Mongabay.co.id

Cara Milenial Maros Rayakan Hari Bumi, Diskusi Film hingga Tanam Mangrove

Aksi penanaman mangrove di kawasan wisata mangrove Dewi Biringkassi, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu pagi (7/4/2019) oleh puluhan mahasiswa dari Aquaculture Celebes Community (ACC), dan pencinta alam Greenfish Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Ada banyak cara kreatif merayakan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April setiap tahunnya. Di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, seratusan generasi muda milenial anggota komunitas berkumpul mengadakan kemah konservasi di kawasan karst Rammang-rammang, 21-22 April 2021. Beragam aktivitas dilakukan sebagai rangkaian kegiatan ini, mulai dari kelas konservasi, nonton dan diskusi film serta penanaman mangrove.

Kegiatan bertajuk Ramadhan Forum 2021 ini dilaksanakan oleh Program Akuakultur Yayasan WWF-Indonesia bekerja sama Komunitas Pemuda Pencinta/Pegiat Lingkungan yang dikomandoi oleh Komunitas Anak-Anak Peduli (AAP) Maros.

Menurut Idham Malik, Aquaculture Specialist WWF-Indonesia, sebanyak 39 komunitas yang tergabung dalam kegiatan ini yang merupakan generasi milenial, berasal dari Maros, Makassar dan Pangkep. Kegiatan ini adalah rangkaian kegiatan rehabilitasi mangrove yang rutin dilakukan oleh WWF-Indonesia di Sulsel sejak 2017.

“Kegiatan ini adalah bentuk dukungan kami terhadap perbaikan lingkungan pesisir Sulsel yang berimplikasi positif terhadap budi daya udang ataupun komoditas budi daya lainnya,” katanya.

Kegiatan ini dimulai dengan buka puasa bersama pada 21 April, yang dilanjutkan dengan nonton bareng film ‘Rammang-Rammang tidak Gamang’ dan ‘Kinipan’, yang keduanya disutradarai oleh Dandy Eko Laksono.

Film ‘Rammang-rammang tidak Gamang’ bercerita tentang aktivitas Iwan Dento, seorang pegiat hutan/pegunungan karst, yang telah berjuang melindungi kawasan karst Rammang-Rammang, yang saat ini sudah sedang dalam pengusulan untuk memperoleh predikat geopark dan diakui oleh UNESCO.

Kawasan Rammang-rammang sendiri kini dikenal sebagai salah satu kawasan wisata karst yang ramai dikunjungi karena keindahan dan kealamian alamnya. Kehadiran kawasan wisata ini adalah salah bentuk perlawanan atas kepungan tambang karst yang berada di sekitar kawasan tersebut. Melalui pariwisata yang dikelola secara bijaksana, masyarakat yang hidup di sekitar kawasan bisa sejahtera, tidak lagi bergantung pada iming-iming penambangan karst yang justru semakin merusak ekosistem sekitar.

baca : Beginilah Kawasan Wisata Rammang-rammang, Bentuk Perlawanan Warga terhadap Tambang

 

Kemah konservasi diisi dengan diskusi film dan diskusi tentang lingkungan untuk generasi milenial. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Film kedua adalah ‘Kinipan’, yang bercerita tentang kisah dua narator yang menjelaskan perjuangan desa Kinipan yang berhadapan dengan perusahaan sawit yang ingin mengakuisisi lahan kampung mereka, serta penggambaran mengenai kebijakan pemerintah yang timpang dalam pengelolaan kawasan hutan, serta kurangnya kepedulian terhadap kehidupan masyarakat di dalam hutan.

Keesokan harinya, pagi hari 22 April, peserta perkemahan yang terbagi dalam beberapa kelompok, melakukan kunjungan ke kawasan karst dan bertemu dengan masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di kawasan tersebut untuk wawancara.

Hasil pengamatan dan diskusi dengan warga tersebut kemudian didiskusikan di level kelompok, kemudian didiskusikan kembali ke dalam forum.

“Harapannya, diskusi ini memunculkan gagasan-gagasan segar dari peserta mengenai cara dan sikap pemuda terhadap kawasan karst,” jelas Idham.

Pada pukul 15.00, dilanjutkan dengan pemutaran film mangrove dari Program Akuakultur WWF-Indonesia yang dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Idham Malik. Setelah diskusi, menjelang buka puasa, dilanjutkan dengan penanaman mangrove. Sebanyak 1000 bibit propagul yang ditanam dalam kegiatan ini.

Menurut Idham, penanaman mangrove kali ini tidak sebanyak sebelum-sebelumnya, yang berkisar 5000-10.000 bibit dalam sekali event. Penanaman kali ini melanjutkan penanaman yang telah dilakukan sebelumnya di Dusun Binangasangkara, Desa Ampekale, Kec. Bontoa-Maros.

“Kali ini kami hanya menanam 1000 bibit karena kondisi puasa. Kegiatan lebih banyak berupa ajang silaturahmi dan saling memberi pelajaran mengenai pentingnya kesadaran sikap untuk terus melakukan perbaikan lingkungan,” jelas Idham.

Dikatakan Idham bahwa jenis mangrove yang ditanam pada kegiatan itu adalah jenis Rhizophora mucronata yang dianggap cocok untuk kondisi tanam di daerah tersebut.

