Mongabay.co.id

Ketika Warga Desa Sikalang Gunakan Air dari Kolam Bekas Tambang Batubara

Warga Desa Sikalang pakai air bekas lubang tambang. Foto: Jaka HB

 

 

 

Cahaya kekuningan terpantul dari danau bekas lubang tambang PT Bukit Asam (BA), kini daerah ini jadi lokasi produksi tambang batubara CV Tahiti Coal. Bangunan kecil yang dulu untuk mesin air dan bukit-bukit yang menjadi stockpile batubara perusahaan terbayang di dalam ‘danau’ ini.

Hari dan anaknya memancing di danau bekas tambang. Dia heran melihat ada beberapa ikan mati mengambang. Tanpa berpikir lebih jauh, dia dan anaknya tetap mancing.

Anak Hari lahir 2007. Sejak lahir dia gunakan air dari danau untuk keperluan sehari-hari. Sepengetajuan Hari, tidak ada pengaruh apa-apa dari air itu. “Hanya agak kelat saja rasanya,” katanya sembari fokus dengan pancing.

Meski begitu beberapa ibu yang bergiat di puskesmas mengatakan dua anak Hari disinyalir mengalami cacingan sejak kecil. Dugaan, karena mereka sekeluarga mengonsumsi air itu. Baru 2017, keluarga Hari mengonsumsi air galon untuk masak dan minum.

Ida, kader posyandu mengatakan, anak Hari pernah muntah-muntah dan disinyalir karena mengonsumsi air bekas tambang. “Anaknya kurus.”

Ida sejak 2017,   pakai air dari program nasional penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas) dari danau bekas tambang ini.

Pamsimas di Desa Sikalang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat ini bersumber dari danau atau kolam bekas tambang batubara. Setelah sebulan pemakaian dia memutuskan tidak memakai air konsumsi.

Dia melihat ember dan gayung ditempeli debu tebal warna putih tak bisa dibersihkan. Peralatan itu pun usia hanya setahun lalu mudah pecah.

Saat dipakai cuci piring, air meninggalkan bekas pada dasar piring.

Melihat kondisi air itu Ida tak mau meminum atau pakai buat masak hanya mandi dan cuci. Bukan tanpa rosiko, baju-baju putih jadi kotor dan kulit jadi seperti bersisik. Ketika digores kuku, kulit akan berbekas karena kering.

Selain itu, pipa untuk mengalirkan air juga sering macet. “Kadang harus dibersihkan karena menempel di sisi dalam pipa,” kata Ida.

Ida dan suaminya memutuskan membeli air galon sejak 2017. Sehari beli dua galon air, masing-masing galon Rp5.000. Per bulan keperluan air galon Rp300.000. Belum lagi untuk pamsimas sebulan bayar Rp20.000 jadi total pengeluaran Rp320.000.

“Itu kalau hari biasa. Kalau ada acara beli air galon lebih banyak.”

Dia membandingkan dengan air PAM sebelum 2017. Semua aktivitas rumah menggunakan air itu mulai mencuci, masak hingga mandi. Namun, makin lama air dari PAM makin kecil.

“Karena di bagian bawah banyak warga yang menggunakan PAM jadi air tidak sampai ke atas,” katanya.

Padahal, dahulu air PAM bisa digunakan 24 jam, berbeda dengan Pamsimas. “Cuma jam 7.00-9.00 pagi hidupnya,” kata Ida.

 

Baca juga: Warga Sikalang Resah Operasi Tambang Batubara Makin Dekati Pemukiman

Salep dan obat yang digunakan warga kala keluhan seperti gatal-gatal menimpa mereka. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Di daerah ini ada petunjuk atas dan bawah lebih karena posisi rumah-rumah berada di tanah menanjak. Antar satu rumah dengan rumah lain bisa ditelusuri dari bawah ke atas. Rumah paling atas batas dengan konsesi tambang milik CV Tahiti Coal.

Tetangga Ida pernah pakai air dari pamsimas buat keluarga. “Anaknya jadi cacingan dan keluarga mereka tidak menggunakan air itu untuk masak atau minum. Sekarang beli galon,” katanya.

Hernita, ibu rumah tangga merasa terganggu dengan air pamsimas ini. Sejak pakai air ini, kulit tubuh gatal-gatal. “Saya berobat dan minum obat penghilang rasa gatal,” katanya.

Karena tidak ada sumber air lain terpaksa dia menggunakan air ini sekadar untuk mencuci dan mandi. “Nyuci dan masak tidak mau pakai air itu. Pakai air galon.”

Untuk mencuci baju, air biasa disaring dulu. “Kalau tidak, tambah kotor, baju jadi cokelat. Baju anak sekolah mana ada yang putih bersih. Warna nggak cerah, beda warna putihnya,” katanya.

