Mongabay.co.id

Geopark Gunung Permisan Bangka dan Jejak Manusia Austronesia

 

 

Kepulauan Bangka Belitung merupakan geopark atau taman bumi. Kepulauan ini merupakan bagian dari Kepulauan Sunda Besar, yang muncul ke permukaan laut sekitar 15-30 juta tahun lalu hasil aktivitas vulkanis dan tektonis. Kepulauan ini juga dikenal bagian dari “granite belt”, yakni batuan granit yang kaya akan mineral cassiterite atau “the tin belt” yang terangkai dari Myanmar, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, hingga Pulau Karimata.

Namun, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO baru menetapkan Geopark Belitong sebagai UNESCO Global Geopark pada Sidang ke-211 Dewan Eksekutif UNESCO pada 15 April 2021 lalu. Sementara geopark Pulau Bangka belum ditetapkan UNESCO sebagai geopark dunia.

Selama empat hari [28 April-2 Mei 2021], Mongabay Indonesia menelusuri sejumlah geopark yang berada di Pulau Bangka. Yakni geopark Bukit Penyabung [Kabupaten Bangka Barat] dan Gunung Permisan [Kabupaten Bangka Selatan].

Di Pulau Bangka terdapat sembilan geopark: Bukit Penyabung, Pantai Bembang, Pantai Jerangkat, Pantai Penganak, Tanjung Tengkalat, Pantai Punggur Puing, Gunung Permisan, Sungai Olin, dan Pantai Tapak Dewa.

***

 

Lempengan batu granit berdiameter 50 meter disanggah belasan batu di puncak Bukit Batu Kepale. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Geopark Gunung Permisan di Kabupaten Bangka Selatan, merupakan gugusan bukit. Yakni Bukit Nenek, Bukit Batu Kepale, Bukit Nangka, Bukit Putus, Bukit Meninjon Muda, Bukit Meninjon Tue, Bukit Mengkubung, Bukit Jering, dan Bukit Cek Antak. Bukit-bukit ini merupakan tumpukan batu granit beragam bentuk yang menjadi bukit. Dari sejumlah bukit tersebut, Bukit Nenek yang tertinggi, yakni 380 meter.

Pada sebuah kelekak [kebun] durian di Gunung Permisan, diperkirakan tempat menetap Akek Antak. Tokoh legenda yang dikenal masyarakat Bangka sebagai “orang sakti” yang hidup sekitar abad ke-10.

Kawasan hutan di geopark Gunung Permisan ditetapkan pemerintah sebagai Taman Wisata Alam [TWA] Gunung Permisan seluas 3.149,69 hektar. Berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK. 580/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016 tanggal 27 Juli 2016 tentang Penetapan fungsi dalam fungsi pokok kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagai Hutan Taman Wisata Alam Gunung Permisan, di Kabupaten Bangka Selatan.

Kawasan TWA ini berbatasan dengan Desa Sebagin, Desa Rajik, Desa Permis, Desa Gudang dan Desa Simpang Rimba.

Desa Gudang merupakan desa yang sangat dekat dengan TWA Gunung Permisan. Desa ini berbatasan langsung dengan Bukit Nenek, Bukit Batu Kepale, Bukit Cek Antak, Bukit Putus, dan Bukit Nangka.

“Semua bukit itu memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat di Desa Gudang,” kata Kulul Sari [50], pegiat budaya dan seorang pendidik, yang menetap di Desa Gudang, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [01/5/2021].

Baca: Berharap Ratusan Pulau di Bangka Belitung Tetap Terjaga

 

Di ceruk ini, dulunya masyarakat berkumpul sebelum melakukan sedekah bumi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Misalnya Bukit Nenek, masyarakat Desa Gudang dan sekitarnya yang hingga saat ini masih melakukan sesajian atau sedekah sebagai rasa syukur kepada Tuhan YME. Saat sedekah, mereka membawa hasil perkebunan dan pertanian, termasuk membakar getah gaharu, yang diiringi sejumlah doa.

Disebut Bukit Nenek, karena bukit ini dipercaya didiami dua saudara yakni perempuan cantik sakti, yang masih hidup sampai sekarang. Penyebutan “nenek” sebagai penghormatan dua perempuan bersaudara tersebut.

Bukit Cek Antak merupakan bukit tempat Cek Antak menghukum pengikut setianya yang berkhianat yakni Ular Tedung, yang telah membunuh isteri Cek Antak. Sementara Bukit Batu Kepale, merupakan lokasi masyarakat purba dan lokasi pertemuan atau perundingan masyarakat masa lalu.

Mongabay Indonesia memutuskan melakukan pendakian ke Bukit Batu Kepale yang tingginya sekitar 300 meter dari permukaan laut. Di puncak bukit ini terdapat ceruk seperti goa dari tumpukan baru granit, yang ditemukan gambar cadas/rock art, tradisi lukisan atau gambar Austronesia.

Baca: Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka

 

Gambar cadas di puncak Bukit Batu Kepale yang diperkirakan peninggalan tradisi manusia purba Austronesia. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Minggu [02/5/2021] pagi, di tengah hujan gerimis Mongabay Indonesia menuju Bukit Batu Kepale. Memasuki kawasan hutan ini dimulai dengan hadirnya kelekak [kebun] yang ditumbuhi beragam jenis tumbuhan, seperti durian, petai, gaharu, jelutung, serta beberapa kebun lada.

Sekitar 100 meter menuju puncak Bukit Batu Kepale, ditemukan beragam jenis pohon seperti nyatoh, beragam medang, pelawan, serta sejumlah anggrek, keladi, aren, philodendron, rotan, dan pakis-pakisan.

Belum ada jalur tetap menuju puncak bukit, sehingga pendakian dengan kemiringan bukit sekitar 80 derajat bergantung pada akar pohon dan tumpukan batu.

“Dulu hutan ini menjadi perambahan warga, umumnya dari luar desa. Tapi sekarang tidak ada lagi yang merambah, sebab masyarakat turut melarangnya sejak ditetapkan sebagai TWA,” kata Kulul Sari, guru di sebuah sekolah menengah pertama negeri di Desa Simpang Rimba.

Puncak Bukit Batu Kepale berupa sebuah batu granit berdiameter 50 meter, berbentuk lempengan, yang disanggah sejumlah batu beragam ukuran. Salah satu ujung lempengan batu ini menyerupai kepala kura-kura yang menghadap timur atau Desa Gudang.

Di antara tumpukan batu yang menyanggah lempengan batu besar tersebut terdapat ceruk menyerupai gua. Pada empat permukaan batu granik, terdapat lima lukisan atau gambar manusia purba [Austronesia].

Baca: Jejak Manusia Purba Asia Tenggara di Padangbindu. Pertanda Gugurnya Teori Out of Taiwan?

 

Puncak Bukit Batu Kepale yang dipenuhi akar pohon ara. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rock Art dan pertemuan

Lima gambar cadas yang terlukis pada lima batu granit tidak menampakan figuratif yang jelas, seperti tanaman, hewan, atau lainnya. Gambar cadasnya seperti goresan dengan warna merah. Misalnya garis melengkung, gelombang atau persilangan garis.

Tafsir sementara terhadap gambar cadas ini, menurut Sigit Eko Prasetyo, arkeolog dari Balar [Balai Arkeologi] Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, merupakan gambar cadas dengan gaya nonfiguratif.

“Belum diketahui secara pasti usia lukisan manusia purba tersebut, tapi ini membuktikan sudah ada manusia purba di Pulau Bangka,” kata Sigit.

Gambar cadas berwarna merah, merupakan temuan keempat tradisi gambar cadas Austronesia di Indonesia bagian Barat, setelah di Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat. Sementara warna merah, merupakan temuan kedua setelah penemuan gambar cadas di Gua Harimau, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU], Sumatera Selatan.

Terjaganya gambar cadas di Bukit Batu Kepale, kata Kulul, karena masyarakat memandang goa tersebut merupakan tempat sakral. “Dulunya tempat ini merupakan pertemuan warga untuk membahas berbagai hal, termasuk pertemuan sebelum melakukan sedekah atau sesajian ke Bukit Nenek,” jelasnya.

