Mongabay.co.id

Pentingnya Memahami Kondisi Kerja di Atas Kapal Perikanan

 

Menjalani profesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja pada kapal perikanan, bukanlah menjadi profesi yang mudah. Ada banyak resiko yang selalu mengintai para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai AKP di kapal perikanan lokal ataupun luar negeri.

Resiko yang harus ditanggung dan dialami para AKP tersebut, di saat yang sama justru memberikan dampak positif bagi industri perikanan tangkap baik di dalam ataupun luar negeri. Berkat mereka, produksi perikanan tangkap bisa mencapai target yang diinginkan oleh perusahaan ataupun kapal.

Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, para AKP dari Indonesia bekerja pada kapal perikanan dengan berbagai ukuran dan jenis alat penangkapan ikan (API). Keberadaan mereka, seharusnya mendapat perlindungan kerja yang penuh.

Salah satu sumber yang menjadi lokasi utama pengiriman AKP Indonesia ke berbagai daerah untuk bekerja pada kapal perikanan, adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di Muara Baru, Jakarta Utara.

Dari pelabuhan perikanan terbesar di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat itu, setidaknya sudah ada 32.000 AKP yang diberangkatkan ke berbagai daerah untuk bekerja pada kapal perikanan. Mereka semua, banyak di antaranya yang belum paham bagaimana resiko bekerja di tengah laut.

baca : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan

 

Ilustasi. Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, agar tidak semakin banyak AKP yang tidak memahami kondisi lingkungan pekerjaan dengan segala resikonya, maka pembekalan menjadi langkah penting yang harus diberikan kepada TKI yang akan bekerja menjadi AKP.

“Pelabuhan Muara Baru adalah etalase perikanan nasional, sebab menjadi pusat keberangkatan, pendaratan, perdagangan, dan distribusi hasil perikanan se-Indonesia,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Dengan dorongan tersebut, DFW Indonesia memberikan materi pengenalan resiko kerja dan pengenalan indikator kerja paksa bagi AKP yang ada di Muara Baru. Kegiatan tersebut digelar dengan melibatkan Safeguarding Against and Addressing Fisheries Exploitation at Sea (SAFE Seas) Project.

Pemberian materi dilakukan, karena AKP Indonesia harus bisa memahami kondisi pekerjaannya dengan baik, dan tidak lagi menjadi korban kerja paksa ataupun perdagangan orang yang selama ini banyak dilakukan oleh kapal perikanan.

Abdi Suhufan menerangkan, materi yang diberikan mencakup tentang pengenalan lingkungan kerja, hak dan kewajiban, indikator kerja paksa dan perdagangan orang, serta mekanisme pengaduan atau komplain jika terjadi permasalahan yang menimpa AKP.

baca juga : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

 

Ilustrasi. Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Banyak Kasus

Selain karena dilatarbelakangi banyak aduan dan keluhan yang disuarakan para AKP saat bekerja di kapal perikanan, pemberian materi di Muara Baru juga didasarkan ada fakta bahwa banyak aduan dari AKP yang menyebutkan banyak penelantaran yang dialami mereka setelah berangkat dari Muara Baru.

Penelantaran tersebut dilakukan kapal perikanan di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Tepatnya, di sekitar Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Dobo yang menjadi titik kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan.

Para AKP tersebut ditelantarkan, dikarenakan berbagai sebab, di antaranya faktor gaji dan bonus yang tidak sesuai kontrak, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, dan juga perselisihan atas perjanjian kerja laut (PKL).

“Terdapat 15 pengaduan awak kapal perikanan yang kami terima sepanjang tahun 2020,” jelas dia.

Kepala PPS Nizam Zachman Rahmat Iriawan mengatakan, pemberian bekal pengetahuan kondisi kerja memang menjadi sesuatu yang sangat penting dan dibutuhkan oleh TKI yang bekerja menjadi AKP. Hal itu, karena meski sudah diberlakukan PKL, namun tetap saja ada AKP yang tidak mengikuti aturan tersebut.

“Mereka tetap berangkat tanpa PKL, karena situasi dan desakan kerja di lapangan,” ucap dia.

perlu dibaca : Cita-cita Perlindungan Awak Kapal Perikanan Semakin Mendekati Kenyataan

 

Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PBN/Mongabay Indonesia

 

Dengan kata lain, Rahmat ingin mengatakan bahwa aspek ketenagakerjaan selama ini memang selalu luput dari perhatian banyak pihak. Dengan adanya bekal pengetahuan, maka wawasan AKP bisa lebih luas dan bisa berhati-hati untuk memilih kapal perikanan yang akan menjadi tujuan akhir mereka.

“Serta memperhatikan hak dan kewajiban seperti yang tercantum dalam kontrak atau PKL,” tambah dia.

Praktik kerja paksa dan perdagangan orang yang dilakukan kapal perikanan, juga bisa berkaitan dengan praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak mengikuti regulasi yang berlaku (IUUF) di Indonesia ataupun negara lain.

Karenanya, Pemerintah Indonesia bertekad untuk memberantas semua praktik IUUF yang terjadi di perairan laut Nusantara hingga ke akarnya. Praktik tidak terpuji tersebut, dipastikan juga akan menimbulkan kerugian tidak sedikit bagi Negara.

 

Pemetaaan Masalah

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengungkapkan bahwa aktivitas IUUF akan memicu kerugian ekonomi, dampak berganda (multiplier effect), dan dampak negatif lain yang terkait.

Menurut dia, aktivitas IUUF tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga di beberapa negara kawasan Asia Pasifik dan itu diakui sudah menjadi musuh bersama yang harus diberantas agar usaha perikanan berkelanjutan bisa terus berjalan.

Basilio menyebutkan bahwa pihaknya sudah mencoba memetakan kesalahan pelaku penangkapan ikan secara ilegal dan kegiatan ilegal lain pada sektor perikanan. Ternyata, mereka melakukan kesalahan dengan bervariasi dan itu bisa dipetakan dengan jelas.

Selain melakukan transfer hasil tangkapan perikanan tanpa ada perizinan, para pelaku juga menggunakan dokumen palsu untuk melaksanakan penangkapan ikan, menangkap ikan dengan API yang dilarang, dan menggunakan bahan peledak.

“Juga ABK tidak disijil (diberikan sertifikat), dan pelanggaran keimigrasian, juga tenaga kerja asing yang tidak punya izin kerja,” papar dia.

baca juga : Moratorium Pengiriman Awak Kapal Perikanan Harus Diwujudkan

 

Kapal pukat pelagis sepanjang 120 meter bernama Johanna Maria, milik perusahaan Belanda Jaczon berbendera Irlandia yang menangkap ikan di samudera Atlantik di wilayah Mauritania, Afrika Barat pada Maret 2010. Foto : ejatlas.org

 

Semua kesalahan yang dilakukan para pelaku IUU Fishing tersebut, bisa menjadi modal yang kuat untuk menghentikan aksi mereka di perairan laut Indonesia dan juga perairan laut negara lain. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa menjadi kekuatan hukum masing-masing negara yang sedang memberantas IUU Fishing.

Sayangnya, khusus di Indonesia, Basilio mengakui bahwa hingga sekarang masih ada pekerjaan rumah yang belum bisa diselesaikan. PR tersebut berkaitan dengan permasalahan mendasar dalam penanganan penangkapan ikan secara ilegal, baik di dalam negeri maupun regional.

Permasalahan tersebut, antara lain ketidakpastian/ketidakjelasan hukum, birokrasi perizinan yang semrawut, pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada, inkonsistensi penerapan berbagai aturan terkait, dan diskriminasi pelaksanaan hukuman bagi kapal ikan asing (KIA) yang melanggar.

Kemudian, masih adanya persekongkolan yang terindikasi korup antara pengusaha lokal, pengusaha asing, dan pihak peradilan, yang mengakibatkan proses peradilan terhadap pelanggar menjadi berlarut-larut.

Menurut Basilio, saat ini yang harus dilakukan adalah bagaimana menyamakan pemahaman dan definisi yang jelas terkait perlindungan pelaut dan AKP di level nasional. Dengan demikian, ratifikasi konvensi dan perjanjian internasional menjadi penting.

“Ke depannya, kita dapat turunkan menjadi landasan hukum bagi para Penegak Hukum dan Hakim Perikanan untuk putuskan persoalan hukum terkait illegal fishing,” sebut dia.

Akibat aktivitas perikanan tangkap ilegal, Indonesia mengalami kerugian hingga mencapai USD4 miliar per tahun atau sekitar Rp56,13 triliun. Sementara, akibat IUU Fishing kerugian diperkirakan mencapai USD15,5 miliar hingga USD36,4 miliar dan berasal dari sekitar 11-26 juta ton ikan yang ditangkap.

“Khusus di wilayah Samudera Pasifik, mencapai 4-7 juta ton per tahun dengan nilai USD4,3 miliar hingga USD8,3 miliar,” ungkapnya.

 

Exit mobile version