Mongabay.co.id

Hutan Mangrove Pesisir Utara Jawa Tengah Terancam Sampah Plastik

 

Peneliti Celine van Bijsterveldt dan timnya telah melakukan perjalanan ke hutan mangrove di pesisir utara Jawa Tengah untuk meneliti tentang upaya pemulihannya. Tetapi ketika para peneliti melihat sampah plastik berserakan di seluruh hutan rawa bakau, menjerat akar dan cabang-cabang yang menyelimuti, mereka malah terpaksa harus memeriksa kerusakan yang terjadi di pepohonan bakau itu.

“Jumlah plastik ini betul-betul gila. Kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja,” kata Celine, kandidat doktor di Universitas Utrecht dan Institut Penelitian Laut Kerajaan Belanda NIOZ, dan penulis utama makalah yang dimuat di Science of The Total Environment edisi Februari 2021.

Meskipun mangrove beradaptasi dengan sampah plastik, jumlah sampah yang terlalu banyak dapat membunuh ekosistem mangrove. Para ilmuwan khawatir bahwa akumulasi yang terus menerus dapat membahayakan hutan mangrove ini serta komunitas ekologi dan manusia yang bergantung padanya. Kekhawatiran ini terutama ditujukan pada Indonesia, rumah bagi hampir seperempat ekosistem mangrove dunia dan sampah plastik yang sangat akut serta perusakan ekosistem bakau.

Celine dan rekan-rekannya menganalisis prevalensi dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup bakau di Kota Demak, Jawa Tengah. Selain observasi lapangan, mereka melakukan percobaan enam minggu untuk menentukan bagaimana tutupan plastik mempengaruhi pertumbuhan akar pohon, tingkat stres dan kelangsungan hidup hutan bakau.

baca : Harapan Baru Rehabilitasi Mangrove di Lokasi Kritis

 

Sampah plastik yang terdapat di kawasan mangrove di Demak, Jawa Tengah. Foto : Celine van Bijsterveldt

 

Para peneliti menghitung rata-rata 27 buah plastik per meter persegi, sebagian besar dari daerah setempat, menutup hingga 50% dari area bawah hutan mangrove. Sampel inti tanah menunjukkan bahwa plastik sering terjebak di lapisan sedimen atas, menyebabkan kondisi oksigen menjadi rendah yang berkepanjangan.

Seperti yang sudah diprediksi, pohon yang terkubur total dalam plastik berakhir mati lemas, terutama di mana lapisan plastik dan sedimen terjadi di atas akar. Di sisi lain, mangrove yang tertutup di sebagian area ‘relatif tahan banting’ dan masih menyimpan sebagian besar daunnya meski menderita dan stres, kata Celine.

“Sungguh menakjubkan bagaimana mereka masih bisa bertahan dari adanya sejumlah plastik,” katanya, menekankan bahwa mereka mulai menumbuhkan akar yang cacat dalam beradaptasi.

Berlimpahnya sampah plastik yang diteliti ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa hutan mangrove di Asia Tenggara terdapat plastik dalam jumlah yang signifikan.

Ekosistem mangrove ini telah lama disebut-sebut sebagai filter yang mengurangi polusi darat ke laut, uji coba lapangan dan penemuan dimana bakau menjadi mati dan lemas.

Celine menekankan bahwa kondisi ini mengakibatkan ‘ada harga yang perlu dibayar’, yaitu meningkatkan kemungkinan hutan mangrove mati karena penumpukan plastik.

baca juga : Kembali Lebatnya Mangrove Karangsong ditengah Ancaman Krisis Pesisir Utara Jawa

 

Sampah plastik yang terdapat di lantai hutan kawasan mangrove di Demak, Jawa Tengah. Foto : Celine van Bijsterveldt

  

Konsekuensi Sampah Plastik

Menurut para ahli, sampah plastik menambah tekanan yang lebih besar dan lebih berat dari yang dihadapi oleh hutan rawa mangrove Indonesia akibat erosi, penurunan tanah, perubahan iklim, budidaya dan pembangunan.

Namun menurut Peter Harris, Direktur Pelaksana GRID-Arendal –organisasi nirlaba Norwegia yang bekerja untuk melawan plastik laut–, ekosistem mangrove akan berjuang bahkan jauh sebelum pohon mangrove menunjukkan tanda-tanda stres. “Mangrove dapat dibilang cukup tangguh dibandingkan spesies lain. Jadi mereka akan menjadi yang terakhir yang bertahan,” kata Peter.

Meningkatnya sampah plastik di habitat bakau dapat mempengaruhi populasi ikan yang hidup dan berkembang biak pada ekosistem mangrove, karena mereka sulit makan atau terjebak dalam sampah plastik.

Penduduk setempat memisahkan sebagian dari rawa untuk mengendalikan penyebaran sampah, lanjut Celine, tetapi hal ini dapat semakin memperumit masalah ikan dengan memotongnya dari sumber daya. Dan akumulasi plastik dapat membahayakan moluska, kepiting, dan organisme penghuni tanah lainnya yang membentuk fondasi jaring makanan pesisir, yang dapat memicu dampak bagi hewan yang lebih besar dalam rantai makanan penghuni hutan mangrove.

Plastik yang terjebak pada mesin kapal juga menghambat produktivitas penangkapan ikan, tambah Celine. Menurunnya hutan bakau akibat sampah plastik akan mengganggu kesejahteraan penduduk desa yang bergantung pada perikanan, produksi kayu, ekowisata, dan perlindungan pesisir yang dipertahankan oleh ekosistem ini.

Menurunnya jumlah ikan air dangkal di hutan mangrove akan memaksa nelayan skala kecil untuk mencari ikan di laut terbuka dan menimbulkan risiko dan juga biaya bahan bakar yang lebih besar, kata Novi Susetyo Adi, peneliti ekologi spasial laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia.

Terlebih lagi, karena ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai penyerap karbon utama, sehingga kehilangannya akan mempengaruhi upaya mitigasi iklim.

“Kami akan kehilangan semua jasa lingkungan dari ekosistem itu jika kehilangan mangrove,” kata Novi.

Meski begitu, katanya, studi Celine, dkk itu menyimpulkan bahwa kerusakan hutan mangrove akibat tumpukan sampah plastik mungkin tidak separah dampak kerusakan pesisir secara keseluruhan. Novi berpendapat bahwa karena hutan mangrove terletak di zona pasang surut yang cepat berubah, keberadaan plastik bergeser seiring dengan pasang surut, arus dan musim.

menarik dibaca : Kisah Tuna Netra Menanam Mangrove

 

Ilustrasi. Dua orang nelayan mencari cacing laut diantara sampah plastik yang tersangkut salah satu jenis tanaman Mangrove di pesisir Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Visi untuk solusi yang holistic

 Menurut Novi, deforestasi telah merenggut 75% hutan mangrove bersejarah di Jawa, tetapi berkat pemahaman yang lebih baik tentang manfaat ekologis hutan mangrove, proyek penanaman kembali dan rehabilitasi yang efektif kini mulai mengakar di Indonesia, dipimpin oleh masyarakat lokal, pemerintah, swasta, dan organisasi nirlaba.

Namun, inisiasi ini mengabaikan tantangan sebenarnya yang berasal dari sampah plastik, “Seharusnya penting untuk mendapatkan lebih banyak perhatian,” kata Celine. Karena ini merupakan hasil dari kesalahan dari berbagai sisi, katanya. Menyelesaikan masalah tidak hanya bergantung pada peningkatan pengelolaan lokal dan nasional, tetapi juga berarti menangani pemanfaatan plastik dari hulu.

Empat dari perlima sampah negara dikarenakan salah penanganan, katanya. Penduduk desa, yang saat ini membuang sampah melalui pembakaran atau pembuangan saluran air, membutuhkan pendidikan dan infrastruktur yang lebih baik untuk pengelolaan sampah. Pemerintah harus menyediakan program pengumpulan, pengolahan dan daur ulang sampah pedesaan dan kota.

Mengingat kurangnya kesadaran masyarakat tentang implikasi yang lebih luas dari membuang plastik, Celine berkata, “akan sangat membantu jika mereka, anak-anak yang baru mulai bersekolah dapat diajarkan bahwa bahan nonbiodegradable semakin mencemari lingkungan dari waktu ke waktu.”

Ia menambahkan, “Di sebuah negara di mana shampo pun tersedia dalam kemasan plastik sekali pakai, undang-undang harus membatasi konsumsi yang meningkat, seperti yang sudah dilarang di Bali dan Jakarta.” Dia pun merekomendasikan untuk mengadopsi alternatif pengemasan ramah lingkungan tradisional, seperti daun pisang.

perlu dibaca : Sampah Plastik Bertebaran di Laut, Teknologi Pirolisis Terus Dikembangkan

 

Ilustrasi. Petugas gabungan dari TNI dan Pemprov DKI Jakarta membersihkan sampah di kawasan Hutan Mangrove, Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (19/3/2018). Foto: Dadang/beritajakarta.id

 

Di dalam penelitiannya, Peter Harris, dkk (2021) menemukan bahwa lebih dari setengah hutan mangrove di planet ini berada dalam jarak 20 kilometer (12 mil) dari muara sungai yang melepaskan lebih dari satu ton plastik setiap tahun. “Mereka cukup terpapar oleh masalah polusi ini,” katanya.

Tapi yang paling ekstrem yaitu di Indonesia. Mengingat pegunungannya yang tinggi, hujan lebat, daerah tangkapan air yang pendek, serta gelombang rendah dan energi pasang surut, sejumlah besar plastik mengalir ke pantai dan berkumpul di hutan mangrove.

“Proses alami ini sepertinya sedang bergerak melawan pemerintah Indonesia,” kata Peter.

Berhubung plastik adalah barang yang sama yang berasal dari daerah hulu dan membanjiri pemukiman pesisir, Novi menghimbau kerja sama antara pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan swasta lintas DAS. “Kita perlu menangani masalah ini menggunakan pendekatan yang terintegrasi,” katanya.

 

Rujukan :

Van Bijsterveldt, C. E. J., Van Wesenbeeck, B. K., Ramadhani, S., Raven, O. V., Van Gool, F. E., Pribadi, R., & Bouma, T. J. (2021). Does plastic waste kill mangroves? A field experiment to assess the impact of macro plastics on mangrove growth, stress response and survival. Science of The Total Environment756, 143826. doi:10.1016/j.scitotenv.2020.143826

Harris, P. T., Westerveld, L., Nyberg, B., Maes, T., Macmillan-Lawler, M., & Appelquist, L. R. (2021). Exposure of coastal environments to river-sourced plastic pollution. Science of The Total Environment769, 145222. doi:10.1016/j.scitotenv.2021.145222

Smith, S. D. A. (2012). Marine debris: A proximate threat to marine sustainability in bootless Bay, Papua New Guinea. Marine Pollution Bulletin64(9), 1880-1883. doi:10.1016/j.marpolbul.2012.06.013

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Java’s mangroves pay a high price for stopping plastic flowing out to sea.  Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version