Mongabay.co.id

Menghitung Indeks Kekayaan Laut Indonesia untuk Perikanan Keberlanjutan

 

Pemerintah dan sejumlah peneliti membahas lima bidang untuk mewujudkan keberlanjutan ekonomi dari kekayaan perikanan dan kelautan Indonesia.

Keberlanjutan perekonomian laut (Sustainable Ocean Economy) disebut salah satu solusi untuk mewujudkan keseimbangan antara perlindungan ekosistem laut, pembangunan ekonomi kelautan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari pemanfaatan laut.

Terdapat lima bidang dalam implementasi sustainable ocean economy. Di antaranya ocean wealth (kekayaan laut), ocean health (kesehatan laut), ocean equity (keadilan dalam pendistribusian manfaat laut), ocean knowledge (pengetahuan tentang laut), dan ocean finance (pembiayaan upaya penyehatan dan pengelolaan sumber daya kelautan).

Sejumlah peneliti luar negeri membagi pengalamannya melakukan penilaian kesejahteraan ini misalnya dengan menghitung indeks kekayaan laut dan menganalisis dampak ekonomi dari satu jenis komoditas yakni kerapu.

Hal ini dibahas dalam seminar daring “Menuju Sustainable Ocean Economy di Indonesia” pada Selasa (30/4/2021). Dihelat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia Ocean Justice Initiative, serta Kedutaan Norwegia untuk Indonesia.

Sejumlah pihak memaparkan peluang, mengidentifikasi tantangan, dan menghasilkan rekomendasi aksi untuk mendorong pelaksanaan sustainable ocean economy.

Hari pertama berbentuk seminar daring (online). Hari kedua dilaksanakan dalam bentuk FGD daring, dimana peserta akan memilih salah satu di antara 5 breakout rooms, yakni Ocean Health, Ocean Wealth, Ocean Equity, Ocean Finance, dan Ocean Knowledge.

baca : Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Ilustrasi. Sebuah kapal dalam perjalanan menuju Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Perikanan KKP Prof. Syarif Wijaya yang mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebut kekayaan laut Indonesia sangat tinggi. Kontribusi sektor kelautan Indonesia setara APBN Inggris Raya, negara kaya ketujuh. Menurut FAO nilainya sekitar 120 miliar USD, terbesar setelah China dan Peru. Sejumlah pihak juga meriset potensi jasa lingkungan kelautan, misalnya dari ekosistem mangrove 3,14 juta ton setara karbon dan padang lamun 7,4 megaton setara karbon atau setara 111 juta USD.

“Dari posisi geografis (laut Indonesia) tersibuk, investasi maritim di jalur pelayaran. Kita adalah nelayan, pelaut, dan industrialis tergantung laut,” sebut Syarif. Menuntut laut sehat dan produktif, sebagai investasi cerdas yang beri dampak lingkungan, kesehatan.

Tantangannya pun meningkat. Ia mencontohkan masih ada illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing, kejahatan, penangkapan berlebih, perubahan iklim, dan sampah laut. “SGDs 14 live below water belum menarik perhatian,” lanjutnya.

Pemimpin dunia pun sudah bersatu untuk komitmen konservasi. Misalnya Ocean Panel, panel tingkat tinggi untuk keberlanjutan laut, yang merumuskan dokumen kebijakan laut berkelanjutan dalam Sustainable Economy Report, Ocean Report, dan Transformation Sustainable Economy. Dokumen itu terdiri dari status kekayaan laut, status kesehatan laut, distribusi manfaat yang adil, akses pengetahuan laut, dan ketersediaan pembiayaan.

Salah satu yang diharapkan adalah investasi biru untuk pembiayaan. Sedangkan distribusi pemanfaatan yang adil membutuhkan peran aktif dunia usaha dan penyadartahuan laut perlu kerjasama semua pihak.

baca juga : Apa Manfaat Ekonomi Biru untuk Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ia mengatakan KKP punya tiga program terobosan yakni mendorong peningkatan penerimaaan negara bukan pajak di perikanan tangkap agar didistribusikan kembali ke nelayan dan pesisir. Membangun perikanan budi daya untuk kesejahteraan, misal di komoditas unggulan tuna dan lobster, dan pendirian kampung budi daya. Tiap desa pesisir diharapkan mampu membangun sumberdaya perikanan di area masing-masing.

“Indonesia perlu dukungan internasional agar tak ada perdagangan lintas negara untuk plasma nuftah misal benih lobster,” lanjut Syarif. Ini termasuk kategori IUU Fishing, dan ia mohon dukungan negara untuk memasukkan opsi itu.

