Mongabay.co.id

Kawasan Hulu Bedugul : Ancaman Longsor dan Sampah [Bagian 2]

 

 

Berkendara menuju Bedugul, Bali, adalah perjalanan dengan pemandangan hijau dengan hamparan kebun sayur. Sampai mata tertuju pada titik-titik pembuangan sampah di tebing-tebing dan tengah kebun.

Perubahan lain di kawasan hulu bebukitan ini adalah makin banyaknya tutupan lahan hijau menjadi pemukiman, akomodasi, restoran, dan lainnya pendukung wisata. Bahkan, di masa pandemi COVID-19 ini ada perubahan fungsi lahan di sempadan Danau Buyan.

Petak-petak kebun di sekeliling danau kini menjadi area berkemah dan memancing. Para pengelolanya mengeraskan tanah, kemudian membuat area-area untuk mendirikan tenda, lalu menambahkan dengan sedikit taman. Panorama utama adalah Danau Buyan.

Sebagian danau makin dikepung pemukiman. Cukup berisiko karena Buyan sering meluap saat musim hujan.

UNESCO menetapkan tiga Cagar Biosfer baru di Indonesia pada 2020 dan diumumkan dalam Sidang ke-32 International Coordinating Council (ICC) Man and The Biosphere (MAB) yang dilakukan daring pada 27-28 Oktober 2020 lalu di Paris, Prancis.

Kawasan tersebut adalah Bunaken Tangkoko Mihanasa, Karimunjawa Jepara Muria, dan Merapi Merbabu Menoreh. Dikutip dari laman GNFI, tiga cagar biosfer baru ini dinobatkan bersama 22 cagar biosfer baru lainnya dari seluruh dunia.

baca : Kawasan Bedugul: Ketika Catur Desa Adat Ingin Kelola Hutan di Hulu Bali [Bagian 1]

 

Panorama Danau Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali. Foto : pesonatravel.com

 

Didit Okta Pribadi Kepala Kebun Raya Bali Eka Karya yang populer dengan Kebun Raya Bedugul kembali mewacanakan Cagar Biosfer sebagai usulan untuk bentuk ideal tata kelola Bedugul.

Dalam podcast Botanicast “Mencari Bentuk Ideal Ekologi Cagar Biosfer” oleh Kebun Raya, Didit mengatakan konsepnya adalah cari titik tengah antara perlindungan lingkungan seperti jasa lingkungan, biodiversitas, dan pembangunan ekonomi. Bedugul adalah hutan gunung dengan tiga danau. Disebut Cekungan Bedugul atau Bedugul Basin, danau-danau tanpa outlet, sebagai penampungan air. Salah satu cara menjaga kelestariannya dengan menjaga sumber air di pegunungan dan menghijaukan tebing agar tidak longsor.

“Akan meningkatkan sedimentasi dan kerusakan apalagi ditambah limbah seperti sampah wisata, rumah tangga, dan limbah pertanian,” urainya tentang kondisi saat ini.

Jika kandungan nutrien sangat tinggi, risiko adanya invasif spesies tinggi. Didit menyebut budaya dan alam sangat terkait, jika alam rusak demikian juga kultur. Kalau ingin menyelamatkan Bali, Bedugul sebagai kawasan strategis daya dukung lingkungan menurutnya harus dilindungi. Misalnya diusulkan jadi Cagar Biosfer.

 

Potensi Bencana

Sutomo, salah seorang peneliti Kebun Raya Bedugul membandingkan dengan kawasan yang sudah mendapat dukungan perlindungan seperti Jatiluwih World Heritage dan Batur geopark. “Bedugul banyak permasalan, spesies endemik kaktus dan penurunan keanekaragaman hayati. Sebelum tahun 1995 sangat melimpah jenis anggrek, tapi 10 tahun terakhir sudah tak ada lagi. Kemungkinan pengambilan dari alam berlebih,” sebutnya.

Dari pengamatan citra satelit, ada peningkatan area perkebunan. Trennya tidak lagi di dataran rendah tapi di bebukitan. Ditambah intensifnya pengolahan lahan dengan input kimia, sedimentasi danau yang menyebabkan pendangkalan dan banjir.

