“The greatest danger for most of us
is not that we aim too high and we miss it,
but that we aim too low and reach it.”
(diatribusikan kepada) Michelangelo
Tekanan Normatif Terkait Krisis Iklim
Di bawah tekanan normatif setiap organisasi akan memberikan respons sesuai dengan kesediaan dan kemampuannya. Kesediaan itu tergantung pada derajat saliens isu yang muncul tersebut itu dengan yang menjadi prioritas organisasi. Sementara, kemampuan itu terkait dengan kalkulasi manfaat dari curahan sumberdaya yang dimiliki untuk merespons itu tersebut. Sebagai hasilnya, organisasi bisa melakukan perubahan substantif, komunikasi simbolik, atau bergeming. Demikian yang ditemukan oleh Durand, Hawn, dan Ioannou dan dituliskan pada makalah berjudul Willing and Able: A General Model of Organizational Responses to Normative Pressures yang terbit melalui jurnal Academy of Management Review, 44/2 tahun 2019.
Walaupun makalah itu ditulis untuk memahami respons perusahaan atas tekanan pemangku kepentingannya, agaknya model yang dikembangkan bisa juga untuk memahami mengapa lembaga pemerintahan menunjukkan respons yang berbeda-beda atas tekanan publik. Di Indonesia, ada banyak tekanan publik yang bisa menghasilkan perubahan sangat cepat, namun ada banyak tekanan publik lainnya yang seakan-akan sia-sia, walaupun isunya sangat penting dan bahkan genting. Salah satu isu yang tekanan publiknya seakan tak diperhatikan Pemerintah Indonesia adalah perubahan iklim.
Untuk mereka yang melek perubahan iklim, sebutan perubahan iklim sendiri kerap dinyatakan sebagai tak lagi memadai untuk menggambarkan situasi yang sekarang dihadapi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis iklim, atau bahkan darurat iklim kini lebih dipilih, karena memang memiliki sejumlah alasan kuat. Dengan menyatakannya sebagai krisis atau darurat, kemendesakkan isu ini bisa ditekankan, sehingga tindakan yang segera dan perubahan mendasar harus dilakukan. Dengan sekadar menggunakan kata ‘perubahan’, manusia tak bisa merasakan kemendesakkan itu. Jadi, pemilihan krisis atau darurat sebagai isu bukanlah sekadar masalah semantik, melainkan juga ketepatan pendefinisian situasi dan ekspektasi atas respons.
Tetapi, kelompok yang demikian sangat boleh jadi masih terlampau sedikit di Indonesia. Hal ini misalnya bisa terlihat dalam persoalan target net zero emission (NZE) yang mulai menghangat sejak Maret lalu. Dalam presentasi Direktur Jenderal Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait Long Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, dapat dilihat bahwa Indonesia menargetkan untuk mencapai kondisi NZE itu di tahun 2070.
Presentasi itu mendapatkan respons banyak pihak karena jelas tidak sesuai dengan skenario IPCC untuk mencapainya di tahun 2050. Sebagai salah satu negara yang menghasilkan emisi terbesar di dunia, target itu semakin mengukuhkan posisi Indonesia yang masuk ke dalam kategori highly insufficient menurut Carbon Action Tracker. Lebih buruk lagi, target pada tahun itu juga membuat Indonesia sebagai negara yang paling belakang posisinya di antara negara-negara lain yang sudah mengumumkan targetnya terlebih dahulu.
baca : Bagaimana agar Pembangunan Tak Perparah Krisis Iklim?
Perbedaaan Sikap Antarkementerian dan Sikap Presiden
Apakah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengetahui hal-hal itu? Mustahil tidak mengetahuinya. Apalagi, sebetulnya Indonesia juga sudah memiliki dokumen yang lebih sesuai dengan semangat target global itu, yaitu Low Carbon Development Indonesia, yang diproduksi oleh Bappenas. Pada dokumen itu jelas tertera bahwa Indonesia perlu masuk ke pembangunan rendah karbon—dengan ujungnya NZE—sesegera mungkin. Bukan ‘hanya’ lantaran target yang cepat itu baik untuk kondisi lingkungan dan masyarakat, melainkan juga sesuai dengan kepentingan ‘ukuran tertinggi’ pembangunan yang masih dipergunakan hingga sekarang: GDP.