Selain itu baju yang dicuci tidak kering sehari dan ada bau lumut. “Apek-apek gitu padahal sudah pakai pengharum tapi tetap ada bau-bau lumut gitu,” katanya.

Kalau gatal-gatal sedang kambuh, Hernita terpaksa mandi pakai air galon. “Air yang ada biasa kalau campur sabun, busanya tidak ada,” katanya.

Kalau untuk mencuci di piring dan gelas pasti berbekas. “Kalau tidak disaring ada putih-putih. Kotornya itu nampak. Kalau disaring kayak gitu kita nyuci lumayan bersih, harus dikasih sabun lagi,” katanya.

Tak hanya itu. Pakai air dari bekas kolam tambang ini Selain bikin ketombe anak tambah parah. “Samponya sudah banyak, nggak ada efeknya, busa sampo itu hilang.”

Kalau gatal, Hermita terpaksa membersihkan bagian yang gatal dengan jeruk nipis, kemudian diberi hand body. Dengan cara seperti itu gatal bisa reda.

Solusi air ini tentu saja Hernita harus membeli tiga galon per hari. “Untuk minum, masak, termasuk cuci beras. Karena kita tahu juga sumbernya, itu kotor, kalau lihat itu jijik betul,” katanya.

Saat musim panas, kotoran dan lumut-lumut tanah terbawa hingga ke bak mandi. Dia harus menyaring.

Ujang, suami Hernita mengatakan pakai obat salep dan konsumsi obat lebih sering untuk alergi kulitnya. Setiap sebelum tidur, salep harus dia oleskan pada kedua tangan.

Ujang tak betul-betul ingat. Dulu, dia sebulan sekali kalau penyakit kulit parah menyempatkan pergi ke dokter kulit. Makin hari penyakit kulit sering kambuh.

“Sekarang habis untuk obat gatal kiulit untuk saya dan istri sekitar Rp150.000 dalam satu bulan,” katanya.

Ujang pun mengeluhkan debu batubara yang dibawa truk melewati rumahnya. Dia sesak napas berkali-kali. Kondisi ini membuat Ujang harus menambah obat yang dibeli.

 

 

Baca juga: Tambang Batubara Datang, Warga Sikalang Was-was Rumah Mulai Rusak

Peralatan atau wadah warga yang sering terkena air dari danau bekas lubang tambang . Wadah seperti berkerak putih. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Yati, warga Desa Sikalang tak berani pakai air pamsimas untuk konsumsi masak atau minum. Untuk mandi saja air mencurigakan. “Kalau mandi itu busa tidak ada,” katanya.

Dia terganggu dengan kualitas air itu. Dahulu, Yati pernah memeriksakan air dengan saudaranya. Waktu itu, kalau tak salah ingat, kata Yati, PH-nya 8. Dia pun tak berani untuk konsumsi dan was-was sejak awal.

“Apalagi itu dipakai Zizi (anaknya usia enam tahun) untuk mandi dan sikat gigi. Tidak tahu dampaknya apa nanti ke gigi.”

Teddy, suami Yati, memasangkan kain pada selang air dan menyaring lagi pada dirigen bekas berisi bebatuan dan pasir. “Setiap rumah yang pakai air dari danau pasti ada endapannya,” katanya.

Pada batu-batu di dalamnya saya colek dengan jari, ada lumpur abu-abu agak tebal menempek di batu-batu kerikil itu. Air bak Teddy pun keruh, tak tampak dasarnya.

Sebenarnya, tidak hanya air di pamsimas yang membuat kulit sakit, Getno, petugas pamsimas sempat mengalami sakit kulit parah diduga karena sering cari pecahan batubara di sungai. Dia mengatakan, bukan karena air pamsimas atau air danau bekas tambang. “Kalau itu dari dulu kami gunakan.”

Kalau dia, penyakit kulit lebih karena sering mencari pecahan batubara di sungai kecil di bawah jembatan Sikalang yang mengalir dari bukit yang mengarah ke tambang. Dia bilang, pakai minyak kemiri sebagai obat gatal-gatal.

 

Seorang warga yang terkena gatal-gatal dan mulai mengering. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dulu kaya kini krisis air

Titin, warga Desa Sikalang ingat betul masa kecil sekitar 50 tahun lalu tak pernah kekurangan air. Sumber air bersih dari gunung.

Sekarang, air dari mata air gunung itu kalau kemarau sangat sedikit. Dugaan warga karena ada lubang tambang besar maka air turun ke danau bekas lubang tambang. “Dulu di bukit itu banyak air,” katanya.

Kini, Titin membeli air jeriken volume 25 liter.”Kan ada itu mobil jualan keliling Rp5.000 per jeriken. Seminggu bisa empat kali. Air itu bisa direbus. Itu khusus air minum dan masak.”

