Mongabay.co.id

Menyoal Lemahnya Perhatian Pemerintah terhadap Isu Perubahan Iklim

 

Isu perubahan iklim yang tengah mengemuka di skala global justru kurang mendapat perhatian pemerintah Indonesia. Indonesia bahkan dinilai sangat ketinggalan dari arus pemikiran dunia mengenai isu perubahan iklim ini.

“Dari seluruh masalah yang dihadapi dunia sekarang, baik itu ekonomi, infrastruktur, pandemi, kemiskinan, globalisasi, industri 4.0. pendidikan, dsb, kita ada satu blind spot yang terbesar dari seluruh masalah itu, yaitu masalah perubahan iklim. Narasi kita mengenai perubahan iklim masih sangat lemah, sementara literasi ke publik juga masih sangat lemah, dan perhatian pemerintah juga masih sangat lemah,” ungkap Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

 Hal ini disampaikan Dino dalam diskusi daring bertajuk “Facing Our Collective Vulnerability: The Long Fight Against Climate Change” yang diselenggarakan oleh FPCI Chapter Universitas Hasanudin Makassar, Sabtu (24/4/2021).

Salah satu yang disesalkan Dino adalah isi pidato presiden Jokowi dalam Leaders Summit on Climate pada 22 April 2021 lalu, yang menunjukkan ketidaksiapan Indonesia menghadapi masalah perubahan iklim ini.

“Negara lain sudah mengeluarkan target, sementara Indonesia sampai sekarang tak ada target, dan walaupun diundang untuk sebuah forum untuk target penurunan emisi, target juga belum keluar,” katanya.

Dalam forum itu sendiri, lanjut Dino, sejumlah negara seperti Jepang, Afrika Selatan, Korea Selatan, Bhutan, Fiji dan Kostarika menargetkan Net Zero 2050, sementara Indonesia menjadi satu-satunya negara yang tidak menyampaikan target padahal Indonesia justru diharapkan menjadi leader dalam climate diplomacy.

“Ini tantangan bagi kita Indonesia, apakah kita sanggup untuk menjadi leader dalam perubahan iklim dunia, dan lebih penting lagi, kalau kita menjadi leader maka kita dalam negeri harus punya target yang ambisius dan tidak cukup hanya mengatakan kita sudah mengurangi deforestasi dan sebagainya. Itu bagus dan kita mendukung penuh, tetapi itu bukan target kongkret dari penurunan emisi tahun 2050,” katanya.

baca : Target Netral Karbon Lemah, Indonesia Bisa Lebih Ambisius, Caranya?

 

Presiden Joko Widodo saat memberikan pernyataan komitmen penanganan perubahan iklim yang dilakukan Indonesia dalam acara Leaders Summit on Climate pada Kamis (22/4/2021) secara daring. Foto : BPMI/Istana Kepresidenan

 

Dino berharap isu perubahan iklim terus digaungkan agar menjadi perhatian bersama, bahwa perubahan iklim memang nyata dan akan memberi dampak yang luar biasa di masa yang akan datang.

“Teman-teman, mohon suarakan planet emergency, mohon masyarakatkan istilah net zero emission, nol bersih, Pak Emil Salim bilang negatif zero. Tahunnya di 2050, bukan 2070, memalukan ini.”

 

Tatakelola iklim

Gracia Paramitha, Phd Candidate Of Enviromental Politics at the University of York, dalam diskusi ini membahas tatakelola iklim, baik di tingkat global maupun Indonesia.

Menurutnya, ketika bicara tentang tatakelola iklim maka ada tiga hal yang akan menjadi perhatian utama, yaitu mekanisme partisipasi publik, tranparansi dan akuntabilitas.

“Kalau ada keterlibatan masyarakat sipil atau publik ada yang semacam legitimasi, terutama dalam hal akuntabilitas. Berarti kan ada institusi atau lembaga yang memang mengawasi atau mengontrol kasus iklim, kemudian transparansi berarti ada akses, baik itu akses informasi maupun bagaimana masing-masing pihak bisa bersinergi atau berkolaborasi,” jelasnya.

Isu perubahan iklim sendiri, ujar Gracia, bukanlah isu yang baru namun kini menjadi primadona. Bahkan dalam laporan World Economic Forum sejak tahun 2017 isu perubahan iklim telah menjadi isu ancaman yang paling tinggi atau berbahaya dibandingkan isu keamanan atau ekonomi.

“Pembahasan isu iklim di tatakelola global atau dalam forum global terutama di UNCCC, sudah berlangsung lebih dari dua dekade. Artinya ini bukan hal yang gampang, karena saking kompleks dan rumitnya untuk membuat 193 negara anggota PBB setuju.”

Pada akhirnya, lanjut Garcia, tatakelola iklim telah benar-benar disorot dan punya target yang sama dari beberapa isu institusi global. Ia menilai masih ada waktu 9 tahun untuk membuktikan bahwa penurunan emisi itu benar-benar bekerja, jika menggunakan target NDC tahun 2030, atau lebih jauh di tahun 2050.

“Sebelum kita masuk ke jauh 2050 kita harus bisa memastikan dulu 29 persen (target NDC) yang sudah dikatakan Presiden Jokowi itu benar ada, sudah ada progres atau tidak. Bappenas bilang ada tanda penurunan deforestasi tetapi kan kita perlu membuka pikiran bahwa data itu banyak, tidak cuma dari Bappenas. Kadang problemnya juga kita kurang ada sinkronisasi data. Kebijakan satu data itu pernah dimunculkan, tetapi juga ini menjadi problem yang belum selesai sampai sekarang.”

baca juga : Bagaimana agar Pembangunan Tak Perparah Krisis Iklim?

