Mongabay.co.id

Membaca Hubungan Masyarakat Bangka Belitung dengan Alam Melalui Sastra Lisan

Pasir timah yang ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Kepulauan Bangka Belitung yang didiami 1,431 juta penduduk merupakan masyarakat multietnis. Mereka menetap sejak berabad lalu di kepulauan yang kaya dengan sumber daya alam, seperti lada, ikan, karet dan timah. Sebagai masyarakat bahari, mereka hidup harmonis dengan alam. Hal ini terbaca melalui sastra lisan.

“Sastra lisan bukan hanya menunjukan keterbukaan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung dengan para pendatang, juga mencerminkan hubungan harmonis antarmanusia maupun dengan alam,” kata Dr. Ibrahim, Rektor Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, dalam sebuah perbincangan di ruang kerjanya, Pangkalpinang, awal April 2021.

Dijelaskan Ibrahim, ada 59 jenis sastra lisan yang masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat di kepulauan seluas 8.172.506 hektar ini.

Ke-59 jenis sastra tersebut terhimpun dalam 13 kelompok: puisi lama, cerita rakyat, mantra, bedaek dan bedalong, ungkapan tradisional, gurindam, begalor, neratep, syair, Dul Muluk, tradisi keagamaan, bebulak, hingga nyanyian rakyat.

“Semua sastra lisan mulai dari tradisi awal yang berusia ribuan tahun hingga yang dibawa para pendatang dalam ratusan tahun terakhir,” ujarnya.

Baca: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

 

Pasir timah yang ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tuhan, manusia, dan alam

Ibrahim bersama Sarman, Dwi Haryadi, Dwi Oktarina, Budi Utomo, Gunawan Saputra, dan Rendy, yang melakukan penelitian tentang sastra lisan pada 2015, dan menerbitkannya dalam sebuah laporan berjudul “Sastra Lisan Melayu Bangka Belitung” menjelaskan semua sastra lisan yang mereka kumpulkan dan kaji itu. Intinya, mencerminkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam atau lingkungan.

“Menariknya, setiap idiom atau kata yang digunakan hampir semuanya diambil dari flora, fauna, dan bentang alam,” kata Ibrahim.

Misalnya pantun terkait ajaran agama di bawah ini:

daun dadap kayu tenggeris
kayu gelam di tengah rimba
dalam kitab ada tertulis
yang haram jangan dicoba
bunga kenanga tumbuh subur
kembang melati tidak serupa
tidak berguna sombong takabur
rusak hati badan binasa

Contoh lainnya, yakni karmina [pengembangan pantun] yang menggambarkan keberagaman masyarakat:

Banyak udang, banyak garam
Banyak orang, banyak ragam

Dalam mantra atau mempunang, sastra lisan yang sudah berusia ratusan tahun di Kepulauan Bangka Belitung, digambarkan upaya membangun keharmonisan semua makhluk hidup, yang hidup damai pada setiap wilayah atau habitatnya.

Misalnya dalam mantra untuk mengembalikan makhluk halus ke wilayah hidupnya saat mengganggu manusia.

Ulit mayang diulit
Ulit dengan jala jemala
Yang darat balik ke darat
Yang laut balik ke laut

Mantra ini digunakan agar makhluk halus tidak mengganggu pesakit, dan segera kembali ke tempat asal masing-masing.

Baca: Dian Rossana Anggraini, Pelestari Anggrek di Bangka Belitung

 

Perkebunan lada merupakan perkebunan skala besar yang masih bertahan di Bangka dan Belitung saat ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harimau

Meskipun hingga saat ini tidak ditemukan atau adanya bukti keberadaan harimau, tapi pada masyarakat Kepulauan Bangka Belitung harimau tetap dikenal sebagai satwa yang hidup di hutan.

Hal ini tergambar dalam satra lisan berupa fabel, yang berjudul “Kaki Pelanduk Tidak Berbulu”. Fabel ini mengisahkan ketika satwa yang hidup di hutan mencari atau memilih pemimpinnya.

Yang menarik selain harimau, disebutkan pula anjing hutan, kucing hutan, rusa, kijang, pelanduk, macan, trenggiling, kelinci, dan berbagai jenis ular.

“Saya tidak tahu apakah nama-nama satwa itu merupakan pengetahuan dari luar, atau berdasarkan keberadaan keberagaman satwa yang hidup di hutan belantara di Bangka Belitung masa lalu,” kata Ibrahim.

Yang jelas, katanya, saat ini belum pernah ditemukan keberadaan harimau, anjing, dan kucing hutan. “Bisa saja ada di masa lalu kemudian punah,” katanya.

Berdasarkan catatan Fei Xin, anggota pasukan Cheng Ho, yang pernah mampir ke Pulau Belitung pada 1413 Masehi, dijelaskan bahwa masyarakat memperdagangkan macan tutul, kulit rusa dan beruang, sebagaimana dikutip dari Pos Belitung. Sementara saat ini, macan tutul dan beruang tidak ada.

Saat ini satwa yang dikenal dari kepulauan ini adalah mentilin [Cephalopachus bancanus bancanus] atau tarsius Bangka yang statusnya Rentan [Vulnerable/VU] berdasarkan IUCN Red List.

Sementara kukang bangka [Nycticebus bancanus], trenggiling [Manis javanica], kijang [Muntiacus muntjak] dan binturong [Arctictis binturong], sulit ditemukan.

Baca juga: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Mentilin yang perlahan kehilangan habitat. Foto: Dok. Flora Fauna Bangka [F2B]

 

Menghormati hutan

Masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung sangat menghormati hutan. Mereka menggunakan sastra lisan yang disebut neratap melakukan tradisi terkait hutan.

Misalnya neratap saat masuk hutan. Tujuannya agar tidak diganggu para penghuni hutan, seperti terhindar dari gangguan satwa liar.

Contohnya: “Permisi Nek, Akek, cucuk nek liwat”; atau “Jangen cigak nek akek dengan penawi anek cucuk di sini”.

Neratap juga dilakukan ketika akan membuka ladang dan mendirikan rumah. Neratap membuka ladang dan mendirikan rumah disertai dengan ritual.

Contoh neratap membuka hutan:

Umang-umang si kumbang tenuk. 
Kumbang raje bedakek, raje bedepuk. 
Timang si dare, timang sedade.
Buyut tujuh rupa, si anak-anay tujuh beruang
serupa-rupa antu selibar dade. Ooooo....mawang beleh
muka, bueh kelumbei pucok bonglay perembeh cucek adam. 
Jauh-jauh.... Pindeh ke gunung mares....!

Sejak dulu sebagian masyarakat di Bangka Belitung menjaga lahannya [kebun dan hutan] dari aktivitas penambangan timah. Caranya membuat lahan [permukiman dan desa] tidak menghasilkan timah, sehingga orang tidak melakukan penambangan.

Penjagaan ini disebut sarat. Sarat dilakukan seorang dukun menggunakan sastra lisan berupa jampi-jampi atau mantra. Sarat juga menggunakan benda-benda seperti kembang, minyak wangi, makanan, serta benda-benda lainnya.

Bahkan, didapatkan cerita jika ada seseorang masuk ke satu wilayah yang sudah diberi sarat, tanpa minta izin dengan pemilik atau masyarakat, maka orang tersebut tidak dapat pergi atau terkurung di wilayah tersebut.

 

Kukang bangka [Nycticebus bancanus] yang berada di PPS Alobi, Kepualauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Krisis penutur

Mengapa pada saat ini banyak kebun dan hutan terbuka akibat penambangan timah rakyat atau tambang inkonvensional dan perkebunan monokultur?

Dijelaskan Ibrahim, meskipun sastra lisan tersebut masih ditemukan, tapi penuturnya mulai berkurang. “Krisis penutur yang akhirnya turut terhentinya pengetahuan lokal terkait alam tersebut,” katanya.

Dia pun berharap banyak generasi muda, khususnya di pedesaan, untuk meneruskan atau melestarikan sastra lisan ini.

“Sampai saat ini juga belum ada buku tentang berbagai sastra lisan Bangka Belitung. Seharusnya ada, sebagai pengetahuan masyarakat, khususnya generasi muda,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version