Kebun Raya juga longsor hebat dua kali, 2016 dan 2017. Bencana banjir dan longsor saat itu menghanyutkan puluhan koleksi tanaman Kebun Raya Bedugul dari koleksi saat ini yaitu 80 marga, 302 spesies, dan 2733 spesimen anggrek. Untuk memperingati peristiwa ini, pengelola membuat Monumen Svaha Bumi untuk memperingati banjir dan longsor yang bisa dijumpai di areal Rumah Kaktus.

baca juga : Peringati Hari Bumi, Bedugul Diusulkan jadi Cagar Biosfer

 

Kawasan Danau Tamblingan dengan latar belakang Pura Ulun tertutup kabut. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pariwisata massal juga menurut Sutomo berpengaruh pada rentannya kawasan hulu Bedugul. Ia mendorong pemerintah memilih model pengelolaan kawasan, misalnya cagar biosfer sebagai titik temu perlindungan biodiversitas, wisata, dan pertanian.

Jika tak dikelola, pada 10-20 tahun lagi, diperkirakan akan ada makin banyak masalah dan bencana. Salah satunya akses air. Didit mengingatkan tipikal masalah di pulau kecil adalah air. Beberapa bukit di Bedugul ada mata air dan saat kemarau juga menghilang. Karena itu warga mengandalkan danau untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian.

“Cuaca saat ini mempengaruhi iklim, Bali masuk sebagian besar basah, tahun lalu kemarau panjang yang menyusahkan. Mass tourism, perkembangan pesat jadi pemukiman, pertanian perlu air,” ingatnya.

Hal ini berdampak pada kebudayaan, banyak jenis tanaman dipakai ritual dan obat. Alam dan kultur berkaitan, jika terdegradasi, Bali kehilangan daya tariknya.

Sutomo memberi perhatian pada masalah ancaman sampah anorganik yang tak terkelola. Ia kerap kali menghadapi banjir saat pulang pergi ke Bedugul karena air got meluap ke jalan, Baturiti dan Luwus, dua area padat aktivitas pun penuh sampah.

Penurunan biodiversitas juga terjadi jika ada invasif species, endemik tak bisa tumbuh lagi. Pengelolaan spesies asing ini menurutnya penting. Daya dukung dan daya tampung Bedugul belum terpetakan dengan detail. Langkah mitigasi sementara adalah restorasi, identifikasi jasa ekosistem dan infrastruktur hijau.

Tiga peneliti, Sutomo, Rajif Iryadi, dan Wayan Sujarwo merangkum kajiannya di buku berjudul Bedugul dari Angkasa yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2009.

baca juga :  Mengenang Bencana Longsor di Keringnya Rumah Kaktus Kebun Raya Bedugul

 

Pepohonan di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Tamblingan, Kabupaten Buleleng, Bali, yang rimbun. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia.

 

Kondisi Bedugul

Sejarah Bedugul, menurut buku ini berhubungan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Mereka memindahkan warga dari Bali Timur karena lahannya terdegradasi erupsi Gunung Agung dan ekstraksi sumberdaya alam oleh kolonial ke lahan hutan kawasan Bedugul sebagai barter tanah.

Nama Bedugul diyakini berasal dari sejumlah versi. Pertama, Bedugul adalah sebuah nama pura subak di sisi selatan Danau Beratan. Area yang sangat indah kombinasi danau dan bebukitan. Kedua, berasal dari kata bedug dan kulkul, dua kata benda dari perpaduan tradisi Islam dan Hindu di Desa Candikuning. Dua latar belakang agama ini terus hidup berdampingan sampai kini.

Komoditas hortikultura utama adalah jagung, bawang prei, brokoli, paprika, kubis, kentang, dan lainnya. Dari aspek ekologis, Bedugul terletak di dataran tinggi 1000-2000 mdpl dengan hari hujan rata-rata 155 hari per tahun.

Bedugul memiliki tiga kawasan konservasi, yakni Cahar Alam Batukahu, hutan lindung, dan Taman Botani Kebun Raya Eka Karya yang sepenuhnya ekosistem buatan manusia. Ada juga Taman Wisata Alam (TWA) yakni kawasan hutan konservasi yang bisa dimanfaatkan kegiatan wisata dan rekreasi.

Dari hasil analisis peta, lahan pemukiman dan kegiatan lain luasnya 1.613 ha, lahan berhutan 20.272 ha, dan sawah 33.459 ha, sisanya tegalan dan ladang seluas 891 ha. Tutupan vegetasi menurun karena meningkatnya aktivitas manusia, perubahan iklim, dan bencana alam.

Kebun Raya Eka Karya Bali yang dikelola LIPI merekomendasikan pengenalan kembali beberapa spesies taaman asli penyangga danau seperti cemara pandak dan cemara gaseng. Ada juga beberapa jenis bambu.

Cagar Biosfer diusulkan pada simposium 2005 dengan Bappeda Bali. Cagar Biosfer didefinisikan sebagai kawasan konservasi ekosistem darat dan pesisir atau kombinasi lebih dari satu ekosistem. Pengelolaannya dengan menggabungkan konservasi keanekaragaman hayati, genetika, dan ekonomi warga.

perlu dibaca : Sejenak Melepas Kepenatan di Danau Beratan

 

Pengunjung melakukan foto pranikah di dalam Kebun Raya Bedugul Bali pada Desember 2019. Kebun raya menjadi salah-satu kekayaan di kawasan Bedugul, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Cekungan Bedugul Bali

Sebuah kompilasi studi ekologi dilakukan di Bedugul oleh peneliti Kebun Raya Bali. Sutomo, Darma, I., Priyadi, A., Sujarwo, W., Iryadi, R., & Kuswantoro, F. (2018). Ecology of Bedugul basin Bali. Bogor: SEAMEO BIOTROP.

Kawasan hutan Bedugul merupakan kawasan hulu yang memiliki banyak pura dan tiga buah danau yaitu Beratan, Buyan dan Tamblingan. Kawasan Bedugul tercipta dari aktivitas vulkanik purba (LIPI 1992) yang kini menyerupai cekungan drainase endorheik di mana Bedugul berada.

Cekungan drainase endorheik adalah suatu daerah yang karena bentuknya cekung tidak mempunyai saluran keluar air atau saluran rendah sungai di luar daerah tersebut. Tidak banyak tempat di dunia yang memiliki fitur ini, tetapi Indonesia beruntung memiliki beberapa wilayah tersebut. Cekungan endorheik Bedugul berukuran 12 x 7 km dan berbentuk oval.

Geologi cekungan endorheik ini terdiri dari batuan dasar vulkanik milik Buyan-Beratan purba breksi dan tufa (Fardilla dan Sutomo 2013). Daerah Bedugul bergelombang hingga pegunungan. Sebagian besar geomorfologi kawasan Bedugul telah mengalami transformasi oleh aktivitas vulkanik. Namun, geomorfologi daerah dataran rendah dekat danau telah diubah oleh pengendapan aluvium.

Jenis tanah utama di kawasan Bedugul adalah andosol yang dicirikan dengan sensitivitas yang tinggi terhadap erosi dan longsor (Sunarta et al. 2018). Letusan gunung api menyebabkan material terdistribusi menjadi kerucut vulkanik, dengan kemiringan bervariasi dari sedang hingga terjal di sekitar kawasan Bedugul sebagai regosol (entisol), material tersebut kemudian dikembangkan menjadi tanah non kristal yang diklasifikasikan sebagai andosol (Sukarman & Dariah 2014).

Sutomo, peneliti di Kebun Raya Bali, Bedugul berharap usulan Cagar Biosfer yang sudah lama digagas ini jadi momentum dan pengelolaan yang lebih baik, untuk mengurangi dampak buruk degradasi lingkungan.

baca juga : Begini Cara Unik Desa Pengotan Melestarikan Hutannya

 

Tegakan pohon Rasamala yang di dalam Kebun Raya Bedugul, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali Sumarsono menyebut belum banyak tahu detail wacana Cagar Biosfer kawasan Bedugul. Menurutnya status Cagar Biosfer akan menambah kuat posisi Bedugul sebagai kawasan konservasi, tak hanya tingkat lokal juga internasional. “Siap dipantau atau tidak?” sebutnya.

Selain ancaman kelestarian danau, masalah lain adalah alih fungsi lahan. Untuk menghadapi hal ini, ia meminta jangan didiamkan, tapi ditegur lisan dan tertulis. Misalnya pembangunan villa mendekati area konservasi, ini tak kelihatan dari citra satelit, harus ditemui petugas patroli.

Terkait ekspansi sempadan danau jadi areal kemah, Sumarsono tidak keberatan asalkan di luar kawasan. Pihaknya mendorong warga pemilik lahan di sekitar danau membuat wisata kemah untuk mengurai kepadatan di dalam kawasan TWA. “Mengurangi beban sampah di dalam kawasan konservasi dan beri tambahan ekonomi warga,” imbuhnya.

Masalah lain adalah wisata offroad, ketika kendaraan trail masuk kawasan dan merusak tanah dan vegetasi. Sedangkan tindakan illegal logging menurutnya kini skalanya kecil, misalnya pencurian 1-2 batang pohon untuk kepentingan pribadi.

 

Exit mobile version