Sejauh ini, Indonesia menurutnya mampu menetapkan wilayah perikanan sebagai sumber plasma nuftah ikan unggulan seperti tuna, kerapu, dan lainnya. Ada juga komitmen 30% wilayah laut sebagai kawasan konservasi perairan (KKP).

Syarif juga berharap kesetaraan perdagangan lintas benua, misal mengatasi tariff barrier di negara target tujuan ekspor. “Besar tantangannya, (Indonesia) berharap peluang investasi, peluang tampil terdepan di Asia Tenggara baik politik atau praktis,” imbuhnya.

Sedangkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara yang sama juga menyebut pentingnya Indonesia mengembangkan ekonomi biru dan meminimalkan dampak lingkungan dan mengelola laut. “Ekosistem blue carbon menyimpan 85% karbon dunia. Tanggung jawab memulihkan untuk memberikan pangan dan energi,” katanya.

Lautan Indonesia masih mengalami ancaman termasuk dampak pandemi COVID-19 ini. oleh Presiden Joko Widodo telah meluncurkan dokumen Tranformasi Menuju Laut Berkelanjutan pada akhir tahun 2020. Praktik perikanan berkelanjutan akan dilakukan. Misalnya melalui program pemulihan ekonomi untuk stimulus perikanan, dibagi empat di antaranya akuakultur, kelestarian mangrove, dan terumbu karang. Contohnya pada 2021, program mangrove akan mendapat sokongan 115 juta USD, ini 400% lebih tinggi dari dana sebelumnya. Rehabilitasi mangrove besar-besaran sekitar 620 ribu ha sampai 2024.

Ia juga menyebut pengelolaan sampah jadi energi listrik. Sedangkan energi dari laut belum begitu dikembangkan.

Luhut mengutip Ocean Health Index Indonesia dengan skor 65, sementara indeks global 71. Karena itu RPJMN 2021-2024 diperkuat di kawasan pesisir untuk meningkatkan struktur ekonomi. Target ambisius konservasi mangrove dan sampah laut ini menurutnya memerlukan kerjasama global.

Sedangkan Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative Stephanie Juhana, yang menjadi moderator seminar gabungan daring (online) dan luring (offline) ini menyebut Indonesia sudah membuat komitmen kuat dan konkrit.

baca juga :  Begini Ajakan Indonesia untuk Pengelolaan Ekonomi Laut Berkelanjutan

 

Seorang penyelam sedang menyelam di perairan Pulau Kapoposang yang masuk areal TWP Kapoposang. Foto : BKKPN Kupang

 

Kekayaan Inklusif Indonesia

Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard menyebut aset laut sekitar 25 triliun USD, dan layanan turunannya 1,5-6 triliun USD per tahun sesuai dokumen panel ahli.

Pada September 2020, pemerintah sudah menyelesaikan dokumen panel transformasi dengan lima bidang aksi. Kemudian 3 Desember 2020 diluncurkan secara global. Menurutnya tak ada negara yang bisa memenuhi komitmen ini tanpa kerjasama.

Sementara itu Regional Adviser for Environment Statistic The Economic and Social Commission for Asia and the Pacific serves as the United Nations (UN ESCAP) Anthony Dvarskas memberikan pemaparan menarik tentang cara menghitung kekayaan laut.

Menurutnya GDP bukan ukuran komprehensif. Memang mengukur pertumbuhan tapi tak dirancang ukur kesejahteraan dan keberlanjutan. “Tak serta merta GDP dan juga kesejahteraan meningkat dalam jangka panjang,” sebutnya.

Alternatif lain adalah indeks kekayaan inklusif yang diusulkan UNEP yang mengukur kesejahteraan, nilai sosial manusia, dan modal lingkungan untuk menghasilkan indeks kekayaaan inklusif. Tak hanya output ekonomi tapi juga melihat ukuran kesejahteraan terkait lingkungannya.

Stok modal alam menyusut dan ini otomatis menyusutkan kekayaan inklusif. Ecosystem Accounting Area (EAA) melihat parameter air, ikan, laut, lahan, dan energi. Tak hanya menghitung aset individu tapi melihat relasi holistik manusia dengan lingkungan.