 

Pembangki listrik tenaga batubara Suralaya di Cilegon city, Banten, Indonesia. Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

 

Kesadaran Masyarakat

Menurut Nur R. Fajar, editor di Mongabay Indonesia, pemberitaan terkait isu perubahan iklim mulai marak ketika Indonesia menjadi tuan rumah COP ke-13 di Bali tahun 2007 dan masih terus berlanjut hingga saat ini.

Ia menilai isu perubahan iklim sebagai hal yang kompleks, karena menyangkut seluruh aspek manusia. Tingkatannya pun semakin tinggi, tidak lagi sekedar pemanasan global atau perubahan iklim, namun sudah mengarah pada krisis iklim.

“Ini sudah emergency crisis climate, itu benar sekali dengan tanda-tanda sudah semakin banyak terjadi bencana-bencana hydrometeorology,” tambahnya.

Di bagian lain Fajar menjelaskan bahwa kesadaran masyarakat akan isu perubahan iklim ini telah terbangun karena terkait langsung dengan kehidupan keseharian mereka, terutama pada masyarakat yang pekerjaannya sangat tergantung pada alam dan cuaca, seperti petani atau nelayan.

“Saat ini petani tidak mudah lagi untuk bercocok tanam mengikuti pola alam atau kearifan lokal. Sama juga dengan nelayan, saat ini tidak mudah lagi untuk melaut. Semua ini dipahami sebagai dampak dari perubahan iklim.”

Indikator lain akan kesadaran ini adalah dengan semakin banyaknya kelompok masyarakat, komunitas, LSM yang concern pada isu perubahan iklim dan ikut menangani dampak perubahan iklim sesuai dengan kemampuan dan minat mereka.

“Kita bisa lihat pada Earth Hour yang berkampanye untuk penghematan energi, mengurangi emisi dari sektor energi, atau komunitas konservasi di daratan, kehutanan atau pun kelautan, dan komunitas peduli sampah, pengelolaan sampah, dsb. Terkait dan tidak terkait dengan perbuahan iklim, sampah memang salah satu hal yang signifikan, salah satu peng-emisi GRK dari sisi limbah,” jelasnya.

perlu dibaca : Indonesia dan Wacana Netral Karbon

 

Material banjir yang memenuhi pemukiman warga di bantaran kali di Kelurahan Waiwerang Kota, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT. Banjir bandang akibat siklon tropis seroja merupakan contoh fenomena bencana hidrometerologi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Investasi hijau

Nabila Gunawan, ASEAN Green Investment Analyst at Climate Bonds Initiatives, membahas aspek investasi hijau. Ia menilai potensi investasi hijau di Indonesia cukup besar dan telah menarik minat banyak investor asing.

 “Banyak investor global yang ingin investasi hijau di Indonesia yang potensinya sangat besar dan proyek-proyek inilah yang akan membawa kita to solve climate crisis tahun ini,” katanya.

Nabila menjelaskan bahwa investasi hijau bisa menjadi solusi pembangunan di Indonesia dengan menarik investasi dari luar untuk proyek-proyek tertentu yang terkait dengan solusi iklim. Indonesia sendiri kini tengah berusaha menarik investor hijau dengan cara mendorong kebijakan-kebijakan pasar yang dapat mendefinisikan investasi hijau secara jelas.

“Cuma ‘uang hijau’ ini tidak akan masuk begitu saja tanpa ada bukti atau dampak bahwa uang tersebut benar-benar diinvestasikan untuk proyek hijau,” tambahnya.

Menurut Nabila, dalam beberapa tahun ini sustainable financial instrument, baik berupa surat utang atau obligasi telah dilabeli sebagai investasi hijau, yang bertujuan agar para investor bisa melihat dampak dari pembiayaan yang mereka berikan.

“Ketika kamu memberi label hijau pada instrumen finansial itu maka ada tanggung jawab untuk mengeluarkan reporting, memastikan transparansi ada, unsur-unsur akuntabilitas di sektor finansial,” tambahnya.

baca juga : Konsekuensi Ekonomi dari Strategi Net Zero Emission Indonesia

 

Pembukaan hutan yang terjadi di Aceh Timur yang merupakan Kawasan Eksositem Leuser pada April lalu pada koordinat GPS: N 4 26 11.1 E 97 50 6.9. Foto: Rainforest Action Network

 

Lebih lanjut dikatakan Nabila bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini telah memiliki sustainable road map, meskipun sifatnya belum mengikat sehingga perlu didorong lebih kuat. Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan laporan anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Nabila melihat saat ini memang telah ada pergeseran secara global terkait bisnis yang tidak lagi business as usual namun telah menuju ke arah yang lebih sustainable.

“Saya tidak bilang itu cukup tetapi ada pergeseran. Ini salah satu alasan kita bisa optimis. Bahkan mungkin kalau kalian ikuti PLN dan Pertamina, mereka mulai menarik pendanaan investasi hijau. Ada pergeseran secara global dan kalau Indonesia mau menarik investor tersebut harus memenuhi sistem akuntabilitas lingkungan, seperti reporting, dan bukti-bukti bahwa dana tersebut disalurkan untuk proyek hijau atau yang benar ada dampak lingkungannya,” jelasnya.

 

Exit mobile version