Mongabay.co.id

Target Netral Karbon Lemah, Indonesia Bisa Lebih Ambisius, Caranya?

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

 

 

 

 

Sejumlah lembaga kajian dan organisasi lingkungan mendesak Pemerintah Indonesia lebih ambisius memenuhi amanat Perjanjian Paris. Dalam diskusi daring belum lama ini, Institute for Essential Services Reform (IESR), Yayasan Madani Berkelanjutan, Local Government for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia), Walhi dan Thamrin School sepakat, target Indonesia mencapai netral karbon (net zero emission), terlalu lemah dan kurang ambisius.

Dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050) yang disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menargetkan netral karbon pada 2070.

“Artinya Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris,” kata Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Nasional.

Dia mengatakan, keterlambatan ini akan merugikan banyak negara berkembang, terutama bila perdagangan karbon dan carbon capture yang dipilih jadi salah satu cara mencapai net zero.

Alih-alih tranformasi model bisnis struktural, kata Yuyun, negara maju justru punya banyak celah untuk mengelak pengurangan emisi yang ambisius, seperti offset perdagangan karbon ke negara berkembang.

“Jika ini dipilih, negara berkembang akan mendapat beban ganda, yakni beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi di negara masing-masing,” katanya.

Lebih lanjut, dokumen target dekarbonisasi Indonesia memaparkan lima sektor penyumbang emisi yang jadi fokus nationally determined contribution (NDC). Masalahnya, hanya sektor kehutanan dan lahan dan lain yang akan mencapai net sink pada 2030. Sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi pada 2030.

 

Baca juga: Indonesia dan Wacana Netral Karbon

PLTU Suralaya I atau dikenal PLTU I Banten dibangun sejak 1985. Kini, sudah ada delapan PLTU Suralaya dan pemerintah hendak menambah dua PLTU baru, unit IX dan X. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Indonesia bisa, caranya?

Untuk itu, sejumlah lembaga ini sepakat kalau pemerintah perlu menetapkan target lebih ambisius di sektor energi dan kehutanan.

Analisa IESR menunjukkan, Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2050, antara lain dengan menekan emisi gas rumah kaca di sektor pembangkit listrik, transportasi, dan industri yang berkontribusi total 406,8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi gas rumah kaca sektor energi tahun 2015.

Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi IESR, mengatakan, Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan menjadi 69% pada 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan minimal 24 gigawatt pada 2025. Juga menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025, serta mempensiunkan PLTGU lebih awal.

Deon memaparkan, berbagai pemodelan global untuk mencapai target Perjanjian Paris menunjukkan upaya lebih ambisius bisa membuat setidaknya bauran batubara pada pembangkit berada di sekitar 5-10% pada 2030.

Hasil lain menyatakan, setidaknya bauran bahan bakar bersih pada transportasi mencapai 20-25% pada 2030 dari total permintaan energi sektor ini.

Namun dokumen LTS-LCCR 2050 menargetkan, dengan skenario ambisius berdasarkan Perjanjian Paris, bauran energi primer akan diisi batubara 34%, gas 25%, minyak 8% dan energi terbarukan hanya 33% pada 2050.

Kalau dibandingkan dengan target NDC saat ini kenaikan target energi terbarukan hanya 10% dalam 25 tahun.

“Padahal. transformasi sistem energi ke energi bersih dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lebih baik,” kata Deon.

Tranformasi ini, katanya, bisa mulai dengan kebijakan lebih agresif di sektor ketenagalistrikan, seperti akselerasi pembangunan energi terbarukan 23% pada 2025, moratorium pembangunan PLTU batubara baru pada 2025, atau lebih awal.

Selain itu, katanya, bisa dengan merealisasikan rencana penggantian pembangkit fosil 13,5 gigawatt dengan pembangkit energi terbarukan sebelum 2025 dan menyusun rencana phase out PLTU batubara.

 

Baca juga : Laporan Sebut Jutaan Hektar Hutan Primer Dunia Hilang pada 2020, Bagaimana Indonesia?

Sebagai daerah terpencil, Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap menggunakan pembangkit listrik surya dan bayu untuk memenuhi kebutuhan energi listrik sehari-hari. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Di sektor transportasi IESR menegaskan, perlu akselerasi penetrasi kendaraan listrik baik motor maupun mobil penumpang, dan penyusunan strategi jangka panjang untuk dekarbonisasi sektor kendaraan darat, laut dan udara.

