Mongabay.co.id

Laporan Sebut Jutaan Hektar Hutan Primer Dunia Hilang pada 2020, Bagaimana Indonesia?

Salah satu lokasi riset amfibi di Hutan Harapan tepatnya Sungai Lalan dengan tipe hutan sekunder. Tepatnya di Sungai Lalan. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Laporan terbaru World Research Institute (WRI) dan Global Forest Watch menunjukkan, dunia kehilangan 12,2 juta hektar tutupan pohon di daerah tropis pada 2020. Data yang dihimpun University of Maryland ini mencatat sekitar 4,2 juta hektar atau seluas negara Belanda, merupakan hutan primer tropis penyimpanan karbon dan keragaman hayati.

Emisi yang keluar dari kehilangan tutupan hutan ini 2,64 Gt CO2, setara emisi tahunan 570 juta mobil, lebih banyak dari dua kali lipat jumlah mobil di Amerika Serikat.

“Kehilangan hutan primer tropis ini 12% lebih tinggi pada 2020 dibanding tahun sebelumnya,” kata Rod Taylor, Global Director World Research Institute (WRI) dalam rilis laporan secara daring, pekan lalu.

Meskipun tak bisa berhubungan langsung dengan pandemi, namun ada kecenderungan masyarakat yang kembali ke desa atau suplai permintaan terganggu, menyebabkan ada penebangan hutan ilegal.

Sebagai dampak dari karantina, ada pengaruh bagaimana negara-negara memulihkan kembali ekonominya. Beberapa negara melemahkan perlindungan lingkungan untuk memulihkan ekonomi. Kebijakan ini, berpengaruh terhadap tutupan hutan.

Indonesia, termasuk negara keempat kehilangan hutan tropis paling banyak setelah Brazil, Kongo dan Bolivia. Deforestasi untuk komoditas tertentu jadi pemicu kehilangan tutupan hutan baik primer maupun tropis sekunder, di Amerika Latin dan Asia Tenggara. Tak heran kebakaran hutan dan lahan serta dampak lain dari krisis iklim jadi sering terjadi di daerah ini.

Saat angka deforestasi global meningkat, ada kabar baik dari Asia Tenggara.

Walau masih posisi keeempat kehilangan hutan,  angka kehilangan tutupan hutan Indonesia menurun selama empat tahun terakhir. Indonesia juga, untuk pertama kali keluar dari daftar tiga negara yang paling banyak kehilangan tutupan hutan dalam catatan WRI.

“Ini tak lepas dari kebijakan nasional dan daerah. Setelah kebakaran hutan dan lahan hebat pada 2015, pemerintah memperkuat pemantauan dan upaya pencegahan karhutla. Pemerintah mengeluarkan moratorium izin sawit dan aturan permanen untuk konversi hutan dan lahan gambut,” kata Arief Wijaya, Manajer Senior Iklim dan Hutan WRI Indonesia.

 

Baca juga: Angka Deforestasi Indonesia Turun?

Sumber: Global Forest Watch

 

Reforma agraria dan perhutanan sosial, katanya, juga membantu mengurangi tekanan terhadap hutan dengan mengatasi kemiskinan dan penggunaan lahan berkelanjutan.

Mandat Badan Restorasi Gambut yang diperpanjang pada 2020, kini termasuk perlindungan hutan mangrove, katanya, sangat penting untuk keragama hayati, ekosistem dan mengurangi dampak cuaca ekstrem.

Beberapa daerah juga membuat beberapa kebijakan serupa dengan landasan kebijakan pusat ini.

Selain komitmen pemerintah, perusahaan pulp, dan sawit juga berpengaruh mengurangi deforestasi. Liz Goldman Manajer Riset WRI mengatakan, 80% perusahaan pulp and paper di Indonesia sudah punya komitmen NDPE (no deforestation, no peat and no exploitation). Sekitar 83% kapasitas kilang sawit juga sudah berkomitmen NDPE.

Sertifikasi RSPO yang diperketat pada 2018 juga memasukkan larangan deforestasi dan gambut.

Untuk Malaysia, empat tahun terakhir kehilangan seperlima hutan tropis sejak 2001. “Malaysia memperkuat penegakan hukum dengan meningkatkan denda dan pidana bagi pembalakan liar,” kata Liz.

 

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Sumber: Global Forest Watch

 

Beda data

Sebelumnya, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) mengeluarkan data penurunan deforestasi mencapai 75% pada 2019-2020, atau 115,460 hektar.

Perbedaan data antara KLHK dan University of Maryland yang dicatat Global Forest Watch dan WRI karena beda metodologi dan sumber data untuk mengukur penurunan deforestasi dan kehilangan tutupan hutan.

KLHK mencatat 119.000 hektar pertahun hilang tutupan hutan pada Juni 2019 hingga Juli 2020.

WRI mencatat, 270.ooo hektar hilang dan penurunan hanya 17%.

KLHK menggunakan minimum area 6,25 hektar dan periode laporan Juni ke Juli dan menggunakan interpretasi visual dari gambar satelit yang menunjukkan deforestasi. Sementara WRI memasukkan deforestasi dengan luas lebih dari 0,1 hektar, tanpa gunakan data area di bawah 6,25 hektar. Lantas ditemukan angka 123.000 hektar, mendekati angka KLHK.

Data WRI juga menggunakan data kalender yang memasukkan seluruh data tahun 2020. Beda persentase karena data KLHK memasukkan hilangnya hutan alam dan hutan tanaman industri. Sementara WRI hanya memasukkan hutan tropis primer atau sama dengan hutan alam versi KLHK.

Dengan kata lain, penurunan deforestasi bersih KLHK termasuk area industri, kalau hanya gunakan hutan alam, data penurunan KLHK 38%, lebih dekat dengan angka 17% versi WRI.

Meskipun ada penurunan deforestasi, kata Liz, Indonesia dan Malaysia harus terus menguatkan kebijakan untuk mempertahankan capaian ini, termasuk memperpanjang moratorium izin sawit yang berakhir 2021.

Musim hujan 2020 juga membantu menekan kebakaran hutan dan lahan. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang berkorelasi dengan kehilangan tutupan hutan Indonesia pada 2009 dan 2012, telah ditangani dengan upaya pemantauan karhutla. Komitmen NDPE, katanya, berperan penting untuk mencegah kehilangan hutan primer di masa depan, ketika pasar berubah.

 

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

Namun, kata Arief, omnibus law UU Cipta Kerja dapat membahayakan hutan karena merelaksasi regulasi terkait lingkungan. Indonesia juga mengeluarkan kebijakan food estate untuk menangani masalah krisis pangan akibat pandemi. Kebijakan ini dinilai berisiko terutama untuk hutan lindung dan lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Sayangnya, penurunan deforestasi ini hanya terjadi di Indonesia dan Malaysia. Kehilangan tutupan hutan di negara lain di Asia Tenggara seperti Kamboja, Laos dan Myanmar tetap meningkat. 

Untuk Brazil, kehilangan hutan primer total 1,7 juta hektar pada 2020, naik 25% dibanding tahun sebelumnya. Kebakaran hutan Amazon juga lebih besar dibanding 2019.

Pada 2019, kebakaran terjadi di area yang sudah alami deforestasi oleh petani yang menyiapkan lahan pertanian. Pada 2020, kebakaran hutan di Brazil meluas karena kondisi kering.

Ilmuwan khawatir kondisi ini lebih buruk di masa depan dan membuat krisis iklim makin parah dan hutan makin rentan. Amazon bahkan disebut bisa berubah jadi savana.

“Deforestasi di Brazil terjadi meski ada larangan membakar pada musim tertentu dan pengerahan militer untuk mencegah pembalakan liar. Pengeraham militer ini berakhir pada akhir April 2021,” kata Frances Seymour, peneliti senior WRI.

Amazon bukan satu-satunya wilayah yang mengalami kebakaran hebat pada 2020. Ia juga terjadi di Pantanal, wilayah dengan laham gambut terluas di dunia, mengalami kehilangan tutupan hutan 16 kali lebih banyak dari 2019.

Api karena orang mengelola lahan, namun tak terkontrol. Pada 2020, merupakan kemarau terparah sejak 1970.

Deforestasi di bagian lain Amerika Selatan, juga berpengaruh bagi kekeringan di Pantanal dan perubahan iklim juga bikin kondisi ekstrem lebih sering terjadi.

Para ahli memperkirakan sekitar 30% Pantanal terbakar pada 2020, termasuk beberapa hutan lindung yang menjadi area masyarakat adat yang menyebabkan mereka seperti ‘guato’ hidup tanpa makanan dan air bersih. Kebakaran ini juga berdampak pada keragaman hayati dengan ribuan satwa mati atau terluka termasuk jaguar dan spesies yang rentan lain.

Meski dampak, belum bisa dipastikan, yang jelas beberapa area di Pantanal butuh waktu pemulihan hingga berpuluh tahun.

Di Bolivia, Kolombia dan Peru kehilangan tutupan hutan juga tinggi. Bolivia menjadi negara ketiga yang kehilangan tutupan terbanyak. Penyebabnya hampir sama dengan Brazil, ketika orang membakar untuk membuka lahan namun api tak terkontrol selama musim kemarau dan cuaca panas.

Begitu juga dengan Kolombia. Setelah mengalami sedikit penurunan pada 2019, Kolombia kembali menjadi satu daerah dengan kehilangan tutupan hutan tertinggi.Kondisi ini, katanya, karena kesepakatan damai pada 2016 yang menyebabkan kekosongan pemerintahan yang sebelumnya mengontrol area hutan.

 

Global Forest Watch

 

Peru juga mengalami peningkatan 18% dari 2019, kebanyakan karena pembukaan lahan kecil untuk pertanian dan peternakan sapi. Tambang emas yang ada di bagian selatan negara ini terlihat menurun pada 2019 dan 2020.

Peningkatan dramatis terjadi di Kamerun, hampir dua kali lipat dari 2019. Penyebabnya disinyalir karena migrasi masyarakat kota ke area pedesaan karena kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Selain juga karena meningkatnya harga komoditas terutama sawit dan kakao.

Di Australia , kebakaran pada 2019 dan awal 2020 menyebabkan kehilangan tutupan hutan hingga sembilan kali lipat dibanding 2018. Cuaca ekstre, dipercaya sebagai penyebabnya dan diprediksi lebih memburuk karena perubahan iklim.

Siberia, mengalami temperatur tinggi yang tak biasa selama musim panas dan musim semi yang memicu kekeringan dan kebakaran hutan yang tinggi di Rusia. Kanada juga mengalami 45% penurunan kehilangan tutupan hutan dibanding 2019.

Para ahli menyatakan ini karena kombinasi antara udara yang dingin dan cenderung lebih basah dan dampak karantina. Di Jerman alami kehilangan tutupan hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya, hampir tiga kali dibanding 2018.

 

 

 

******

Foto utama: Hutan Harapan, di Jambi dan Sumatera Selatan, hutan nan rapat,  tempat hidup masyarakat adat dan beragam satwa penting. Hutan ini terancam atas rencana pembangunan jalan untuk angkutan batubara yang akan membelah hutan penting ini…. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version