Mongabay.co.id

Warga Pesisir Kebumen Menuai Peruntungan dari Usaha Garam

 

Sebelum tahun 2018, masyarakat pesisir Kebumen, Jawa Tengah biasanya hanya memiliki dua profesi yakni nelayan dan petani. Meski berada di kawasan pantai selatan wilayah Kebumen, tidak semuanya menjadi nelayan. Tetapi, menginjak tahun 2018 sejumlah warga di Desa Mirit Petikusan, Kecamatan Mirit dilatih menjadi petambak garam.

Pelatihan diinisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, dilatih oleh Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan Tegal. Berbekal dari pelatihan tersebut, warga kemudian mempraktikkan ilmunya. Ternyata, mereka mampu membuat dan panen garam . Dari sinilah, kemudian produksi garam kini menjadi salah satu gantungan harapan pendapatan di pesisir Kebumen.

Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga sempat menengok salah satu usaha tambak garam kelompok Cirat Segoro Renges (CSR) di Desa Tlogopragoto, Kecamatan Mirit. Ketua Kelompok Usaha Garam Rakyat (Kugar) CSR Budi Santoso mengatakan bahwa proses pembuatan garam dengan sistem tunnel. Jadi, air laut air dialirkan melalui selang panjang menuju ke tunnel di pesisir pantai. “Tunnel adalah tempat penampungan air laut yang terdiri dari papan dan membran. Bagian atapnya ditutup plastik dengan menggunakan rangka bambu melengkung,”kata Budi pada Kamis (22/4/2021).

Ukuran satu tunnel ada 10 x 4 meter dan membutuhkan setidaknya 6 tunnel. Tunnel yang terakhir merupakan tempat pengkristalan garam. Setelah itu, prosesnya belum rampung, karena masih ada pengolahan lanjutan. Dari garam hasil pengendapan itulah, nantinya bisa dipilih mau dijadikan garam konsumsi atau garam spa. “Kami akan memproses sesuai dengan permintaan pasar. Memang, jika garam konsumsi, hampir setiap saat ada permintaan. Namun, kalau garam spa tidak setiap saat, apalagi pada masa pandemi seperti sekarang,”ungkap Budi.

baca : Upaya Garam Nasional Keluar dari Kesulitan Produksi

 

Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemkab Kebumen Masagus Herunoto melakukan pengecekan produksi garam. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Budi mengungkapkan sejarah pembuatan garam mulai pada 2018 di Mirit, kemudian terus berkembang ke daerah lainnya. “Kalau kami memulai sekitar dua tahun lalu atau pada 2019. Pada awalnya, anggota kelompok semuanya adalah petani sawah. Meski berada di pesisir, kami bukanlah nelayan. Tetapi, karena ternyata ada yang dimanfaatkan dari laut selain hasil tangkapan, kami mulai mencobanya,”ujarnya.

Langkah pendirian kelompok garam diikuti oleh 13 orang, semuanya warga Desa Tlogopragoto. Masing-masing warga menyisihkan iuran, nilainya waktu tahun 2019 Rp1,85 juta. Itulah yang menjadi modal untuk pembuatan tunnel garam. “Tentu saja, ketika awal melangkah belum terlalu mantap. Tetapi, jika melihat kelompok di Mirit Petikusan, maka kami menguatkan kepada diri masing-masing untuk siap melangkah. Setelah pembuatan tunnel rampung, maka langsung praktik. Ternyata, hasilnya bagus, garamnya putih bersih. Padahal, baru awal panen,”ungkap Budi.

Menurutnya, ketika awal panen, hasilnya mencapai 3,5 kuintal. Panenan tergantung musim, karena pengeringan membutuhkan sinar matahari. Kalau musim penghujan, maka panen garam hanya dua kali. Sedangkan pada saat musim kemarau, maka lebih sering panen, dalam dua bulan bisa lima kali panen. “Panenan tersebut diperoleh dari tunnel dengan ukuran 10 x 4 meter,”jelas Budi.

Saat sekarang, tunnel kepunyaan Kugar CSR mulai perluas. Kini ukurannya ,enjadi 21 x 4 meter dengan areal pesisir yang digunakan sekitar 0,5 hektare. Dengan tunnel yang dimilikinya, maka panenan diperkirakan akan mencapai 10 ton setiap bulannya.

“Setelah dipanen, maka kelompok harus menghitung kebutuhan pasar, sehingga proses lanjutan disesuaikan dengan kebutuhan. Jika dijadikan garam konsumsi, maka dilakukan proses lanjutan berupa pengeringan, penggilingan dan dihaluskan. Kemudian juga ditambah dengan yodium. Dalam proses pengeringan tersebut, garam hasil panenan akan mengalami penyusutan kisaran 20% hingga 30%,”jelasnya.

baca juga : Perjuangan Garam Rakyat untuk Bersaing dengan Garam Industri

 

Pemrosesan garam dengan menggunakan sistem tunnel. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam proses lanjutan tersebut, tidak dilakukan di sekitar tunnel-tunnel di pesisir. Sebab, kata Budi, kelompoknya belum mempunyai mesin penhalus garam, sehingga masih menumpang di kelompok lain di bawah satu koperasi bersama yaitu Koperasi Mutiara Samudera Selatan. “Dengan berbagai proses yang dilakukan, maka akan menghasilkan produk yang dipasarkan melalui koperasi maupun lewat kelompok langsung. Garam yang diproduksi berkualitas dan layak dikonsumsi karena memiliki kandungan NaCl 97,73%,”kata Budi.

