Mongabay.co.id

Pelaku Pengeboman Ikan Kembali Ditangkap di Perairan Flores Timur. Kenapa Pelaku Terus Beraksi?

 

Anggota Tim Penyelam Laut Kabupaten Flores Timur, kembali menangkap pelaku pengeboman ikan di perairan Flores Timur.

Staf  Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, Apolinardus Yosef Lia Demoor, kepada Mongabay Indonesia, Minggu (2/5/2021) menyebutkan patroli bersama Tim Patroli Laut Flores Timur pada Minggu (2/5/2021) berhasil mengamankan pelaku destructive fishing.

Dus sapaannya menjelaskan pada pukul 09.30 WIT, pihaknya menerima laporan dari masyarakat Lewotobi bahwa telah terjadi aktifitas penangkapan ikan menggunakan bahan peledak.

Tim bergerak dari pelabuhan TPI Larantuka menuju ke lokasi yang dilaporkan sekitar perairan pulau Kambing di ujung barat Pulau Solor depan perairan Desa Lewotobi,cKecamatan Ile Bura.

“Pukul 11.30 WITA, tim melakukan pemeriksaan di atas kapal dan menemukan ikan hasil tangkapan sebanyak 3 box fiber. Ikan tersebut diduga ikan hasil tangkapan menggunakan bahan peledak,” ungkapnya.

“Kapal dan barang bukti lainnya di kawal ke Pelabuhan TPI Larantuka untuk di serahkan ke penyidik Dit Pol Airud Polda NTT untuk diproses hukum lebih lanjut,” ungkapnya.

baca : Pengeboman Ikan Terus Terjadi di Flores. Perlukah Pengawasan Diperketat?

 

Para nelayan asal Desa Lamakera, Kecamatan Solor Timur yang ditangkap saat melakukan pengeboman ikan di perairan Desa Lewotobi, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Tim Penyelamatan Laut Kabupaten Flores Timur

 

Dus menerangkan dalam aksinya para pelaku menggunakan kapal kayu bernama KM.Kalimat. Pelakunya bebernya berasal dari wilayah yang sama yakni Watobuku, Desa Lamakera, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur.

Para pelaku sebut Dus bernama  Muhamad Kamaludin (63), Julkifli Saban (28), Muhamad Fadli (24) dan Gilang Kidra (18). Juga  bernama Sadam Mansyur (17) selaku nakhoda kapal dan Khairul Anwar (15).

 

Jangan Konsumsi Ikan

Lektor Kepala, Bidang Keahlian Pengelolaan  Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Chaterina Agusta Paulus, M.Si kepada Mongabay Indonesia, Senin (3/5/2021) menyebutkan, destructive fishing termasuk pengeboman ikan berdampak pada rantai makanan di laut dan hilangnya spesies atau kelompok spesies.

Dia mengatakan kerugian jangka panjang bila destructive fishing tidak terhentikan adalah berkurangnya secara drastis bahkan hilangnya mata pencaharian nelayan akibat tidak adanya ikan akibat rusaknya ekosistem terumbu karang.

Selain itu jelasnya, bom ikan dengan berat 250 gram dapat menghancurkan sekurangnya 50 m2 terumbu karang. Sementara recovery ekosistem terumbu karang sebutnya, memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.

“Pelaku pengemboman ikan dapat saja meninggal jika bahan  baku bom meledak di atas kapal atau perahu. Sudah banyak kasus tewasnya pelaku karena terkena bom yang belum sempat dibuang ke laut,” ungkapnya.

baca juga : Pelaku Pengeboman Ikan di Perairan NTT Kembali Ditangkap. Kenapa Masih Terjadi?

 

Pelaku pengeboman ikan di Pulau Kambing, Desa Lewotobi, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, NTT diamankan di atas kapal patrol Polairud Polda NTT. Foto : Tim Penyelamatan Laut Kabupaten Flores Timur

 

Dosen pada Pascasarjana Ilmu Lingkungan Undana ini mengatakan, terkait jenis karang apa saja yang banyak mengalami kerusakan dirinya mengatakan dapat diidentifikasi dari jenis ikan karang yang ditangkap.

“Sebagai informasi tambahan, Provinsi NTT memiliki 532 spesies karang dimana terdapat 11 spesies endemik dan sub endemik dan merupakan tempat hidup bagi sekitar 350 jenis ikan karang,” paparnya.

Chaterina menegaskan ikan hasil penangkapan menggunakan racun dan bom tidak aman dikonsumsi. Ia tekankan, sebaiknya tidak dikonsumsi karena tidak menutup kemungkinan di tubuh ikan tersebut mengandung zat berbahaya untuk tubuh seperti sianida.

Dia mangatakan sejumlah strategi manajemen lainnya yang sudah ada seperti untuk mengatasi penangkapan ikan yang berlebihan dan perikanan yang merusak telah diidentifikasi termasuk pembentukan kawasan larang tangkap di dalam KKP.

Juga ada penutupan musiman untuk melindungi tempat berkembangbiak, pembatasan jumlah orang yang diperbolehkan menangkap ikan, jenis alat tangkap yang digunakan dan jumlah atau ukuran ikan yang dapat dipanen.

“Namun tentunya, kita harus melihat langsung secara jeli pada titikpersoalan yang ada, apa penyebab utamanya terjadi destructive fishing?,” ungkapnya.

