barang komoditi belaka. Sebetulnya, secara legal, secara hukum, tidak ada masalah dengan menjualbelikan.

Tapi, kemudian ini semata-semata dianggap komoditi sama seperti komoditi lainnya, tentu sangat disayangkan. Dan jelas itu bukan tujuan utamanya.

“Kalau ada pengangkatan [kapal karam] bukan untuk jual belinya terlebih dahulu, tapi memanfaatkannya demi kepentingan kebudayaan,” kata Hilmar di webinar yang sama.

Dalam acara tersebut, hadir Hilmar Farid, Surya Helmi [Tim Ahli Cagar Budaya Nasional] sebagai narasumber, Prof. Endang Sumiarni [Universitas Atmajaya Yogyakarta], juga Harry Satrio [Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia [APPP- BMKT].

Selanjutnya, Hilmar menyampaikan terkait kemungkinan adanya badan pengelola cagar budaya bawah air, kelembagaan yang efektif, dan kepentingan pelestariannya. Termasuk juga, pemanfaatan terhadap cagar budaya air.

Hilmar meyatakan, dalam mencari sumber ekonomi maka cagar budaya bukan melalui jual beli. Ada seribu kemungkinan untuk memanfaatkan kandungan intelektual propertinya [kekayaan intelektual] dari cagar budaya tersebut.

 

 

Exit mobile version