Sampai sekarang, ada dua ukuran kemasan garam yang diproduksi oleh para petambak garam di pesisir Kebumen yakni 200 gram dan 250 gram dengan harga masing-masing Rp2.000 dan Rp2.500. Pemasaran dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya adalah langsung oleh masing-masing kelompok atau melalui koperasi. “Saat ini, kami terus mengenalkan produk garam kami yang berkualitas kepada masyarakat khususnya di Kebumen. Pasarnya sebetulnya masih sangat terbuka. Kalau dari perhitungan Pemkab Kebumen, pasar garam di Kebumen mencapai 4 ribu ton lebih setiap tahunnya,”jelasnya.

Produk kedua adalah garam spa yang prosesnya lebih panjang jika dibandngkan dengan konsumsi. Pengeringan garam spa membutuhkan waktu 1-2 minggu. Garam spa dipakai untuk terapi dan berendam. Dengan proses yang lebih panjang, maka harganya juga cukup tinggi berkisar antara Rp30 ribu hingga Rp40 ribu per kg. “Kalau ini, pasarnya terbuka di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Lampung. Karena masa pandemi, maka tempat-tempat spa sangat menurun permintaannya. Paling hanya dari hotel-hotel,”ungkap Budi.

Sementara Ketua Koperasi Usaha Garam Rakyat Mutiara Samudera Selatan, Sisnoadi, mengatakan bahwa sampai sekarang ada 13 kelompok yang tergabung dalam koperasi. “Produksi garam dari kelompok-kelompok tersebut kemudian dikemas dan dipasarkan oleh koperasi. Brand-nya disamakan yakni Mutiara Samudra Selatan. Jumlah yang telah dipasarkan belum terlalu banyak, baru sekitar 6 kuintal per bulan. Kendalanya memang pada pemasaran, karena belum banyak masyarakat yang mengenal,”katanya

Promosi, kata Sisnoadi, menjadi pekerjaan rumah yang harus terus digenjot. Pasalnya, produksi dan kualitasnya sudah bagus dan optimis tidak kalah dengan produk lain, apalagi impor sekalipun. Yang dibutuhkan hanya promosi dan edukasi, terutama mencintai produk dalam negeri. Produk garam itu juga telah memiliki SNI dan halal serta resmi mendapat izin dari BPOM. “Produk berkualitas, izin lengkap. Tinggal pemasaran yang harus terus ditingkatkan,”tegas dia.

perlu dibaca : Begini Perjuangan Meningkatkan Kesejahteraan Petambak Garam Skala Kecil

 

Pekerja tengah melihat di tunnel garam. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Garam Piramid

Selain garam konsumsi dan spa, kini para petambak garam di pesisir Kebumen berkeinginan untuk memproduksi garam piramid atau piramida. Hal itu sempat disampaikan oleh Ketua Kugar CSR Budi Santoso pada saat Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ketika melakukan kunjungan kerja pada Jumat (12/3) silam. “Pada saat bertemu dengan Pak Menteri, saya telah menyampaikan keinginan kelompok untuk bisa memproduksi garam piramid. Namun demikian, untuk memproduksi garam tersebut membutuhkan infrastruktur tambahan yaitu rumah kaca,”ujar Budi.

Budi menyampaikan bahwa kelompok memang berencana membuat garam piramid karena tergiur harga yang menjanjikan. Saat sekarang, harga garam piramida tersebut mencapai Rp250 ribu per kg. “Saya sudah sampaikan ke Pak Menteri. Waktu itu, Pak Menteri telah menjanjikan rumah kaca untuk satu blok terlebih dahulu sebagai percontohan. Kami memang telah mencoba, namun tetap belum berhasil secara optimal,”katanya.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinlutkan Kebumen Masagus Herunoto mengakui bahwa petambak memang sudah mulai mencoba produksi garam piramid, tetapi tetap belum optimal. Salah satu faktornya adalah proses pemanasannya belum maksimal. “Tahun ini, sudah ada rencana untuk pembuatan rumah kaca, sehingga pemanasannya akan lebih baik. Rumah kaca merupakan infrastruktur yang harus ada ketika membuat garam piramid, karena membutuhkan panas optimal,”ujar Herunoto.

Meski belum optimal memproduksi garam piramid, tetapi para petambak garam di Kebumen tetap masih konsisten menghasilkan garam konsumsi maupun garam spa. “Hingga kini, total produksi mencapai 150 ton dalam setahun. Produksi tersebut dari 21 kelompok tambak garam yang tersebar di lima kecamatan yakni Kecamatan Mirit, Ambal, Klirong, Petanahan dan Puring,”katanya.

 

Pengecekan garam yang telah mengkristal. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Selain akan membantu dengan membangun satu blok rumah kaca sebagai model, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mendorong masyarakat dan pemda memasarkan garam yang dihasilkan secara online. Sejauh ini memang sudah berjalan, namun belum maksimal.

Penjualan garam secara online ini menurut Menteri Trenggono, dapat mempermudah penjual dan pembeli sehingga diharapkan penyerapan terhadap garam yang diproduksi bisa lebih maksimal. Dengan demikian penghasilan petambak garam ikut meningkat.

“Penjualan lewat online itu sangat bagus. Kita harus dorong agar tidak ada tengkulak,” ujar Trenggono saat mengunjungi kampung garam, Jumat (12/3/2021).

Kebumen yang memiliki garis pantai cukup panjang yakni 57,5 kilometer (km) mempunyai potensi besar. Tak hanya hasil tangkapan laut seperti ikan dan udang, tetapi juga potensi garam yang kini dikembangkan. Hal itu dibuktikan dengan kemunculan kampung-kampung garam di pesisir selatan.

 

Exit mobile version