Dokumen yang disusun pra-COVID-19 itu menunjukkan bahwa lantaran kerusakan lingkungan semakin membesar maka, bila business as usual dipertahankan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus merosot terus mulai pertengahan 2030-an. Alternatif yang bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah masuk ke ekonomi rendah karbon, dan semakin cepat masuk ke dalamnya, semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi yang bakal dicapai Indonesia.
Presentasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada acara Indonesia Net Zero Summit 2021 di minggu ketiga April memertegas hal itu, dengan memasukkan dampak COVID-19 ke dalam perhitungan. Pada presentasi tersebut, dibeberkan empat skenario NZE, yaitu untuk tahun 2045, 2050, 2060 dan 2070. Lagi-lagi, semakin ambisius Indonesia mencapai kondisi NZE itu, maka pertumbuhan GDP-nya adalah semakin tinggi. Pada keempat skenario itu, pertumbuhan GDP Indonesia antara tahun 2021 hingga 2045, secara berurutan, akan mencapai 6,21; 6,06; 5,87; dan 5,82 persen per tahun. Dari grafiknya juga tampak bahwa angka pertumbuhan itu relatif datar untuk skenario 2060 dan 2070, namun naik dengan tegas untuk skenario 2045 dan 2050.
Sangatlah rasional kalau kemudian Presiden Joko Widodo yang kerap bicara pertumbuhan ekonomi akan mengambil skenario terbaik bagi ekonomi—juga bagi masyarakat dan lingkungan—itu bukan? Untuk kebaikan seluruh masyarakat Indonesia, tentu begitu. Tetapi, harapan agar Presiden Jokowi bisa menyampaikan sikapnya pada kesempatan pertama yang datang, yaitu pada Leaders Summit on Climate ternyata tak mewujud. Memang tak ada keharusan untuk menyampaikan target tersebut, namun para kepala negara yang hadir tampak sadar bahwa ajang tersebut adalah kesempatan untuk menunjukkan komitmen yang lebih kuat, sebelum kesempatan berikutnya akan datang lagi pada penghujung tahun lewat ajang COP26 di Glasgow.
Leader memiliki akar kata Inggris Kuna, laedere, yang berarti seseorang yang memberikan arah atau menunjuk pada tujuan. Oleh karena itu, tak salah apabila mata dunia tertuju pada acara yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, itu. Dunia ingin mengetahui arah yang ditunjuk oleh 40 pemimpin itu, dan apabila mungkin, juga kesepakatan kerjasama di antara mereka. Oleh karena itu, tekanan dan dukungan normatif datang dari seluruh penjuru dunia, mulai dari para siswa hingga 100 pemenang Hadiah Nobel. Seluruhnya meminta NZE terwujud sesegera mungkin, sesuai dengan petunjuk sains. Banyak di antara kepala negara itu yang kemudian menunjukkan komitmen yang lebih tinggi, dengan misalnya memotong emisi menjadi separuh di tahun 2030 dan benar-benar menihilkannya di tahun 2050.
Presiden Jokowi dalam pidatonya menyatakan bahwa Indonesia ‘sangat serius’ menangani perubahan iklim, dengan bukti turunnya deforestasi dan ditegakkannya moratorium pembukaan hutan. Tetapi, tak ada pernyataan tentang kapan deforestasi akan benar-benar berhenti, juga tak ada penyataan soal reforestasi, yang sesungguhnya merupakan peluang yang sangat besar untuk Indonesia. Tak ada juga pernyataan tentang kapan sektor energi Indonesia bisa benar-benar keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil dan beralih ke energi terbarukan sepenuhnya. Juga, ada bagian ‘sindiran’ kepada negara-negara maju yang dianggap belum memiliki komitmen yang bisa dipercaya dan memanfaatkan isu lingkungan untuk kepentingan perdagangan. Dan, tentu saja, tak ada pernyataan komitmen atas target NZE yang ditunggu-tunggu itu.
baca juga : Indonesia dan Wacana Netral Karbon
Konsekuensi Ekonomi
Agaknya, sikap yang demikian akan merugikan Indonesia sendiri. Kalau mau dihitung kerugian—atau kesempatan yang hilang—bagi ekonomi saja, ada banyak yang dapat dibayangkan. Ekonomi dan lingkungan yang tadinya kerap dianggap sebagai pilihan, kini sesungguhnya dilihat telah bergandengan tangan dengan erat. Kajian dari dalam dan luar negeri sudah menunjukkan semakin cepat ekonomi mencapai NZE—atau bahkan negatif—terwujud, semakin tinggi dan berkualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam skenario Bappenas, seperti yang diungkapkan di atas, pertumbuhan ekonomi tertinggi bisa dicapai dengan nihil karbon pada tahun 2045, dan turun terus apabila tergetnya 2050, 2060 dan 2070.