 

Tiga Faktor Kunci

Temuan dan penanganan kasus destructive fishing di NTT Tahun 2013-2019 (menurut Kepmen KP No.114 tahun 2019) sebanyak 18 kasus dengan distribusi 14 kasus pengemboman ikan dan 4 kasus menggunakan bahan beracun.

Ini menjadikan Provinsi NTT peringkat ke-4 secara nasional dalam kasus destructive fishing di Indonesia tahun 2013-2019.

baca juga : Pelaku Pengeboman Ikan di Perairan Teluk Maumere Kembali Ditangkap. Kenapa Terus Berulang?

 

Ikan hasil pengeboman nelayan asal Desa Lamakera, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT yang disita sebagai barang bukti. Foto : Tim Penyelamatan Laut Kabupaten Flores Timur

 

Chaterina menegaskan jika ingin menghentikan destructive fishing, harus mengetahui terlebih dahulu penyebab utamanya. Beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa alasan utama nelayan menggunakan bom/bahan beracun adalah untuk meningkatkan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Dia katakan faktor utama yang mempengaruhinya yakni  pengalaman merakit dan menggunakan bom/bahanberacun, mudahnya memperoleh bahan pembuatan bom ikan serta tingkat pendidikan.

Chaterina menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan nelayan akan berpengaruh nyata terhadap berkurangnya penggunaan bom atau bahan beracun  dalam kegiatan penangkapan ikan.

“Umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan,” tegasnya.

Dia menyarankan solusi berdasarkan faktor kunci penyebab destructive fishing. Pertama, solusi atas faktor peningkatan pendapatan, dengan mata pencaharian alternative dari sektor pendukung lainnya sesuai  potensi lokal daerah yang bernilai ekonomis tinggi dan sesuai dengan ketrampilan maupun pengetahuan dan kebiasaan masyarakat.

Dipaparkannya, hasil penelitian Paulus, dkk (2015-2020) di pesisir Pulau Rote dan perbatasan Belu-Timor Leste menyatakan bahwa mata pencaharian alternatif non perikanan tangkap mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir seperti sektor peternakan, tenun ikat dan pengolahan ikan.

Kedua, solusi atas faktor mudahnya akses terhadap bahan baku bahan peledak/bahan beracun dia sarankan mendata para pelaku usaha atau pedagang yang memperjualbelikan potassium sianida di seluruh wilayah NTT.

“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak terlalu sulit untuk mendapatkan potassium sianida. Memang kenyataannya barang ini di banyak tempat diperjualbelikan secara bebas walaupun pemerintah melakukan pembatasan terhadap peredarannya,” ucapnya.

Data penjual potassium sianida untuk mempermudah pengawasan dan sosialisasi mengenai penyalahgunaan bahan beracun tersebut untuk kegiatan penangkapan ikan oleh petugas.

baca juga : Pelaku Pengeboman Ikan di Flotim Divonis Ringan. Apakah Pelaku Jera?

 

Kompresor dan selang yang dipergunakan sebagai alat bantu penyelaman untuk mengambil ikan hasil pengeboman oleh nelayan asal Desa Lamakera, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Tim Penyelamatan Laut Kabupaten Flores Timur

 

Ia meminta perlu penguatan Pokmaswas. Kata dia, data Pokmaswas yang berada di lokasi rawan destructive fishing disusun berdasarkan hasil pengawasan oleh Direktorat Jenderal PSDKP KKP, informasi pelapor pada laporan kasus dan atau kejadian destructive fishing maupun data mengenai kelompok masyarakat yang berpotensi untuk terlibat dalam melakukan pengawasan dari instansi terkait.

Dia tambahkan, solusi atas faktor pendidikan. Nelayan pelaku destructive fishing memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas.

“Pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan perlu dilakukan melalui seminar, lokakarya, workshop, studi banding dan dapat lebih ditingkatkan. Sehingga masyarakat dapat memahami pentingnya ekosistem lingkungan bagi kesejahteraan manusia dan bagi keberlanjutan masa depan anak cucu,” ucapnya.

Chaterina sebutkan, hal ini berkorelasi dengan pengaturan waktu, jumlah ukuran, dan wilayah tangkap untuk nelayan penyintas dari wilayah diluar domisili. Menurutnya, fungsi pengawasan dari pemerintah sudah optimal dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan hasil investigasi Dirjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dalam Kepmen KP no. 114 tahun 2019,terdapat pebisnis besar yang berada di belakang para pelaku destructive fishing.

Beberapa kendala lainnya beber Chaterina diantaranya, penegakan hukum di daerah terpencil sangat mahal dan jarang berjalan efektif. Selain itu, penegak hukum lokal kurang berinisiatif untuk melakukan patroli dan penangkapan di laut.

Terdapat kelompok masyarakat tertentu yang cenderung melindungi pelaku yang notabene merupakan warga setempat serta timbulnya konflik  lokal antar nelayan asli dan nelayan pendatang.

“Tentunya penyelesaian terhadap kendala-kendala dalam fungsi pengawasan sudah ada dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 114/KEPMEN-KP/SJ/2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengawasan dan Penanggulangan Kegiatan Penangkapan Ikan yang Merusak Tahun 2019-2023,” pungkasnya.

 

Exit mobile version