Program rintisan global untuk menguji sistem ini sudah dilakukan. Variabel utama adalah cakupan ukuran ekosistem yang berubah sepanjang waktu. Mencakup karakteristik ekosistem abiotik seperti air, udara, spesies, biomassa, ukuran ikan, dan tingkat lansekapnya. Bagaimana konektivitasnya, jika spesies tak bisa bergerak dari berkembangbiak ke tempat mencari makan. Hubungan ekosistem dengan manfaatnya non tunai pada masyarakat disebut jasa ekosistem.

baca juga : Merawat Wilayah Laut Nusantara dengan Sains dan Kearifan Lokal

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kekayaan laut sulit dinilai dan sulit dilacak, karena sulit diakses, migrasi yang tinggi, interaksi dinamis, dan data tingkat lokal sangat terbatas. Tak cukup data yang tersedia terutama tren waktu, untuk dievaluasi. Perlu sistem statistik nasional. Set data lokal yang diperlukan misal monitoring di ekosistem target, trawl fish, laporan pemerintah, dan lainnya.

Rintisannya adalah Geographe Marine Park di Australia. Dimulai dengan menentukan area target, tipe ekosistem, indikator kepadatan, biomassa, populasi ikan, dan lainnya.

Jika Indonesia hendak memulai maka perlu koordinasi lintas kementerian, karena datanya tersebar, kemudian identifikasi aset dan jasa ekosistem. “Tak bisa kuantifikasi semua kekayaan laut dan jasanya, ini pekerjaan yang tak pernah selesai,” kata Anthony. Harus menentukan prioritas misal mangrove, terumbu karang, dan lainnya. Lalu melakukan penghitungan fisik dan belajar dari pengalaman negara lain.

Director Fisheries Economics Research Unit Universitas British Columbia, Canada Prof Rashid Sumaila, mengatakan dengan pentingnya pembiayaan kelautan, kendala, dan langkah mengisi celah kesenjangan.

Ia mengkritik tingginya subsidi di pertambangan. Saat ini diperlukan rekomendasi dan implementasi panduan baru dan prinsip investasi berkelanjutan. Saat ini hanya 1% pembiayaan ditujukan untuk pengembangan ekonomi berkelanjutan. Namun nilainya berkembang pesat dari 25 sampai 100 miliar USD.

baca juga : Begini Urgensi Revisi UU Perikanan Demi Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan 

 

Perahu dibawah 10 GT milik nelayan yang terparkir di di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jatim, sebelum digunakan untuk mencari ikan, rajungan dan cumi-cumi. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Indeks Kesehatan Laut

Prof. Yvone Sadovy, University of Hongkong, and IUCN Groupers and Wrasses Specialist Group mengajak melihat indeks kesehatan laut dari sudut pandang ikan kerapu.

Indonesia menghdapi masalah laut misal polusi plastik, degradasi habitat, dan ketidakadilan. Kerapu adalah contoh perikanan karang. Salah satu jenis ikan predator dan berperan penting dalam ekosistem. Kerapu beratnya sekitar 20% tuna. Tapi nilainya jauh lebih tinggi.

Penurunan populasi kerapu signifikan terjadi sehingga perlu pengelolaan misalnya ukuran, dan melindungi anakan untuk memulihkan ikan. Menjaga ikan dewasa yang beranak, karena sangat mudah ditangkap secara berlebihan.

“Peluangnya ada dan masih ada waktu, misal mengenali kekayaan laut Indonesia,” sebutnya. Sebagian besar ekonomi Asia Tenggara ekspornya lebih rendah dibanding sumberdaya yang dimiliki misal di ekspor kerapu hidup, jenis kerapu merah, dan hibrid.

Kerapu merah hidup jauh lebih mahal. Nilai ekspor yang dideklarasikan untuk transportasi udara Indonesia sekitar 5000 USD per ton. Menurutnya harusnya di atas 20 ribu USD per ton. Eksportir dinilai mendeklarasikan jauh lebih rendah dibanding nilai ekspor, yang berpengaruh terhadap selisih besarnya potensi pajak eksportir untuk nilai ikan yang tinggi. Dibanding komoditas perikanan lain, volume kerapu lebih kecil, tapi nilainya lebih tinggi.

 

Tabel nilai ekspor ikan grouper yang dideklarasikan melalui transportasi udara. Sumber : vone Sadovy/University of Hongkong/IUCN Groupers and Wrasses Specialist Group

 

Sejumlah masalah lain yang disimpulkan adalah kapal penangkap tak terdeteksi dari dan ke Hongkong dan Indonesia membawa ikan hasil tangkapan alam yang tak boleh diekspor. “Mereka klaim nilai deklarasi yang kecil, banyak ikan yang tak tak terdeteksi,” yakin Yvone. Diperlukan upaya meningkatkan teknologi untuk melacak kapal yang melanggar dan melacak jalur udara.

Peluang meningkatkan dampak nilai ekonomi kerapu untuk nelayan lokal adalah dengan memberitahu harga ekspornya. Sementara ekspor ikan kecil harus dihilangkan.

 

Exit mobile version