Kajian Swiss Re Institute memberikan gambaran yang lebih muram. Indonesia adalah negara yang akan mengalami dampak krisis iklim terberat, dan ekonomi Indonesia akan terpukul lantaran itu. Kalau trajektori dunia memanas di bawah 2 derajat Celsius di tahun 2100 saja, Indonesia akan kehilangan hampir 5% dari seluruh GDP-nya di tahun 2050. Pemanasan 2 derajat Celsius akan memakan 17% GDP Indonesia; pemanasan 2,6 derajat Celsius akan membuat 30% GDP hilang; sementara kalau yang terjadi adalah hingga 3,2 derajat Celsius, Indonesia bakal kehilangan 40% GDP-nya.
Jelaslah bahwa beban yang sangat berat akan ditanggung oleh Indonesia apabila semakin lama menetapkan target waktu untuk NZE. Beragam dampak negatif yang timbul akan memaksa Indonesia membayar biayanya. Salah satu kerugian ekonomi akan datang dari aset terdampar—dengan turunnya atau bahkan kehilangan nilai dalam waktu yang cepat—di banyak sektor, termasuk kelapa sawit, batubara, dan migas. Aset terdampar yang dialihkan risikonya kepada perusahaan asuransi, apalagi kepada sektor publik, akan membuat ekonomi Indonesia terbebani sangat berat di masa mendatang. Penghitungan risiko ini sangat penting dilakukan, dan mungkin akan mengungkapkan secara lebih jelas mengapa menurut Swiss Re Insitute, Indonesia sudah memasuki teritori negatif.
Di sisi yang lain, Indonesia jelas memiliki seluruh bentuk modal yang dibutuhkan untuk mewujudkan bergandengan tangannya antara ekonomi dan lingkungan—yang biasa disebut sebagai ekonomi hijau atau ekonomi rendah karbon. Kalau ini berhasil diwujudkan, hasilnya adalah kondisi kesejahteraan masyarakat generasi sekarang maupun mendatang, atau setidaknya penurunan kondisi yang jauh lebih ringan daripada alternatifnya.
Bentuk-bentuk modal itu termasuk modal natural yang sangat memadai untuk beragam energi terbarukan dan restorasi ekosistem. Kajian atas potensi energi terbarukan di Indonesia jelas menunjukkan kelimpahannya, mulai dari matahari, air, juga geothermal dan angin untuk daerah-daerah tertentu. Restorasi ekosistem di Indonesia bisa dilakukan atas puluhan juta hektare lahan yang terdegradasi, dan ini akan mengembalikan jasa lingkungan yang sangat besar.
Sangat jelas pula bahwa dunia menunjukkan kecenderungan memilih bentuk-bentuk ekonomi berkelanjutan. Investasi berkelanjutan telah menunjukkan jumlah yang sangat besar—nilai asetnya sekitar USD2 triliun pada kuartal pertama 2021, menurut catatan Morningstar—dan jelas akan terus meningkat. Untuk bisa memanfaatkannya, Indonesia perlu menunjukkan ketegasan dukungan pada investasi industri bersih seperti energi terbarukan, sekaligus divestasi dan rencana phase out dari industri energi fosil dan praktik-praktik ketidakberlanjutan di industri manapun. Kalau, seperti yang ditunjukkan hingga sekarang, Indonesia terus-menerus memberikan sinyal yang penuh kontradiksi, maka Indonesia akan kesulitan mengakses investasi berkelanjutan secara optimal.
baca juga : Target Netral Karbon Lemah, Indonesia Bisa Lebih Ambisius, Caranya?
Untuk bisa dianggap memberikan sinyal yang tegas, Indonesia perlu memiliki strategi yang jelas untuk transformasi di seluruh sektor, termasuk strategi pembiayaan dan strategi transformasi ketenagakerjaan menuju berbagai bentuk green jobs. Strategi transformasi itu perlu dibuat dengan menyesuaikan waktu yang ditetapkan untuk target NZE yang ditetapkan. Kalau target tersebut dipilih yang lebih lama, bukan yang lebih cepat, tentu saja para investor berkelanjutan akan ragu untuk bisa masuk ke Indonesia. Apalagi, kalau negara-negara berkembang lain bisa memberikan sinyal yang lebih tegas. Sangatlah penting untuk diingat bahwa sumber pembiayaan ini akan jauh lebih besar proporsi pihak swastanya dalam bentuk investasi dibandingkan bantuan negara-negara maju.
