Mongabay.co.id

Bagaimana agar Pembangunan Tak Perparah Krisis Iklim?

Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

 

 

 

Melati Wijsen, masih ingat hampir delapan tahun lalu bersama Isabel Wijsen, adiknya, memulai Bye Bye Plastic Bag, sebuah gerakan setop penggunaan kantong plastik di Bali. Saat itu, Melati baru 12 tahun. Isabel 10 tahun.

Mulanya mereka tak tahu apa yang harus dilakukan untuk memulai gerakan ini. Mereka belum begitu lihai menggunakan sosial media untuk misi ini.

Kini, gerakan ini meluas menjadi apa yang mereka sebut Youthopia, sebuah upaya edukasi bagi anak muda untuk, tak hanya henti menggunakan kantong plastik, namun apa yang bisa dilakukan guna mencapai 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) .

Melati sadar gerakan menyelamatkan bumi dari krisis iklim tak bisa hanya fokus pada penghentian penggunaan kantong plastik. Ia juga bukan gerakan yang akan berhasil dalam satu malam.

“Di masa depan, bayangkan saya berdiri di pantai, dengan laut tanpa plastik, hanya nelayan tradisional yang menangkap ikan, menghirup udara bersih, melihat sawah, orang-orang berolahraga dan gaya hidup sehat lain. Ini mungkin terjadi dengan behaviour and systemic change,” kata Melati dalam Zero Net Summit beberapa waktu lalu.

Melati hanyalah satu dari jutaan anak muda Indonesia yang sadar kondisi krisis iklim saat ini dan mereka rasakan kelak. Survei Yayasan Bersihkan Indonesia dan Change.org menunjukkan, 88% dari 8.000 responden anak muda Indonesia menyatakan krisis iklim sama bahkan lebih urgen dari pandemi COVID-19.

Generasi Z dan milenial masing-masing 23% dan 25% dari jumlah penduduk saat ini. Pada 2045, yang digadang-gadang sebagai tahun emas Indonesia, mereka adalah generasi yang dalam proses membangun keluarga.

“Betapa tidak adilnya kalau saat ini kita tak mengambil tindakan tepat untuk menggagalkan kenaikan suhu rata-rata bumi di bawah dua derajat celcius,” kata Adhitiyani Putri, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah.

Berbagai kajian menunjukkan, dampak krisis iklim tak menunggu berpuluh tahun mendatang seperti target net zero emission yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2070.

Mengutip beberapa kajian terkini, Ditri mengatakan, antara tahun 2000-2030 kenaikan permukaan air laut akan berdampak lebih dari 23 juta jiwa yang tinggal di pesisir Indonesia, terutama karena abrasi dan banjir rob.

“Artinya, sudah ada rumah terendam, abrasi yang menghilangkan lahan pertanian, tempat tinggal dibarengi dengan insiden cuaca ekstrem,” katanya.

 

Asap yang mengepul dari corong PLTU itu menebarkan beragam zat berbahaya di udara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, lebih 90% bencana pada 2020 merupakan bencana hidrometereologis. Selain banjir di pesisir, juga banjir di daerah aliran sungai.

Di beberapa daerah dengan ekosistem terdegradasi seperti Kalimantan dan beberapa daerah di Sumatera, katanya, kenaikan suhu lebih tinggi dibanding daerah lain.

Pada 2070-2100, diprediksi Indonesia mengalami gelombang panas ekstrem. Sedihnya, kata Ditri, generasi muda yang akan merasakan dampak ini kelak tak dilibatkan dalam berbagai proses pengambilan kebijakan.

“Hanya sebagai simbol.”

Hingga kini, dunia sudah menghasilkan 51 miliar ton emisi gas rumah kaca. Kalau hanya bertahan dengan bussines as usual (BAU), pada 2050, 30 tahun dari sekarang, suhu bumi bisa sampai 1,5-3 derajat celcius. Pada 2100, suhu bisa 4-8 derajat celcius.

Kondisi ini, katanya, praktis bisa dirasakan generasi yang berusia lima tahun ke bawah.

“Mungkin itu yang dimaksud neraka di dunia,” kata Emil Salim, ekonom dan pakar lingkungan senior pada kesempatan sama.

Menurut dia, target net zero emission pada 2050 merupakan kewajiban, bahkan harus negative emission. Artinya, bukan saja tak boleh naik, namun emisi harus turun.

Apa yang harus dilakukan? Catatan Bappenas, energi dan lahan jadi dua sektor terbanyak mengemisi, diikuti limbah.

Dia bilang, harus ada grand strategy pengalihan dari energi fosil ke terbarukan dan ekonomi hijau dari sekarang. Mengubah cara produksi jadi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Untuk strategi ini, Associate Director Climate Policy Initiatives, Tiza Mafira dan Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Tri Mumpuni sepakat perlu ada desentralisasi pembangunan energi ke daerah-daerah termasuk pulau-pulau terpencil di Indonesia.

Saat ini, katanya, risiko terbesar bagi emisi sektor energi juga berpengaruh besar pada ekonomi negara adalah sistem take or pay pada PLTU batubara. Selain skala besar, PLTU batubara pakai sistem pembayaran dengan PLN wajib membeli semua listrik produksi PLTU terpakai atau tidak.

Padahal, katanya, berdasarkan pengalaman IBEKA, masyarakat mampu menyediakan sendiri listrik dari energi terbarukan yang kompetitif dan minim emisi. Ia juga dalam skala kecil sesuai kebutuhan masyarakat setempat.

“Berikanlah masyarakat kesempatan demokratisasi energi,” kata Tri.

 

Warga masih mencari korban secara manual di bekas reruntuhan banjir bandang di Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT. Foto : Kor Sakeng/Posko Barakat Lembata

 

Senada dengan Tri, Tiza bilang, saatnya elektrifikasi Indonesia dari energi murah, sehat, terdesentralisasi, mampu menjangkau pulau terkecil dan terbarukan.

Menurut dia, ini bisa dilakukan karena peluang pendanaan investasi hijau naik 20% per tahun. Sekitar 71% investasi dunia saat ini, untuk energi terbarukan. Pendanaan iklim dari berbagai institusi keuangan juga naik 51% setiap tahun. Belanja rumah tangga untuk aksi iklim global juga meningkat 23% setiap tahun.

“Kita terus mendengar lembaga dan negara yang tak mau lagi investasi atau memberikan pinjaman untuk energi fosil, bahkan divestasi,” katanya.

Kalau pemerintah ingin dana-dana ini masuk ke Indonesia harus ada kebijakan investasi hijau dan green job. Dengan kata lain, Indonesia harus mempensiun dinikan PLTU sambil menangkap peluang baru energi terbarukan.

Hasil kajian Indef untuk Bappenas, alokasi pendanaan pemerintah untuk low carbon development dalam tiga tahun terakhir, cukup minim, hanya Rp80-Rp90 triliun. Alokasi terbesar untuk transportasi, energi terbarukan, disusul hutan dan lahan.

Padahal, di dalam national determined contribution (NDC), sektor hutan dan lahan mendapat beban paling besar untuk menurunkan emisi.

Sebetulnya, dalam RPJMN 2020-2024, Bappenas telah menentukan empat sektor prioritas pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yakni kelautan dan pesisir, air, pertanian dan kesehatan.

Suharso Monoarfa, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam forum sama mengatakan, berdasarkan potensi dampak perubahan iklim ada 514 kota kabupaten lokasi prioritas di seluruh Indonesia.

“Indonesia diperkirakan tak akan pernah bisa kembali ke keadaan ekonomi sebelum pandemi,” katanya.

Karena itu, Indonesia harus tekankan ekonomi hijau dan rendah karbon agar bisa melanjutkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mendorong Indonesia keluar dari negara middle income trap pada 2045.

Kajian Bappenas, ada empat skenario pembangunan rendah karbon yang bisa dicapai antara 2045, 2050, 2060, atau 2070.

Paling ambisius, tahun 2045, dengan syarat penambahan reforestasi gambut dan mangrove 300.000-350.000 hektar, dan peningkatan reforestasi lahan terlantar menjadi hutan sekunder seluas 250 hektar dari kebijakan yang sudah berjalan.

Sektor energi, menurut Bappenas, perlu peningkatan efisiensi energi 6-6,5% pada 2050.

“Saat ini baru 1%,” katanya.

Catatan World Research Institute (WRI) energi efisiensi pada bangunan menyumbang 69% pengurnagan emisi diperkotaan. Sementara transportasi hanya 14%.

Selain itu, pembangkit energi baru dan terbarukan harus 100% dari primary energy mix di setiap tahun misal dengan sepenuhnya hapus susidi bahan bakar minyak (BBM), paling tidak 2030 dan penerapan pajak karbon secara bertahap.

Suharso mengatakan, seringkali upaya menurunkan emisi terbentur upaya peningkatan ekonomi yang lebih baik. Padahal penurunan emisi dengan pembangunan rendah karbon, katanya, justru membantu mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

Catatan Bappenas, pembangunan rendah karbon dapat meningkatkan product domestic bruto (PDB) nasional 2% lebih tinggi daripada BAU dalam periode 2021-2070.

Pendapatan perkapita juga bisa meningkat 2,5% kali lipat. Ini karena tingkat produktivitas lebih tinggi dan biaya berkurang karena eksternalitas negatif pada daya dukung dan daya tampung lingkungan seperti polusi udara.

 

Seorang pekerja di PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. PLTS ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia pada 2012. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

***

Aksi-aksi Indonesia menekan emisi Presiden Joko Widodo sampaikan dalam pidato di forum Leaders Summit on Climate yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden minggu lalu. Jokowi sebutkan, moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut mencakup 66 juta hektar, lebih besar dari luas gabungan Inggris dan Norwegia.

Dalam pidatonya, Jokowi juga menyampaikan target pemulihan mangrove seluas 620.000 hektar, dan peluang maupun rencana pengembangan biofuel, baterai litium dan kendaraan listrik di Indonesia.

“Namun, hanya dengan pencapaian itu saja belum cukup. Masih perlu upaya untuk memperkuat komitmen iklim di sektor lahan,” kata Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Menurut Yosi, Indonesia perlu memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru dengan menambahkan 9,4 juta hektar hutan alam yang belum dilindungi. Ini akan membantu Indonesia menekan kembali angka deforestasi serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi.

Madani juga menilai perlu ada peningkatan target pemulihan gambut untuk membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Dalam Perpres Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), target pemulihan gambut hanya 1,2 juta hektar untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektar dari wilayah prioritas 2016-2020.

“Sayangnya, target ini hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut di luar area izin dan konsesi. Sisi lain, 14,2 juta hektar ekosistem gambut telah terbebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia dalam status rusak.”

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional juga menyayangkan, tak ada sense of crisis kepala negara atas situasi Indonesia yang secara nyata sudah menderita dampak krisis iklim.

Sebagai salah satu negara yang terdampak besar, katanya, Indonesia memiliki potensi besar bisa memimpin arah kebijakan global agar mendukung upaya adaptasi negara-negara terdampak. Caranya, menunjukkan kepemimpinan nyata dalam menurunkan emisi di dalam negeri melalui kebijakan serta rencana yang sistematis dan terukur.

Sayangnya, dalam pertemuan ini presiden justru melakukan business as usual, yaitu penanganan perubahan iklim berbasis proyek, yang dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya terbukti tak berhasil dan tak berkelanjutan.

“Pertemuan Leaders Summit on Climate merupakan missed opportunity bagi Indonesia. Di tengah urgensi kriris iklim, presiden justru tampil ambigu, alih-alih mengambil langkah kepemimpinan yang berani, yang bisa menginspirasi para pemimpin dunia lain.”

 

Onggokan sampah di Pantai Kedonganan, Kuta, Bali pada Februari 2021. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

 

*****

Foto utama: Kebun sawit, pangan dan energi. Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah  Merah, Papua, 2017. Kala hutan-hutan masih terus diubah jadi  industri  bisnis ekstraktif seperti komoditas monukultur sawit maka, akan makin menekan bumi, memperparah kriris iklim.   Foto oleh Nanang Sujana

 

Exit mobile version