Mongabay.co.id

Referendum Perjanjian Dagang Swiss-Indonesia, Ekonom dan Aktivis Tekankan soal Sawit Berkelanjutan

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

Awal Maret lalu, referendum perjanjian perdagangan bebas Swiss-Indonesia selesai dengan hasil 51,6% menyatakan setuju terhadap perjanjian ini. Dari hasil itu, sawit jadi satu produk utama yang mendapat lampu hijau masuk dengan pemotongan tarif di Swiss. Begitupun sebaliknya, barang asal Swiss seperti keju, produk farmasi hingga jam tangan kena penghapusan bea masuk ke Indonesia.

Berbagai kalangan mengingatkan, pemerintah dan industri sawit di Indonesia tidak boleh besar kepala dengan hasil referendum perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan Swiss. Jangan sampai, memandang referendum perdagangan bebas ini hanya sebagai peluang pasar produk dan minim mempertimbangkan aspek keberlanjutan.

Perjanjian ini ditandatangani 2018, baru pada 2019 disetujui parlemen Swiss.  Ada pengecualian produk-produk pertanian dalam perjanjian ini, terutama buat melindungi produksi minyak rapa dan minyak bunga matahari mereka.

Untuk minyak sawit, tarif-tarif impor tak akan dihapus, tetapi dikurangi antara 20-40% dengan volume terbatas, maksimal 12.500 ton per tahun.

Referendum ini, sebenarnya pertarungan antara kelompok setuju terhadap perjanjian perdagangan bebas dengan kelompok penolak yang mendorong referendum. Argumen penolakan berdasarkan alasan linkungan hidup yang menyebut, sawit asal Indonesia berkaitan dengan deforestasi.

“Meskipun demikian, hasil referendum yang menyetujui perjanjian dagang ini jangan diartikan sebagai negara Swiss setuju ada deforestasi dan masalah sosial yang jadi alasan kelompok kontra perjanjian dagang, tidak demikian,” kata Sonny Mumbunan, ekonom juga peneliti dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia kepada Mongabay, baru-baru ini.

Justru, katanya, hasil referendum ini harus jadi refleksi bagi Indonesia. Dalam perjanjian dagang ini, katanya, juga mencantumkan tetap menjaga prinsip keberlanjutan.

“Jadi yang diprotes bukan karena perjanjian dagang ini tidak menuntut sustainability. Tuntutan itu ada, tapi masih dirasa kurang ketat maka perlu referendum,” ucap Sonny.

 

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Dia memandang hasil referendum sebagai tantangan bagi pemerintah dan industri sawit Indonesia untuk menunjukkan keseriusan terhadap prinsip keberlanjutan sektor sawit. Pada dasarnya, konsep keberlanjutan ini yang terus diminta pasar global, tidak hanya di Swiss.

Berbagai sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) di dalam negeri, dia nilai belum bisa jadi bukti mumpuni menunjukkan kalau itu produk berkelanjutan.

Senada dengan Sonny, Achmad Surambo, Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, pemerintah perlu memandang hasil referendum sebagai tantangan. “Kalau kita serius dengan sustainability, harus jadi tuntutan dalam perjanjian dagang ini,” katanya.

Dia menyebut, pihak yang menolak bukan ingin memboikot produk sawit, melainkan mendorong konsep dari industri sawit bertanggung jawab dan berkelanjutan. “Ini bukan perang dagang, tapi berkenaan dengan sustainability, bahwa mereka minta ada nilai-nilai keberlanjutan, tidak langgar HAM, tidak deforestasi,” kata Rambo.

 

Pesimis

Kalau melihat kondisi di dalam negeri, Rambo agak pesimis bisa sejalan dengan semangat yang diinginkan pasar di Eropa. Dia sebutkan, antara lain, kebijakan moratorium sawit sudah mau selesai September nanti, tetapi capaian selama tiga tahun tidak menggembirakan.

Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit itu, katanya, tidak lebih dari sekadar macan kertas. Tidak ada anggaran, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menerjemahkan inpres ini.

 

Baca juga: Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit dalam Tataran Petani?

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

“Bahkan, tim kerja moratorium di nasional saja yang katanya akan ada laporan ke presiden setiap enam bulan sekali, sampai sekarang ‘barangnya’ tidak pernah kami bisa dapat.”

Belum lagi, katanya, ada aturan baru seperti UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja yang punya semangat pemutihan terhadap penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.