Mengingat besarnya peran investasi swasta, maka model-model bisnis yang berkelanjutan adalah yang hal yang penting untuk ditemukan dan dikembangkan di Indonesia. Model-model ini bisa ditemukan di dalam perusahaan masyarakat (community enterprise), perusahaan sosial (social enterprise), maupun di antara korporasi-korporasi paling progresif. Di manapun ditemukan, model-model itu perlu didukung dan direplikasi oleh seluruh pemangku kepentingan—termasuk pemerintah, investor dan konsumen—yang menginginkan keberlanjutan dan kondisi NZE bisa segera terwujud. Bagaimanapun, pasar tidaklah identik dengan perusahaan, melainkan gabungan antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat yang seluruhnya menjadi konsumen, produsen, maupun investornya. Kalau mau mewujudkan kekuatan pasar yang mendorong keberlanjutan, maka seluruh pelakunya penting untuk menyatukan sumberdayanya untuk tujuan tersebut.
Salah satu model bisnis yang penting adalah ekonomi sirkular, yang didesain sedari awal untuk menghilangkan berbagai sampah dan emisi, perlu untuk terus didorong menggantikan ekonomi linear. Kini, di level global, diperkirakan baru mencapai 9% saja dari keseluruhan ekonomi, namun diperkirakan akan meningkat pesat dalam beberapa tahun ke depan. Beragam bentuk bisnis, baik komersial maupun sosial yang memromosikan ekonomi sirkular harus didukung dengan serius oleh seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk dengan pendanaan yang benar-benar memihak pada sirkularitas. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada dokumen Circularity Gap Report 2021, apabila dunia, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan derajat sirkularitas ekonomi, menjadi dua kali lipatnya di tahun 2032 kelak, maka pemanfaatan virgin materials akan turun 28% dan potensi pemotongan emisinya bisa mencapai 39%.
baca juga : UU Cipta Kerja, Revisi UU Minerba, dan Terbukanya Gerbang Krisis Iklim
Perubahan Simbolik atau Substantif?
Ketika tulisan ini dibuat, Pemerintah Indonesia, melalui Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi mengumumkan bahwa target NZE Indonesia adalah tahun 2060 atau lebih cepat, tergantung pada ketersediaan dukungan internasional untuk keuangan dan transfer teknologi. Agaknya ini berarti Pemerintah Indonesia tidak mengambil sikap bergeming di hadapan tekanan normatif yang diberikan selama dua bulan terakhir. Tetapi, masyarakat Indonesia masih perlu menunggu apakah respons tersebut sekadar simbolik atau benar-benar substantif. Tindakan-tindakan yang diambil Pemerintah setelah pernyataan perubahan target NZE tersebut akan memberi tahu perubahan mana yang sebetulnya terjadi.
Perubahan tersebut berarti Pemerintah Indonesia maju satu dekade dibandingkan yang sebelumnya dinyatakan oleh KLHK, walaupun berhasil menggeser Indonesia sebagai negara yang komitmen NZE-nya paling belakang. Perubahan itu juga dikemukakan dengan syarat dukungan internasional. Syarat itu sendiri untuk kasus Indonesia, sebetulnya sangat dipahami oleh para ilmuwan, seperti misalnya yang dinyatakan pada makalah Net-zero Emission Targets for Major Emitting Countries Consistent with the Paris Agreement oleh van Soest, dkk (2021). Tak perlu dikemukakan pun dunia internasional memahaminya.
Bolanya sebetulnya ada di tangan Indonesia sendiri. Untuk mewujudkan dukungan internasional, sudah seharusnya Indonesia memahami ekspektasi pemangku kepentingan yang memang memiliki pengetahuan dan kepedulian terhadap krisis dan darurat iklim ini. Bagaimanapun, penetapan target pencapaian NZE di tahun 2045 atau selambatnya 2050, akan memberikan sinyal kuat kepada dunia internasional bahwa Indonesia memang benar-benar serius mendukung tercapainya NZE global dengan menyelaraskan diri pada apa yang telah direkomendasikan oleh sains. Demi generasi mendatang yang lebih baik, sains dan kemaslahatan rakyat memang perlu dijunjung jauh lebih tinggi daripada kepentingan segelintir oligarkh yang ingin terus mendapatkan keuntungan dari energi fosil dan praktik-praktik ketidakberlanjutan.
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis