Mongabay.co.id

Fenomena “Ngereman” di Sekitar Penambangan Timah Inkonvensional

 

 

Penambangan timah ilegal atau tambang inkonvensional di Kepulauan Bangka Belitung, bukan hanya merusak bentang alam, juga mengubah perilaku masyarakat sekitar. Misalnya ngereman atau meminta jatah timah dari penambang.

Istilah ini diambil dari kata preman yang berarti penjahat. Namun mereka yang ngereman di sekitar penambangan timah ilegal, yaitu ibu-ibu, tidak melakukan kekerasan dan pemaksaan layaknya seorang preman.

Penelitian Kurniawan dan Dersi Herka Mayu dari Universitas Bangka Belitung berjudul “Perilaku Ngereman Hasil Tambang Timah di Perairan Pantai Takari, Desa Rebo, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung” yang dipublikasikan pada Desember 2019 di ejournal.undip.ac.id, menjelaskan perihal tersebut.

“Istilah ngereman berarti meminta hasil tambang timah atas dasar sukarela atau dengan sistem barter terhadap para pemilik tambang inkonvesional dan penambang tanpa adanya unsur kekerasan di dalamnya.”

Fenomena perilaku ngereman merupakan suatu kebiasaan atau tradisi yang   turun temurun dari adanya kegiatan pertambangan timah yang sedang beroperasi.

Fenomena ini juga didasari atas aspek ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya para pelaku ngereman yang umumnya tidak mampu dan seorang wanita dengan status sosial janda atau sudah lansia.

Dalam praktiknya, para pelaku ngereman, mendapatkan jatah hasil timah dengan menyodorkan wadah ke setiap penambang, dengan mengharap rasa kasihan atau sudah memiliki kesepakatan dengan pemilik tambang ilegal.

Baca: Setelah Puluhan Tahun Beroperasi, Mengapa PT. Timah Dituntut Pemerintah Bangka Belitung dan Nelayan?

 

Seorang perempuan tengah mencari kerang lokan yang mulai sulit didapatkan di Pantai Tanah Merah, yang mangrovenya sudah habis. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kemiskinan

Penyebab lahirnya fenomena ini, Kurniawan dan Dersi Herka Mayu dalam penelitian tersebut menuliskan, tidak terlepas dari kondisi ekonomi, pemenuhan kebutuhan hidup dan keterbatasan akan keterampilan diri. Dengan begitu, secara tidak langsung mendesak orang untuk ngereman sebagai sumber mata pencahariannya.

Hal senada disampaikan Luna Febriani dari Ilalang Institute. “Persoalan ngereman perempuan yang ada di area pertambangan masyarakat Bangka Belitung tidak dapat dilepaskan dari masalah ekonomi dan lemahnya kualitas perempuan di sekitar pertambangan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Senin [12/4/2021].

Persoalan ekonomi yang dimaksud adalah aktivitas ngereman kerap dilakukan oleh perempuan untuk menghasilkan pendapatan, guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Rendahnya tingkat ekonomi, juga dapat menyebabkan perempuan tidak mampu mengakses pendidikan. Konsekuensinya, menyebabkan mereka tidak dapat mengakses atau bersaing dalam mendapatkan pekerjaan-pekerjaan formal yang ada,” jelasnya.

Baca: Selain Rusak Lingkungan, Tambang Timah di Bangka Juga Makan Korban Jiwa

 

Kerang lokan yang masih didapatkan di Pantai Tanah Merah. Kerang lokan dijual Rp15 ribu per kilogram. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya bentang alam

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, ngereman yang dilakukan perempuan bukan hanya terjadi di Desa Rebo atau Pantai Takari [Kabupaten Bangka], juga ditemukan di Desa Bhaskara Bhakti atau Pantai Tanah Merah dan Desa Batu Belubang [Kabupaten Bangka Tengah].

Hadirnya ngereman ini, diperkirakan disebabkan banyak kebun yang sudah hilang atau lautnya sudah tidak lagi produktif.

Sebelum ada tambang inkonvensional, perempuan yang tidak lagi memiliki suami [janda], selain berkebun lada, juga mencari kerang, kepiting, udang, yang banyak ditemukan di mangrove.

“Kami terpaksa melakukan ini [ngereman] karena mangrove sudah rusak, sehingga kepiting dan udang hilang,” kata Hodilah [37], di Pantai Tanah Merah.

Di Pantai Tanah Merah, tidak semua perempuan ngereman. Sebagian tetap mencari kerang atau lokan yang masih ditemukan di pasir di sekitar penambangan.

“Kalau sedikit ya hanya untuk makan. Tapi kalau banyak baru dijual. Sekitar Rp15 ribu per kilogram dijual. Sehari paling banyak dua kilogram,” kata Haminah [47], warga Desa Bhaskara Bhakti yang mencari kerang setiap sore.

Baca: Menanti Penertiban Tambang Timah Ilegal di Teluk Kelabat

 

Ngereman dilakukan dengan cara barter kebutuhan makanan seperti kopi, roti, mie instan yang dilakukan sejumlah perempuan dengan mengharapkan diberi timah oleh penambang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kurniawan juga menjelaskan, sebagian besar perempuan di Desa Rebo, sebelum hadirnya tambang, merupakan petani. “Sejumlah perempuan ibu rumah tangga, yang janda dan hidup miskin, terpaksa ngereman.”

Sebagai informasi, eksplorasi timah besar-besaran di Kepulauan Bangka Belitung dimulai sejak abad ke-17 oleh Pemerintah Hindia Belanda, dilanjutkan Pemerintah Indonesia [PT. Timah] pada 1952. Sementara penambangan ilegal dimulai sejak 1998.

“Menurut data Commodity Research Unit 2005, kontribusi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 90 ribu ton dari sekitar 333.900 ton timah dunia. Sehingga, Kepulauan Bangka Belitung dapat dikatakan sebagai penghasil pasir timah terbesar dunia,” kata Kurniawan.

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Seusai proses pencucian timah, perempuan dan anak-anak berebut untuk mendapatkan jatah timah dari penambang di sekitar pantai Tanah Merah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan

Sunlie Thomas Alexander, sastrawan dari Pulau Bangka, yang kini menetap di Yogyakarta, mengatakan fenomena hadirnya ngereman perempuan membuktikan jika negara tidak mampu berperan mengangkat derajat hidup masyarakat di sekitar penambangan.

“Aktivitas ini banyak merusaknya. Bukan hanya lingkungan juga kondisi masyarakat. Yang tidak habis pikir mengapa pemerintah terus membiarkan liberalisasi penambangan timah,” terangnya awal April 2021 lalu.

Sunlie bahkan menilai pengelolaan timah di Kepulauan Bangka Belitung jauh lebih baik dilakukan pemerintah kolonial. Saat timah dikelola Belanda, lingkungan tetap terjaga. Masyarakat masih dapat bertani dan berkebun yang produktif. Misalnya lada dan karet.

Selain itu Belanda mampu membangun fasilitas bagi masyarakat seperti jalan, sekolah, rumah sakit, listrik, dan permukiman bagi masyarakat. “Informasi yang saya dapatkan banyak kota berkembang karena aktivitas timah. Misalnya Pangkalpinang, Muntok, Belinyu, Sungailiat, atau Toboali.”

Coba bandingkan dengan aktivitas timah saat ini, seperti tambang inkonvensional. Dampaknya lingkungan rusak. “Hutan rusak, kebun habis, laut rusak, sungai rusak, dan kehidupan masyarakat menurun kesejahteraannya,” katanya.

Baca: Dampak Radioaktif Tambang Timah, Masyarakat Bangka Rentan Terpapar Corona?

 

Aktivitas penambangan timah di sekitar pantai Tanah Merah, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Solusinya? “Kembalikan lagi pengelolaan timah seperti masa lalu. Dikembalikan kepada negara. Tapi ada prioritas pembangunan atau fasilitas bagi masyarakat di sekitar penambangan, serta dijalankan dengan baik untuk rehabilitasi atau reklamasi wilayah eks tambang,” ujarnya.

Persoalan penambangan timah inkonvensional pernah diungkapkan Sunlie dalam cerita pendeknya yang dimuat Jawa Pos yang berjudul “Matinya Seorang Peladang” pada 25 Agustus 2019.

Berikut cuplikannya tentang peladang bernama Kujang yang menjadi korban penambangan timah. “Tapi, betapa tak teganya Kujang ketika menyambangi bekas ladangnya itu dan melihat tanah yang porak-poranda terbongkar, tinggal gundukan-gundukan pasir dengan lubang-lubang menganga.”

“Hampir terisak, ia mengingat batang-batang sahangnya yang hijau, yang sebentar akan berbunga. Tentu jangan ditanya betapa perih hatinya, lebih dari tertusuk duri rukem atau tersengat tawon.”

 

 

Exit mobile version