“Ini yang menurut saya penting agar pemerintah Indonesia harus secepatnya selesaikan kasus sawit dalam kawasan hutan dengan baik. Karena di dunia ini yang diminta sustainability. Bagaimana menunjukkan ini kalau ada pemutihan sawit dalam kawasan hutan?”

Sejauh ini, kata Rambo, kerja nyata dari Inpres Moratorium Sawit baru penetapan tutupan sawit seluas 16,38 juta hektar. Beberapa kasus fenomenal seperti sawit dalam kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Tesso Nilo, masih luput dari penyelesaian.

Belum lagi, kaji ulang perizinan seperti mandat dalam inpres belum memperlihatkan hasil hingga kini. Padahal, gerakan awal sudah dilakukan di daerah, seperti di Kalimantan Tengah, sudah memilah sawit dengan hak guna usaha (HGU) dan yang tidak memiliki HGU.

“Ini semua sudah ada di daerah, tinggal eksekusi, tapi kita belum lihat perkembangannya.”

 

Perhatikan petani kecil

Kalau Indonesia memang serius menerapkan prinsip keberlanjutan sebagaimana seperti juga jadi tuntutan dalam perjanjian dagang dengan Swiss ini, maka kesejahteraan petani kecil tidak boleh terabaikan. Selama ini, katanya, paling kentara keberpihakan terhadap korporasi sawit besar.

“Ambil contoh peremajaan sawit rakyat, dana sangat kecil sekali kalau dibandingkan dengan biofuel,” ucap Rambo.

Dia bilang, kalau pengalokasian ini berdasarkan asumsi serapan dari petani masih kecil, seharusnya tugas pemerintah mendorong penyerapan lebih besar dari petani. “Jadi, produktivitas petani ini juga harus diperhatikan pemerintah.”

 

Petani sawit Desa Nanga Kebebu , Melawi masih hadapi berbagai masalah. Meskipun begitu, mereka mulai berupaya berbenah diri . Foto: Arief Nugroho/ Pontianak Post

 

Sonny pun menyebut, pemerintah harus mendefinisikan dengan jelas kata smallholder farmer (petani kecil) dan bagaimana memberikan perlakuan yang adil terhadap mereka.

“Saat ini, kan definisi hanya merujuk pada luas lahan yang digarap 25 hektar. Kalau begitu, anggota DPR yang bukan petani sawit tapi punya tanah seluas itu apa bisa disebut smallholders?” tanya Sonny.

Batasan dan definisi jelas ini, katanya akan lebih memudahkan untuk membantu kesejahteraan para petani dengan program yang jelas.

“Jadi, kalau mau serius dengan persoalan perdagangan ini, maka harus serius lihat kesejahteraan petani kecil,” katanya.

Selain petani, kesejahteraan buruh sawit pun masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam bisa menjawab tantangan perjanjian dagang dengan Swiss. Isu hak asasi manusia pun didorong menjadi alasan referendum ini.

“Buruh ini masih dianaktirikan, padahal buruh sawit itu termasuk entitas paling besar. Tidak banyak buruh yang memiliki kontrak resmi, mereka hanya buruh harian lepas yang risiko sangat besar.”

 

 

Tuntut transparansi

Arie Rompas, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia juga meminta, Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusan mematuhi syarat sawit berkelanjutan dalam perjanjian dagang dengan Swiss ini lewat transparansi. Menurut dia, pemerintah saat ini tidak transparan dalam membuka informasi.

“Transparansi ini sangat penting, mulai dari supply chain sawit, data HGU yang bisa jadi modal pengawasan praktik keberlanjutan industri sawit,” kata Arie.

Selain itu, pemerintah harus bisa meyakinkan konsumen bahwa produk sawit di Indonesia bebas dari deforestasi dengan menelurkan regulasi lebih ketat dan mekanisme yang bisa jawab isu keberlanjutan dan konflik sosial di perkebunan sawit.

“Jalankan juga penegakan hukum dengan baik, maka kita bisa meyakinkan kalau sawit indonesia itu tidak melanggar HAM dan tidak merusak lingkungan, termasuk deforestasi,” katanya. 976

 

 

****

Fotoutama: Hutan adat Kinipan di Kalteng, yang dibersihkan oleh perusahaan sawit. Foto: Save Our Borneo

Exit mobile version