Mongabay.co.id

Lokasi Tambang PT Dairi Prima Mineral Berada di Daerah Rawan Bencana

Aksi protes warga Dairi, atas rencana operasi perusahaan tambang seng. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hasil kajian memperlihatkan rencana penambangan seng di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, oleh PT Dairi Prima Mineral (Dairi Prima) berada di atas patahan gempa atau sesar aktif. Kondisi ini rawan dan sangat berbahaya apalagi di sana sedang terbangun tanggul untuk kolam limbah tambang. Kalai terjadi gempa, tanggul bisa jebol, kolam limbah hancur maka tak terbayang dampak yang bakal menimpa manusia dan lingkungan sekitar.

Berbagai kalangan mempertanyakan sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM)     yang memberikan izin kepada perusahaan tanpa melihat risiko. KESDM dianggap tak melakukan kajian mendalam terkait manajemen risiko sebelum memberikan izin kepada Dairi Prima.

Richard Meehan, ahli teknik sipil dan pembangunan Dam/Bendungan dari Stanford University khawatir tanggul kolam limbah (tailing storage facility/TSF) yang akan dibangun perusahaan.

Hasil kajian dia menyimpulkan, ada sesar aktif di lokasi itu dan tanggul tailing atau lokasi penampungan limbah tambang rawan runtuh. Kolam itu berada di dataran tinggi dengan struktur tanah tidak stabil terbentuk dari Toba tuff (debu vulkanik Toba yang mengeras).

Lokasi pembangunan, katanya, juga berada di daerah dengan curah hujan tinggi serta tanggul dekat dengan jalur patahan yang telah memicu Tsunami Boxing Day pada 2004.

Belum lagi, tragedi pernah terjadi di kolam limbah tambang di Brazil yang jebol pada 2019 dan  menewaskan 65 orang.

Untuk menilai rinci risiko tanggul limbah runtuh, katanya, perlu informasi geologis, namun Dairi Prima tidak menyediakan informasi ini sama sekali.

 

Baca juga: Warga Dairi Resah Kehadiran Perusahaan Tambang Seng

 

Ahli hidrologi dari Malach Consulting, Steven Emmerman juga angkat bicara. Meehan dan Emmerman terlibat dalam Sekretariat Bersama Advokasi Tolak Tambang Dairi Prima.

Emmerman mengatakan, Dairi Prima harus memiliki rencana penutupan aman di tanggul limbah. Mereka juga harus ada rencana, pemantauan dan pemeliharaan tanggul limbah dalam waktu lama, supaya tidak jadi sumber bahaya bagi generasi mendatang.

Perusahaan, katanya, juga tidak bisa memberikan jaminan ada tanaman lokal yang akan berhasil tumbuh di sekitar tanggul limbah seng.

Menurut dia, pembangunan kolam limbang di Tiongkok, dengan jarak 1.000 meter dari rumah warga dan rumah ibadah. Kalau di Dairi, Indonesia, tak berlaku. Dairi Prima bahkan tak menyebutkan dari mana sumber air untuk tambang atau perkiraan pemakaian air sebesar apa.

“Ini penting karena masyarakat sekitar tambang sangat tergantung dengan air sungai untuk keperluan pertanian dan kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Teuku Abdullah Sanny, pakar geofisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, pemerintah harus inspeksi dengan serius. Jangan sampai, katanya, menimbulkan problem besar ke depan.

Ada UU yang mengatur pembuatan bendungan (tanggul), terlebih berada di daerah rawan gempa dan longsor. Untuk itu, katanya, perusahaan harus memperhatikan manajemen risiko bencana dengan baik dan benar.

Sanny bilang, kalau melihat di lokasi tambang ini dari peta satelit, tanah sudah terlihat terbuka meskipun jenis bebatuan relatif padat. Namun, katanya, ketika terjadi pengambilan bahan tambang terlebih proses ledakan maka semua akan hancur.

”Ledakan dinamit dan sisa-sisa bahan akan menimbulkan masalah besar. Risiko paling fatal, adalah manusia di bawahnya akan terdampak. Ini bahaya sekali,” katanya.

Dia menekankan, harus ada kajian serius dalam proyek-proyek pembangunan seperti ini terlebih di lokasi rawan bencana gempa dan longsor.

 

Aksi di daerah dan Jakarta

Pada April lalu, ratusan warga Dairi aksi unjuk rasa. Aksi penolakan juga mereka lakukan pada 3 Mei lalu di Kantor Bupati dan DPRD Kota Sidikalang.

Warga, menuntut Bupati Dairi, Eddy Keleng Ate Berutu mencabut surat keterangan kelayakan lingkungan hidup (SKKLH) No 731 November 2005, yang selama ini jadi landasan hukum bagi tambang beroperasi.

SKKLH itu keluar oleh bupati Dairi sebelumnya. Warga juga mendesak bupati segera mengambil sikap dan tindakan, menolak pertambangan dan sampaikan pada pemerintah pusat.

Selain itu, warga yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Advokasi Tolak Tambang ini, mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, agar menghentikan seluruh proses pembahasan perubahan analisis mengenai dampak   lingkungan (amdal) dan rencana pengelolaan lingkungan (RPL-RKL) tipe A yang sudah diajukan Dairi Prima.

Dalam perubahan amdal itu, perusahaan mengajukan tiga perubahan dalam izin lingkungan, mulai dari perubahan izin lokasi gudang bahan peledak, kolam limbah, dan penambahan lokasi mulut tambang (portal).

Bagi warga, penambangan seng di kawasan risiko gempa dan banjir bandang ini, mempertaruhkan keselamatan penduduk Dairi. Ia juga berpotensi menggusur lahan-lahan pertanian produktif, sumber air, sungai dan kawasan hutan yang, semua sumber hidup utama warga Dairi.

Data dari Jatam, Dairi Prima, merupakan perusahaan patungan antara Non Ferrous (NFC), konglomerat pertambangan berbasis di Beijing, Tiongkok dengan kepemilikan saham 51% dan perusahaan tambang Indonesia, Bumi Resources, milik keluarga Aburizal Bakrie, dengan kepemilikan saham 49%.

 

Baca juga: Mereka Desak KLHK Tolak Pengajuan Perubahan Amdal Dairi Prima Mineral

Kakao, salah satu tanaman pertanian warga Dairi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dairi Prima mendapatkan kontrak karya No.99 PK 0071,18 Februari 1998 dari KESDM dengan luas konsesi 24.636 hektar. Konsesi tambang Dairi Prima tersebar di tiga kabupaten, yakni Dairi, Pakpak Barat (Sumatera Utara) dan Aceh Singkil (Aceh).

Gerson Tampubolon, koordinator lapangan aksi mengatakan, ada beberapa alasan warga menolak  tambang. Pertama, tambang menghancurkan lahan pertanian, sumber air sungai, dan hutan.

Data Yayasan Diakona Pelangi Kasih, masyarakat di sekitar lokasi Dairi Prima bermata pencaharian sebagai petani yang hidup bergantung kepada sumber daya alam seperti air, tanah, sungai dan hutan. Sekitaran 76% warga bekerja sebagai petani dan mengandalkan hidup dari hasil pertanian generasi ke generasi.

Komoditi andalan masyarakat antara lain, padi, jagung, coklat, kopi, durian, kemiri, duku, manggis, pinang, kapulaga, pisang, jeruk purut, dan gambir. Hasil pertanian masyarakat ini merupakan penyangga utama bahan pangan di Dairi serta berbagai wilayah di Sumatera Utara.

Kedua, pembangunan bendungan penyimpanan limbah tailing di atas patahan gempa. Kolam penyimpanan limbah tailing beracun berlokasi di hulu Desa Longkotan, Dusun Sopokomil, Kecamatan Silima Pungga-pungga ini, mempertaruhkan keselamatan ratusan ribu jiwa. Juga lahan pertanian, sungai, serta sumber air bagi warga di hilir.

Dia perkirakan, ada 11 desa dan 57 dusun berpotensi besar terimbas kalau pembangunan bendungan limbah tailing beracun itu terus jalan. Ratusan ribu warga itu tersebar di Kecamatan Silima Pungga-pungga, sampai ke Aceh Singkil, Aceh, akan terdampak kalau kolam limbah beracun hancur atau jebol.

Ketiga, ancaman bahan peledak sesuai dengan dokumen amdal dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk Dairi Prima yang terbit dari KLHK pada 2012.

Dalam amdal, kata Gerson, gudang bahan peledak terbangun dalam kawasan hutan, kenyataan di areal penggunaan lain (APL), tak jauh dari pemukiman dan peladangan warga.

Lokasi gudang bahan peledak berada di Dusun Sipat, Desa Lonkotan, Silima Pungga-pungga.

Keempat, tambang merusak hutan dan biodiversitas yang ada. Luas konsesi 24.636 hektar, ada 16.050 hektar di hutan lindung.

Dalam rencana Dairi Prima akan membangun fasilitas pendukung, mulai dari infrastruktur seperti jalan, terowongan, perumahan dan fasilitas lain. Alih fungsi hutan ini akan mengancam keselamatan keragaman hayati flora dan fauna begitu tinggi di sana.

Dalam berita Mongabay sebelumnya, Achmad Zulkarnain, Manager External Relation PT. Bumi Resources Mineral, induk PT Dairi Prima Mineral merespon berbagai kekhawatiran dan keberatan atas rencana operasi perusahaan termasuk perubahan amdal dengan memaparkan beberapa hal tanpa memberikan penjelasan detil atas klaimnya.

Dia sebutkan beberapa poin, pertama, adendum amdal itu sebagai bentuk kepedulian perusahaan mengantisipasi dan meminimalisir kerusakan lingkungan di lokasi tambang.

Kedua, untuk gudang penyimpan bahan peledak jarak dengan rumah penduduk lebih kurang 100 meter, namun dianggap tidak berbahaya karena detonator dan dinamit tak dalam satu tempat melainkan terpisah. Kemungkinan meledak, katanya, sangat kecil karena keduanya tidak dalam satu tempat.

Ketiga, untuk pengolahan limbah sampai saat ini mereka belum produksi atau proses masih dalam pembangunan infrastruktur. Kalau nanti sudah produksi, dia mengklaim akan mempertimbangkan sebaik mungkin.

Tanpa menjelaskan detil metode atau sistem yang mereka gunakan, dia hanya bilang tidak akan ada pencemaran di sungai atau rumah penduduk dampak produksi tambang.

Rinawati Sinaga, Koordinator Lapangan Masyarakat Dairi tergabung dalam Sekretariat Bersama Advokasi Tambang Sumatera Utara mengatakan, Bupati Dairi harus mencabut surat keputusan kelayakan lingkungan hidup Nomor 731 terbit November 2005. Juga, katanya, sekaligus mengeluarkan surat rekomendasi penolakan pembahasan perubahan amdal Dairi Prima.

 

Warga Dairi tolak tambang PT Dairi Prima Mineral. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan mengajukan perubahan amdal kepada KLHK. Dia mendesak, KLHK menolak dan meminta setop pembahasan amdal beserta dokumen turutannya.

DPRD Dairi pun, katanya, harus berperan aktif mendukung masyarakat Dairi. Dia meminta, wakil rakyat ini segera membentuk panitia khusus guna membantu masyarakat memperjuangkan hak–hak ekonomi, sosial budaya dan hak sipil serta politiknya.

“Gerakan masyarakat Dairi mengajak semua komponen membangun solidaritas seluas-luasnya, menolak rencana jahat perusahaan yang terus diberi keistimewaan oleh pemerintah, ” kata Rinawati.

Pada pertengahan April lalu, perwakilan warga berangkat ke Jakarta mendatangi KLHK. Sekretariat Bersama Tolak Tambang dan warga sekitar tambang Dairi Prima melakukan pertemuan dengan KLHK di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, mereka diterima dua Direktorat Jenderal KLHK yakni Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan serta Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya.

Tongam Panggabean, Direktur Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mengatakan, kedatangan mereka ke KLHK untuk menyampaikan beberapa analisis risiko bencana lingkungan dan sosial.

Kajian dan analisis ini mereka sampaikan kepada KLHK untuk pertimbangan agar tak menyetujui perubahan amdal perusahaan. Dairi Prima, beroperasi di Dairi tepatnya di Kecamatan Silima Pungga-pungga dan Lae Parira.

Tongam menyampaikan, pertemuan ini bukanlah yang pertama. Pada 16 Desember 2019, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan KLHK, Ary Sudijanto berjanji menindaklanjuti pengaduan mereka. Sayangnya, sampai sekarang belum ada jawaban pasti, terutama mengenai timeline pembahasan perubahan amdal itu.

“Kami juga sudah menempuh berbagai cara termasuk menyurati Komisi Informasi Publik untuk mendapatkan informasi terkait Dairi Prima, terutama informasi geologi, namun belum ada tindak lanjut.”

 

 

Op. Rainim Boru Purba, perwakilan warga Dairi dalam pertemuan di KLHK mengatakan, partisipasi masyarakat juga sangat minim dalam penyusunan amdal Dairi Prima. Terbukti, sampai sekarang warga tidak mengetahui apa yang akan perusahaan lakukan di tanah mereka.

Tiba-tiba saja sudah ada pembangunan gudang bahan peledak dan kolam limbah.

Dia mendesak, KLHK menolak bahas amdal karena banyak persoalan yang berpotensi sangat merugikan masyarakat.

Saat mendatangi Gedung Manggala di Jakarta, perempuan petani ini juga membawa berbagai macam hasil tani, Dia ingin menunjukkan kepada kementerian.

Dia berharap, kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya ini memikirkan nasib masyarakat yang tinggal di sekitar tambang.

Rainim mengatakan, pertanian adalah hidup mereka. Dari sanalah, andalan penopang hidup untuk sehari-hari termasuk pendidikan anak-anak mereka.

“Kalau tambang datang hilanglah nanti kopi, kapulaga juga durian kami yang terkenal enak itu…”

Ketika tambang datang, dia juga takut sumber air tercemar atau hilang. “Boha ma annong molo mago i tu dia ma hami? (bagaimana nanti kalau hilang, kemana kami?).”

Rini Sinaga, warga Desa Bongkaras menyampaikan kekhawatirannya. “Kami makan dari tani bukan tambang, tidak ada urusan kami dengan tambang. Kami menolak tambang hadir di desa kami.”

Rohani Manalu dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) menyatakan, kehadiran Dairi Prima tidak memenuhi standar lingkungan hidup dan berpotensi mengancam ekologi serta bencana alam.

Belum lagi sumber hidup warga dari bertani akan terancam. Pendapatan daerah Dairi itu 46% adalah dari sektor pertanian.

“Durian yang enak tadi dihasilkan dari sana, kalau tambang datang mungkin lima atau 10 tahun lagi kita tidak bisa lagi menikmati durian itu. ”

Duat Sihombing, Kepala Advokasi Petrasa mengatakan, rakyat bukan anti pembangunan tetapi pembangunan juga harus melihat kerawamam bencana di lokasi pembangunan. Hal ini, katanya, selaras dengan yang disampaikan Presiden Joko Widodo soal pembagunan harus memperhatikan risiko bencana.

Dari sisi teknik, Eko Teguh Paripurno, pakar mitigasi bencana dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jogyakarta yang hadir dalam pertemuan itu menyampaikan, sangat perlu peran negara dalam memitigasi resiko bencana dampak pembangunan. Risiko bencana di lokasi Dairi Prima sangat terbuka karena struktur tanah tidak kuat menahan tanggul limbah dengan kapasitas besar.

”Kita jangan seperti pencopet, bisa mengambil empat sampai enam dompet setiap hari dan menikmati uang tapi tidak memikirkan dampak terhadap pemilik dompet.”

Menurut dia, segelintir orang bisa mendapatkan jutaan dolar dari tambang tetapi tidak pernah memikirkan dampak kepada orang sekitar tambang.

KLHK, katanya, jangan menjadi lembaga yang ikut membunuh masyarakat di sana.

Apa kata KLHK? Jansen Silalahi, Kepala Bidang di Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK menyatakan, kalau masyarakat punya data dan bukti terkait sumber air, berharap bisa disampaikan kepada mereka. Dia bilang, sangat penting bagi KLHK sebagai pertimbangan rekomendasi soal amdal Dairi Prima.

“Namun kami tidak bisa mengatakan sekarang itu layak atau tidak karena harus melalui kajian dari tim.”

Saat pertemuan dengan KLHK itu, Tim Sekretariat Bersama menyerahkan beberapa data kepada KLHK agar menjadi bahan pertimbangan dalam kajian amdal perusahaan.

 

 

*****

Foto utama:  Aksi protes warga Dairi, atas rencana operasi perusahaan tambang seng. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version