Air cuci dan mandi dia ambil dari sumber air di bukit. “Ya cukuplah kalau untuk bertiga beranak. Kalau pas pulang semua seperti Lebaran kewalahan juga,” katanya sambil menunjuk ke bukit.

Kalau anak dan cucu pulang kampung, mereka ambil air mandi di mesjid. Mesjid berjarak hanya 10 meter dari rumah itu banyak air bersih dari sumur bor sendiri.

“Tapi pas liburan itu pengunjung mesjid ramai. Kalau yang jauh di batang air (air di bukit) mandinya. Yang penting mandi,” katanya.

Dia mengatakan, masalah ini sudah merekabicarakan dengan pemerintahan desa. “Katanya mau bikin bak penampungan. Saya pikir, airnya darimana? Saya bilang, tolong dipikirkan kalau dari Sijantang,” katanya.

Titin mengatakan, air pamsimas yang dimiliki bersumber dari mata air di bukit. Namun dia tak berani konsumsi karena air belum diperiksa laboratorium.

“Karena belum cek apa karena ada kekhawatiran kandungan tertentu.Kalau sini ndak, lebih kawatir kita yang di ladang.”

Edi Narwin Daulay, Kepala Desa Sikalang, Talawi, Sawahlunto, awalnya membantah kalau air pamsimas ada dari kolam beks lumabang tambang batubara. “Pamsimas itu dari sumber mata air di bukit,” katanya.

Saat ditanyakan kembali melalui sambungan telepon Edi benarkan ada pakai air danau. Dia bilang, hanya air itu yang ada. Saat ditanya lagi, dia kembali membantah.

Persoalan penggunaan air danau Edi menduga hanya perorangan. “Kurang tahu kalau yang menggunakan air danau,” katanya.

Dia juga belum ada laporan masuk soal air pamsimas yang mengkhawatirkan hingga membuat sakit kulit.

Tommy Adam, Divisi Riset dan Advokasi Walhi Sumatera Barat mengatakan, ada 106 keluarga pakai sumber air dari lubang tambang batubara itu.

“Obat tablet dan krim salep adalah rutin yang harus disediakan untuk mencegah efek gatal dari penggunaan sumber air dari lubang tambang.”

Dia bilang, tak hanya Desa Sikalang yang mengalami ini, PDAM Kandi yang mengaliri Desa Santur juga tak layak karena air dari lubang tambang.

Tak hanya masalah kesehatan, warga juga haerus keluarkan biaya tambahan, seperti dalam mendapatkan air bersih (membeli air galon), obat tablet dan salep pereda rasa gatal. Menurut riset Walhi Sumbar, ada Rp2.280.000 per tahun keluar untuk meredakan derita dari sakit gatal.

Yasril, Kepala Dinas Kesehatan Kota Sawahlunto mengatakan, air di danau itu sudah lama dipakai masyarakat Desa Sikalang. Selama ini, dinas tak menerima keluhan dan baru sekarang dengar ada gatal.

“Tidak tahu kalau ada (kabar) yang baru,” katanya. Yasril malah mencurigai asal gatal itu bukan karena air.

Dia bilang, dahulu sudah pernah diperiksa baik dari sisi biologis dan kimia. Namun, dia tak mau bilang kalau air itu aman untuk konsumsi.

“Makanya belum dengar karena sudah bertahun-tahun mereka pakai tidak ada laporan. Ndak ada juga orang kurang air kecuali musim kemarau.”

Dia bilang, air pamsimas tergantung daerah. “Kalau di Sikalang itu ada dari sumber lain. Biasanya air untuk mandi,” katanya.

Yasril bilang, air ini biasa untuk mandi. Soal penyakit, dia katakan harus lihat dulu kondisi air. Dinas, katanya, akan segera berkoordinasi dengan tim untuk memeriksa laporan ini. “Nanti kita turun lagi.”

 

Alat berat mengeruk tanah untuk mendapatkan batubara. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Kalau belajar dari kasus serupa dari Kalimantan Timur, liputan Mongabay berkolaborasi dengan Tempo, melakukan uji air kolam bekas lubang tambang yang digunakan warga. Temuannya, antara lain, air mengandung berbagai logam berat.

Dalam liputan itu disebutkan, uji laboratorium terhadap kualitas air dari lubang PT Multi Harapan Utama (MHU) dilakukan di ALS Laboratory Group di Bogor, Jawa Barat, Desember 2014. Sampel air dari tangki penampung air Tirta Pelita menunjukkan tingkat keasaman cukup tinggi, pH 3,6. Padahal nilai pH normal (air layak konsumsi) antara enam dan delapan.

Air pun memiliki kandungan logam berat di atas baku mutu, misal mangan 5,85 miligram per liter, seng 0,571 miligram per liter, dan besi 0,683 miligram per liter.