Adanya kepercayaan [legenda] atau tradisi sedekah bukit, membuat keberadaan batuan di Gunung Permisan relatif aman dari penambangan batu. “Tidak ada warga asli yang berani. Entah para pendatang,” jelasnya.

 

Anggrek ratu yang masih ditemukan di hutan Bukit Batu Kepale. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lada, durian, dan gaharu

Wilayah Geopark Gunung Permisan, meskipun diperkirakan kaya akan timah, tapi sejak dulu bebas dari penambangan.

“Setahu saya, termasuk cerita dari para orangtua, tidak pernah dilakukan penambangan timah di wilayah perbukitan di Gunung Permisan. Masyarakat hidup makmur dari berkebun lada, durian, dan jelutung,” jelas Doni Al Maleeq, pegiat budaya dari Desa Simpang Rimba, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [02/5/2021].

Menariknya, kata Doni, sebagian besar masyarakat yang menetap di sekitar Gunung Permisan merupakan keturunan para pekerja tambang yang didatangkan Kesulatan Palembang atau pemerintah Hindia Belanda, seperti dari Johor, Malaysia.

“Mereka hidup harmonis dengan masyarakat setempat yang sangat arif dengan lingkungan. Mereka mengembangkan ekonomi lestari atau tidak merusak alam, memanfaatkan hasil hutan seperti kayu gaharu, getah jelutung, berkebun lada, dan berkebun buah hutan seperti durian.”

Diakui Doni, saat ini, di sekitar Gunung Permisan, terutama dataran rendah, pesisir, dilakukan penambangan timah. Tapi para penambang, terutama tambang inkonvensional, dilakukan para pendatang, baik dari wilayah lain di Pulau Bangka maupun dari Sumatera dan Jawa.

 

Kebun lada milik warga yang berada tebing Bukit Batu Kepale. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Beragam satwa

Geopark Gunung Permisan merupakan rumah bagi beragam satwa khas Bangka, seperti mentilin atau tarsius bangka, kukang, trenggiling, kijang, kelinci, binturong, beragam jenis ular, kalong, dan beragam jenis burung.

“Namun satwa tersebut mulai berkurang akibat diburu, terutama kijang, kelinci, kukang, trenggiling, binturong, serta sejumlah burung,” kata Kulul.

Selama perjalanan ke Bukit Batu Kepale, Mongabay Indonesia hanya menemukan kupu-kupu serta mendengar suara burung. Salah satunya murai batu, yang disebut warga lokal “serunting sakti”.

“Disebut begitu karena anak burung itu dapat sembuh atau hidup kembali meskipun kepalanya patah. Biasanya bersarang di buluh perindu,” kata Kulul.

Apa itu bulu perindu? Dikutip dari Wikipedia, adalah sejenis bambu dengan nama latin [Bambusa magica] yang sering dibuat seruling karena mengeluarkan suara merdu.

“Tidak adanya binatang buas karena hutan di sini, termasuk hutan di Pulau Bangka dan Belitung terdapat kayu atau pohon tas atau kayu hujan panas [Annonaceae Goniothalamus Velutinus]. Kayu ini masih banyak di kawasan Gunung Permisan. “Jadi menjaga hutan juga menjaga keberadaan kayu tas,” lanjutnya.

Hutan di Gunung Permisan merupakan wilayah yang masih terjaga di Pulau Bangka. “Hutan di sana masih cocok sebagai habitat satwa liar,” kata Langka Sani, Ketua PPS [Pusat Penyelamatan Satwa] Alobi [Animal Lover Bangka Belitung Island] kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [01/5/2021].

Setahun lalu, 26 Februari 2020, PPS Alobi bersama BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam] Sumatera Selatan melepasliarkan delapan satwa di Gunung Permisan, tepatnya di Bukit Nenek. Yakni dua ekor burung elang brontok, dua ekor kukang, dan satu ekor trenggiling.

 

 

Exit mobile version