Sektor industri, katanya, juga harus menyusun strategi dekarbonisasi per jenis industri, dan kombinasi dari efisiensi energi, material dan elektrifikasi. Gedung-gedung juga bisa kombinasi dari efisiensi dan elektrifikasi.

“Secara teknis dan ekonomis, Indonesia seharusnya mampu mendekarbonisasi sistem energi sebelum 2060 bahkan 2050. Yang diperlukan Indonesia adalah dukungan sosial politik yang menyeluruh,” kata Deon.

Sementara dalam dokumen sama, di sektor kehutanan, skenario paling ambisius menargetkan laju deforestasi hutan alam pada 2010-2030 sebesar 241.000 hektar per tahun dan 2031-2050 sebesar 99.000 hektar per tahun.

Dengan begitu berarti, Indonesia masih membenarkan konversi hutan alam sekitar 7 juta hektar atau lebih dari 12 kali Pulau Bali pada periode 2010-2050.

Indonesia, katanya, sudah kehilangan sekitar 4,9 juta hektar hutan alam pada 2010-2020, kuota deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya sekitar 2 juta hektar atau 71.000 hektar per tahun.

“Pemerintah Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi hutan alam selama empat tahun berturut-turut, ini belum cukup,” kata Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai netral karbon sebelum 2070, Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam updated NDC.

“Bahkan, hingga nol karena sisa kuota deforestasi hingga 2030 bisa dibilang sudah kita habiskan di dekade lalu,” katanya.

Guna memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru hingga meliputi hutan alam tersisa, kata Anggi, akan membantu Indonesia menekan deforestasi.

Perhitungan awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektar hutan alam di luar konsesi, daerah alokasi perhutanan sosial, dan peta indikatif penghentian pemberian izin baru yang harus segera dilindungi dari pemberian izin baru agar tak terdeforestasi.

Selain itu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada dalam izin dan konsesi akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan.

Hal lain yang dapat membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030, katanya, dengan melindungi ekosistem gambut menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut, dan memperluas restorasi gambut ke area terbakar hebat pada 2019.

Catatan Madani, hampir setengah juta hektar atau 498.500 hektar ekosistem gambut terbakar 2019 belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020. Karena itu, seluruh ekosistem gambut terbakar pada 2019, baik dalam maupun luar konsesi, harus masuk dalam target restorasi gambut 2021-2024 agar kebakaran di area itu tidak berulang.

 

Baca juga : Catatan Akhir Tahun: Jalan Terjal Transisi ke Energi Terbarukan

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng pada tahun 2012. Foto: Greenpeace

 

Peran pemerintah daerah

Upaya lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus tergambar dalam LTC-LCCR 2050, terutama di tingkat daerah. Makin banyak pemerintah daerah berkomitmen kuat mengimplementasi pembangunan daerah yang memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan serta menuju pembangunan inklusif dan berkelanjutan.

Berdasarkan laporan UN-Habitat, 70% emisi gas rumah kaca berasal dari aktivitas perkotaan. Data ini menjadikan pemerintah daerah sebagai global hotspot dari perubahan iklim.

Meskipun demikian, pemerintah daerah berpeluang besar menjadi pemimpin dalam membatasi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang baik ini dengan menempatkan pemerintah daerah sebagai jantung strategi nasional dalam mendukung komitmen nasional yang tertuang dalam NDC dan menuju netral karbon.

“Untuk itu, pemerintah pusat perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada pemerintah daerah dengan menyiapkan perangkat pendukung dan kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan iklim,” kata Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia.

ICLEI Indonesia merekomendasikan, penyusunan perangkat pendukung secara sistematis, terstruktur selalu diperbarui dan mudah dimengerti oleh staf pemerintah daerah dari berbagai latar belakang pendidikan.

Menurut Ari, dukungan ini akan menjawab beberapa tantangan yang pemerintah daerah hadapi seperti kapasitas sumber daya manusia lemah dalam penghitungan emisi gas rumah kaca,. Juga pemantauan tingkat adaptasi dan kerentanan serta kelembagaan yang menangani perubahan iklim secara umum masih bersifat ad hoc. Selain itu, juga menjadi panduan dalam menerjemahkan strategi, rencana, program dan kegiatan yang bersifat transformatif, serta masih terbatasnya pemilihan teknologi hijau yang tepat guna.

“Belum ada indikator seragam melacak anggaran program dan kegiatan yang sedang dijalankan serta kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan seperti hibah atau pinjaman dari pihak ketiga,” katanya.

 

 

****

Foto utama: Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

Exit mobile version