“Paling bagus ditanam dalam bentuk propagul, karena lebih mudah beradaptasi dan lebih gampang penanamannya. Penanaman dilakukan dengan jarak pendek, yaitu 20-30 centimeter, bertujuan agar bibit mangrove saling menguatkan dan tidak mudah terhempas ombak,” jelasnya.

baca juga : Nelayan Kepiting Ini Merasakan Manfaat Rehabilitasi Mangrove

 

Persiapan penanaman mangrove sebanyak 1.000 bibit. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Keberadaan mangrove di kawasan tersebut dinilai Idham sangat penting, karena berkenaan dengan pendapatan masyarakat setempat yang bekerja sebagai pengumpul/penangkap kepiting rajungan. Keberadaan kawasan mangrove sangat berkaitan dengan melimpahnya rajungan di daerah tersebut.

“Di samping itu, pada kawasan tersebut juga masih rentan krisis air, sehingga dengan melebarnya sempadan mangrove, kemungkinan akan membantu dalam penyediaan air tawar di masa yang akan datang.”

Dengan tertanamnya 1000 bibit mangrove tersebut, Program Akuakultur sendiri, hingga 22 April 2021, telah melakukan penanaman sebanyak 199.685 bibit mangrove dengan perkiraan luas area yang telah ditanam yaitu 23 hektar.

“Untuk wilayah Binangasangkara sendiri, penanaman ini merupakan penanaman yang ke-5 kali, dengan jumlah bibit yang telah ditanam yaitu 25.000 bibit, dengan kemungkinan hidup sebesar 15.900 bibit atau dengan daya hidup sekitar 63 persen.”

Menurut Idham, ada dua alasan sehingga praktik-praktik perikanan harus melakukan rehabilitasi mangrove. Pertama, ekosistem mangrove sebagai habitat kritis. Praktik perikanan di wilayah pesisir pada umumnya dimulai dengan membuka lahan di kawasan mangrove.

“Contoh di Kabupaten Pinrang, pada tahun 1985 telah dilakukan konversi lahan mangrove ke lahan tambak sekitar 85 persen. Sedangkan kawasan pesisir merupakan habitat kritis, lantaran begitu banyaknya organisme yang bergantung pada ekosistem pesisir.”

Alasan kedua, perbaikan ekosistem mangrove dapat memperbaiki lingkungan peruntukan budi daya udang. Secara umum, paradigma yang berkembang dalam dunia perudangan yaitu penyebab munculnya penyakit pada udang disebabkan oleh menurunnya kualitas lingkungan, yang mendorong berkembangnya patogen yang menyerang inang.

“Perbaikan lingkungan dengan rehabilitasi mangrove dapat berarti menyeimbangkan keanekaragaman hayati di sekitar tambak, dan dapat meminimalisir patogen-patogen yang berbahaya,” tambahnya.

baca juga : Kembali Lebat, Ini Cerita Sukses Rehabilitasi Mangrove Kurricaddi

 

Sejak tahun 2017 Program Akuakultur WWF-Indonesia telah melakukan serangkaian kegiatan penanaman mangrove di Sulsel, mencakup 23 hektar lahan menggunakan 199.685 bibit. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Selain itu, akar mangrove dapat menyerap bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh praktik perikanan, seperti amoniak dan hidrogen sulfida (H2S) yang berbahaya bagi kehidupan organisme budidaya. Sedangkan daun-daunnya dapat menjadi serasah yang berguna untuk menyuburkan lahan, di samping berguna sebagai antibiotik alami/bakterisida di sekitar tambak.

Menurut Idham, salah satu dampak kegiatan penanaman mangrove ini yaitu terhubungnya organ-organ yang peduli terhadap lingkungan, sehingga menambah spirit perjuangan anak-anak muda untuk berbuat lebih untuk perbaikan lingkungan.

“Ini adalah momentum yang luar biasa mengumpulkan begitu banyak milenial penggiat lingkungan dari tiga daerah, selama ini mungkin bekerja dan berjuang sendiri-sendiri, namun kini bisa berkumpul dan saling kenal. Ini penting dalam menumbuhkan spirit untuk terus berjuang menjaga lingkungan yang banyak terdegradasi akibat eksploitasi yang berlebihan.”

Yohanes, penggiat lingkungan dari Kabupaten Maros, mengaku bangga bagian dari upaya penyelamatan lingkungan sebagaimana tujuan dari kemah konservasi ini. Dalam beberapa tahun terakhir, ia bersama teman-teman komunitasnya telah melakukan banyak kegiatan lingkungan, seperti tanam mangrove, kampanye pengurangan sampah hingga literasi lingkungan di jalan-jalan dengan membuka lapak baca buku.

“Dengan berkumpul bersama seperti ini, kita bisa saling belajar, menimba ilmu dari pakarnya, dan memahami realitas yang terjadi saat ini dengan menonton dua film dokumenter terkait lingkungan. Dengan menanam mangrove kita bisa mewariskan lingkungan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Semoga kegiatan ini bisa menjadi kegiatan tahunan, mungkin dengan tema-tema yang berbeda,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama : Aksi penanaman mangrove di kawasan wisata mangrove Dewi Biringkassi, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu pagi (7/4/2019) oleh puluhan mahasiswa dari Aquaculture Celebes Community (ACC), dan pencinta alam Greenfish Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version