Mongabay.co.id

EPPIC, Sayembara Inovasi Hentikan Polusi Sampah di ASEAN untuk Kawasan Mandalika

 

Nguyen Vo, pendiri Green Joy, adalah salah satu pemenang Ending Plastic Pollution Innovation Challenge (EPPIC) Fase I dari Vietnam. Ia mengembangkan sebuah jenis rumput jadi sedotan alami dan menargetkan mengganti 5 miliar sedotan pada 2025. Mengubah rumput jadi uang.

Vo mengatakan, ide ini muncul saat pertama kali lihat sedotan plastik pada penyu. Ia mencoba solusi alternatif berbasis alam, memanfaatkan bahan alami, untuk mengurangi konsumsi plastik dan meningkatkan ekonomi warga di Delta Mekong, Vietnam.

Kisah ini disampaikan pada soft launching EPPIC Fase II di Indonesia dan Talkshow “Ide 72 Ribu Dollar Untuk Memerangi Sampah Plastik” pada 16 Maret 2021 via online.

Tantangan yang dihadapi Vo adalah kesulitan memenuhi permintaan konsumen karena dikerjakan manual. “Kami berusaha buat proses ini efisien, otomatisasi produk. Saat ini dana UNDP bisa investasi mesin baru untuk meningkatkan produksi,” sebutnya.

Ketika inovasi diluncurkan, ternyata memerlukan teknologi sedotan dari rumput untuk memperbaiki harga dan nyaman dipakai. Selain didukung UNDP, Vo juga bekerjasama dengan LSM, aktivis lingkungan, dan laboratorium teknologi kampus untuk mengembangkan dalam skala besar.

Ketika mengikuti EPPIC, ia mendaftar, menyiapkan presentasi program dan proses, CV anggota tim, dan video yang menunjukkan solusi. Setelah diseleksi, 15 tim ikut training 3 bulan dan lokakarya dengan para pihak yang bantu implementasi solusi. Kemudian terpilih 4 terbaik dari fase I di Vietnam dan Thailand.

baca : Sedotan Purun, Kreativitas Masyarakat Tumbang Nusa Jaga Lahan Gambut

 

Sedotan Green Joy, sedotan alami dari rumput. Foto : greenjoystraw.com

 

Tahun ini, pada fase II, EPPIC dibuka di Indonesia dan Filipina, dua negara di ASEAN, negara yang sedang berhadapan dengan polusi sampah plastik di laut. Inovasi ini difokuskan untuk dua kepulauan yakni Lombok terutama kawasan ekonomi khusus Mandalika dan Pulau Salma, Filipina.

Dalam talkshow ini, Bambang Suwerda, Founder Bank Sampah Gemah Ripah di Bantul, Jogja pada 2008 juga berbagi pengalamannya mengembangkan bank sampah di Indonesia. Bambang menerima Lifetime Achievement sektor pengelolaan sampah 2020 dari pemerintah.

Awal mulanya ketika RT tempat tinggalnya masih banyak buang sampah sembarangan dan bakar. Setelah itu dirintis sistem bank sampah yang kini sudah berjalan 13 tahun.

“Amati, tiru, dan modifikasi sesuai karakter lokal. Mana dulu skala prioritasnya, organik atau anorganik?” katanya memberi masukan pada peserta talkshow usai peluncuran EPPIC. Ia fokus pada sampah layak tabung dan tidak. Terlebih saat ini bank sampah terus berkembang, ada yang fokus mengembangkan eco enzyme dan maggot.

Dari riset pada 2018 di Sleman, Bantul, Kota Jogja, Bambang menyebut ada 964 kg/bulan sampah yang bisa ditabung. Tantangannya adalah mencari sumberdaya manusia terutama anak muda yang mau kelola sampah. “Bangun kesadaran memilah dan menabung, awalnya nyaman dengan buang dan bakar,” lanjutnya. Salah satu cara edukasi, saat buku rekening bank sampah, kalau punya anak atas nama anaknya. Tujuannya mempersiapkan generasi muda yang peduli lingkungan.

Ia merangkum, 3 pilar penting dari sistem bank sampah adalah masyarakat penabung sampah, pengelola bank sampah untuk mengawal program, dan pembeli sampah seperti pelapak dan perosok untuk mengembalikan ke pabrik.

Bambang mengaku sudah berkunjung ke Mandalika, Lombok tiga kali dan tantangannya mengubah mindset bakar dan buang menjadi pilah dan tabung.

baca juga : Inilah Kreasi Para Perempuan Jogja, Meramu Sampah jadi Berkah

 

Tumpukan sampah di TPA Piyungan Yogyakarta. Rencana pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga sampah bkin khawatir banyak kalangan karena berpotensi membawa masalah lingkungan dan kesehatan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Regula Schegg, Managing Director Asia untuk Circullate Capital, sebuah usaha pengelolaan bisnis dan startup menyebut banyak yang ragu investasi di bidang tata kelola sampah ini. Ada kesenjangan modal khususnya Asia Tenggara dan Selatan. Tak banyak investor masuk, belum kenal dan nyaman berinvestasi. Menurutnya ini aliran investasi bagus karena bisa menghasilkan uang dan dampak sosial.

Sejumlah kesenjangan yang harus diatasi misalnya akses volume materi daur ulang, makin rendah kontaminasi makin tinggi nilainya. Kedua, proses daur ulang memastikan upcycling. Misal botol plastik PET dibersihkan, dihancurkan, jadi botol baru. Ini ekonomi lingkar tertutup.

Ada juga desain dan inovasi, plastik sekali pakai diganti dengan bahan berkelanjutan seperti sedotan dan kemasan alami. Selain itu penggunaan kembali dan distribusi inovatif. “Untuk solusi pulau harus sistemik, memahami seluruh rantai pasok. Transparansi industri ini kurang terkait bahan baku yang digunakan, aliran ke mana, untuk apa,” katanya terkait ekonomi sirkular.

Solusi yang menjanjikan adalah mengatasi masalah kunci, yakni pemilahan dan pemrosesan. Mandalika dan Pulau Samal menurutnya harus berhubungan dengan para pihak kunci untuk dampak sosial dan bisa direplikasi di pulau lain.

baca juga : Denmark Siap Bantu Program Bebas Sampah Pemerintah NTB

 

Pembongkaran sampah-di TPS Gili Trawangan, NTB. Foto : Anton Muhajir

 

Tentang EPPIC

Program ini dipelopori oleh United Nations Development Program (UNDP) dengan dukungan dari Kementerian Luar Negeri Norwegia dan Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia (Norad).

EPPIC adalah kompetisi untuk ASEAN yang menyerukan inovator berbagi ide dalam menangani polusi plastik dengan dunia. Contoh solusi misalnya aplikasi seluler yang memberi insentif kepada kapal untuk pengumpulan, pembuangan, dan daur ulang sampah plastik yang bertanggung jawab. Bahan baru untuk menggantikan plastik sekali pakai.

Solusi lain misalnya penggunaan drone, visualisasi data, atau alat crowd-sourcing untuk memetakan aliran limbah plastik dan meningkatkan pengumpulan. Mekanisme tata kelola untuk mendukung kota dalam penegakan peraturan plastik dan 100% produk alternatif yang dapat didaur ulang, terurai secara hayati, dan dapat dibuat kompos.

Inovasi lain misalnya produk berkualitas tinggi yang meningkatkan nilai ekonomis polimer daur ulang. Bisa juga kampanye komunikasi dan perubahan perilaku luar biasa yang mengubah sikap orang.

Sebanyak 10-15 Finalis akan mendapat pelatihan inkubasi selama 3 bulan, dan 4 Pemenang EPPIC akan mengikuti program percepatan dampak 9 bulan. Masing-masing mendapat dana inkubasi sampai USD $18.000 dalam bentuk pendanaan awal tanpa ekuitas. Selain itu, peluang membangun jaringan dengan perusahaan investasi berdampak di kawasan ASEAN.

baca juga : Cara Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen

 

Pemulung di TPA Kebon Kongok berjalan di atas gunung sampah. Usia TPA Kebon Kongok ini diperkirakan tinggal satu tahun. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sophie Kemkhadze, perwakilan UNDP di Indonesia mengatakan polusi plastik setiap tahun sekitar 8 juta plastik sampah di laut, dan pandemi Covid memburuk situasi. Karena ada 30% lebih banyak limbah dari penggunaan APD, masker, dan sampah lain. “Hal ini terus menekan sistem pengolahan sampah,” ujarnya.

Disebutkan, 5 dari 10 penyumbang sampah global adalah negara ASEAN termasuk Indonesia dan Filipina. Karena itu fase II ini memilih dua negara ini. Menurutnya, komitmen kuat sudah dibuat termasuk pemerintah Indonesia untuk mengurangi 70% sampah di laut pada 2025. Tapi membutuhkan gerakan holistik yang inovatif untuk mengurangi sampah dan perubahan perilaku. Strategi ekonomi sirkular didorong untuk model bisnis ini.

Nani Hendiarti, Deputi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut sampah plastik adalah masalah urgent untuk ditangani. Mengacu Perpres 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, menurutnya sudah ada tim koordinasi nasional 16 kementerian dan lembaga yang punya rencana aksi dan masuk di Perpres.

“Capaian saat ini bisa mengurangi 15%. Masih diperlukan inovasi reatif dan kolaborasi multipihak,” sebut Nani. Tak hanya Indonesia tapi lintas negara. Inovasi yang diharapkannya adalah teknologi yang mudah diterapkan di Indonesia untuk solusi penanganan sampah pesisir di ASEAN.

Misalnya punya nilai tambah, model bisnis penggunaan ulang dan desain inovasi untuk mengubah perilaku masyarakat. Kawasan Mandalika di Lombok jadi fokus implementasi EPPIC fase II ini. Ia sudah melihat ada bank sampah tapi perlu didukung inovasi baru, tak hanya mengumpulkan tapi bisa diubah jadi sesuatu yang bernilai.

baca juga : Pertama di Indonesia, Sampah RDF Jadi Pengganti Batu Bara

 

Aisyah (duduk, empat dari kiri) bersama para pemuda lintas komunitas yang belajar pengelolaan sampah di Bank Sampah NTB Mandiri. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bjornar Dahl Hotvedt, perwakilan Duta Besar Kerajaan Norwegia menambahkan pihaknya pun masih mengatasi sampah laut di Norwegia. “Banyak paus mengalami masalah karena makan sampah plastik. Penggunaan jaring nelayan juga jadi limbah laut kami,” katanya.

Di Indonesia, ia menyebut sudah ada tim koordinasi nasional sampah laut di KLHK. Namun memerlukan ide baru sehingga harus membuat kompetisi.

Zulkieflimasyah, Gubernur NTB yang akan jadi tuan rumah implementasi inovasi ini mengatakan ini waktu yang tepat karena Mandalika jadi kawasan pengembangan wisata prioritas dan akan menghasilkan banyak sampah. Misalnya event moto GP, puluhan ribu pengunjung akan produksi sampah.

“Program zero waste gampang diucapkan tapi implementasi susah. Penyelesaian tak hanya mengumpulkan dan memilah, sehingga jenuh. Perlu inovasi sebagai proses dinamis,” sebutnya. Hal yang ia garisbawahi adalah kurangnya fasilitas daur ulang, karena harus dibawa ke Surabaya.

Ia mengatakan butuh teknologi serius mengurus sampah plastik ini. Tak hanya kelompok masyarakat atau NGO, tapi perusahaan serius yang mengolah plastik. Untuk itu ia akan berusaha memfasilitasi perusahaan menyedikan infrastruktur, tanah, untuk mengurus sampah plastik ini.

 

Pokdarwis Tanjoh membuat miniatur hiu yang diisi dengan sampah plastik yang dipungut di laut. Beberapa anggota pokdarwis ini dulunya nelayan penangkap hiu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Nofrizal Tahar Direktorat Pengelolaan Sampah Padat KLHK menyebut kawasan Mandalika destinasi super prioritas yang ditetapkan pemerintah. Sedang dibangun sirkuit moto GP sehingga memerlukan inovasi pengelolaan sampah.

Contoh inovasi dari kompetisi EPPIC di Thailand dan Vietnam adalah biodegradable straw, mesin pengelola sampah plastik menjadi bahan siap pakai, dan biodegradable container.

Dikutip dari laman sampahlaut.id, saat ini, 80% sampah laut Indonesia berasal dari daratan dan 30% diantaranya dikategorikan sebagai sampah plastik. Setiap tahunnya, 1.29 juta ton sampah plastik, yang turut dipengaruhi oleh pasang surut ombak masuk ke perairan Indonesia dan berkontribusi terhadap akumulasi sampah lokal (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, 2018).

Pemerintah Indonesia berkomitmen mengatasinya dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut agar dapat mengurangi 70% sampah laut pada tahun 2025. Melalui Perpres ini, dibentuk Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut (RAN PSL) tahun 2018-2025 yang memberikan arahan-arahan strategis bagi kementerian/lembaga untuk menangani permasalahan sampah laut.

 

Exit mobile version