Sebagai perbandingan, kata Sisca Nurhafifa, penyelia laboratorium ALS Laboratory Group, kandungan mangan yang ditoleransi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan paling banyak empat miligram per liter.

Sampel air juga diambil dari lubang bekas tambang MHU di Desa Jonggon, tetangga Desa Margahayu. Dari void bernomor 29 dari 56 bekas lubang milik perusahaan ini, keasaman air sudah tingkat keasaman normal tetapi masih mengandung besi, seng, dan mangan.

Sampel ketiga dari air yang mengalir ke sawah di Desa Jonggon Jaya. Air irigasi bersumber dari void MHU di desa itu. Pada November lalu, jalur air ditelusuri. Air buangan dari bekas tambang langsung melimpah ke saluran irigasi.

Hasil uji laboratorium memperlihatkan keasaman air sampel ketiga mencapai pH 3,4. Air juga mengandung seng dan besi melebihi kadar dimaklumi Kementerian Kesehatan. Kandungan besi tak boleh lebih 0,3 miligram per liter.

Kandungan logam berat, yakni besi, mangan, timbel, dan seng, juga ada dalam sampel terakhir. Air contoh dari yang dikonsumsi penduduk dan bersumber dari void MHU di Jalan Raya Tenggarong-Kota Bangun Kilometer 15 di Loa Ipuh.

Air dari bekas tambang pernah menyebabkan puluhan orang di Desa Jonggon terserang diare. Pada musim kemarau 2015, penduduk Desa Jonggon kesulitan air bersih. Mereka menggunakan air lubang bekas tambang MHU untuk keperluan sehari-hari. Akibatnya, sekitar 50 warga menderita diare. Angkat ini masuk kategori kejadian luar biasa.

 

Pemerintah harus segera bertindak

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, harus ada tindakan sesegera mungkin dari pemerintah. Jatam, katanya, pernah turun lapangan di Desa Sikalang dan mengetahui kondisi ini sudah bertahun-tahun terjadi.

“Harus ada audit kesehatan dan audit lingkungan. Itu hak warga untuk mengetahui hasilnya. Pemerintah daerah juga harus bersikap.”

Kalau sampai terjadi masalah dengan warga, kata Merah, ini merupakan kelalaian Dinas ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup. “Sudah bertahun-tahun mereka kemana saja? Pemerintah kemana saja? Apa menunggu harus ada yang mati dulu baru pemerintah bertindak?”

Begitu juga soal lubang tambang, katanya, seharusnya segera reklamasi. “Dikhawatirkan lubang ini dekat dengan pemukiman warga. Itu berbahaya. Harusnya ada pemulihan, reklamasi dan rehabilitasi. Juga diatur peraturan pemerintah tentang reklamasi dan pemulihan,” katanya.

Merah bilang, kasus seperti ini banyak terjadi. Jatam melakukan penelitian dan pemetaan dengan analisis citra satelit pada 2018. “Kami mengidentifikasi seluruh lubang tambang di Sumatera dan Kalimantan, semua ada 3.092 lubang tambang. Ini yang di Desa Sikalang hanya sebagian.”

Air itu, mengandung asam tambang walau warna kelihatan bagus.”Tapi itu mengandung racun, sama kandungan logam berat yang kemudian menyebabkan penyakit degeneratif dan bersifat bio-akumulasi. Penyakit tidak dirasakan sekarang tapi bisa 10-15 tahun lagi, bisa jadi kanker atau tumor atau penyakit kulit,” katanya.

Hal mengerikan ini, katanya, terjadi di beberapa tempat. Seperti di Bangka Belitung, air bekas lubang tambang timah jadi sumber PDAM. Di Kalimantan Timur, juga air dari bekas lubang tambang dialirkan untuk kebutuhan domestik bahkan ada yang untuk memelihara ikan. “Itu kita nggak tahu bagaimana kesehatannya.”

Seharusnya, kata Merah, ada pengkajian dulu terkait penggunaan air bekas lubang tambang batubara ini. “Kalau tidak ada kajian bahaya.”

Jatam mendesak, Dinas Kesehatan dan DLH untuk audit kesehatan dan audit lingkungan guna mencegah dampak buruk lebih jauh. “Kegiatan pertambangan pun harus dihentikan karena membahayakan ruang hidup warga.”

DLH, kata Merah, harus mengambil sampel air dan Dinas ESDM mengevaluasi. “Jangan dibiarkan saja masalah ini. Jangan terjebak konflik kepentingan. Hukum harusnya setara. Kalau sampai ada warga yang rugi atau meninggal, warga bisa menuntut pemerintah.”

 

Pipa yang mengalirkan air dari bekas lubang tambang batubara ke rumah-rumah warga di Desa Sikalang. Fotto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

***

Foto utama: Warga Sikalang, Sawahlunto, kesulitan sumber air bersih. Mereka pun pakai air dari bekas lubang tambang batubara.  Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version