Mongabay.co.id

Membangun Komitmen Banyak Pihak untuk Melindungi AKP dengan Penuh

 

Ketiadaan data tunggal pekerja migran Indonesia (PMI) yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) dinilai menjadi penyebab terjadinya tata kelola yang semrawut saat ini. Namun, selain itu juga penyebab lainnya, adalah karena AKP banyak bekerja pada kapal perikanan asing (KIA) secara individual atau skema mandiri.

Kondisi tersebut, dinilai sangat beresiko tinggi karena menjadi sulit untuk dipantau ataupun diawasi oleh Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, jika ada sesuatu terjadi pada AKP yang sedang bekerja di kapal tersebut, itu akan sulit untuk ditangani, meski itu terjadi secara kasat mata.

Demikian penilaian Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani saat berbicara di Jakarta belum lama ini. Menurut dia, kondisi tersebut bisa terjadi karena dari awal Indonesia tidak memiliki data tunggal PMI yang berprofesi sebagai AKP.

BP2MI mencatat, dalam kurun waktu setahun terakhir menangani kasus AKP, sebanyak 432 kasus itu adalah mereka yang bekerja di atas laut. Kemudian, masalah yang dihadapi juga bervariasi, namun yang terbanyak adalah masalah gaji yang tidak layak dan tidak dibayarkan sepenuhnya.

“Dari kepulangan AKP sebanyak 22.553, terbanyak adalah karena persoalan gaji,” ungkap dia.

baca : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok

 

Ilustrasi. Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, masalah lain yang muncul adalah karena jam kerja yang tidak terbatas, kondisi kerja yang tidak manusiawi, tidak adanya jaminan sosial dan keselamatan kerja, serta karena adanya tindak kekerasan yang menimpa mereka saat sedang bekerja di atas kapal.

Benny menjelaskan, dari permasalahan yang dihadapi para AKP tersebut, bisa disimpulkan ada sejumlah masalah krusial yang masih terus ada hingga sekarang. Di antaranya, perihal isi perjanjian kerja, dan perihal kondisi kerja.

Selain itu, karena tidak adanya kontrol secara memadai oleh institusi Pemerintah, penempatan oleh usaha keagenan AKP (manning agency) tidak melalui mekanisme yang diatur Undang-Undang, dan tidak adanya basis data terpadu yang terintegrasi, baik basis data manning agency, basis data AKP yang ditempatkan, basis data agensi di luar negeri, serta basis data pengguna jasa.

“Sehingga sulit untuk menangani kasus dengan segera,” tutur dia.

Selain masalah-masalah di atas, ada satu masalah lagi yang krusial, yakni berkaitan dengan Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang tidak memihak AKP dan itu menyebabkan banyaknya manning agency dan pemilik kapal lepas dari tanggung jawab perlindungan AKP.

 

Penyumbang Devisa

Di lain pihak, keberadaan PMI yang bekerja sebagai AKP juga sudah menyumbangkan devisa bagi Negara, karena mereka rutin selalu melakukan transfer uang dari negara tempat mereka bekerja ke kota di Indonesia tempat keluarga masing-masing AKP tinggal dan berada.

Namun, remitansi yang biasa dilakukan para AKP tersebut kemudian terganggu karena dunia sedang dilanda pandemi COVID-19. Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI Suhartono, setidaknya sebanyak 8.973 orang PMI tertunda keberangkatannya karena pandemi.

“Hal ini mengakibatkan hilangnya potensi remitansi sekitar Rp3,8 triliun yang dapat menggerakkan perekonomian di daerah asal Pekerja Migran,” jelas dia.

baca juga : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

 

Sebanyak 157 awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia, termasuk dua jenazah yang berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia dari Republik Rakyat Tiongkok pada November 2020. Foto : Hubla Kemhub

 

Walau menyumbangkan devisa yang tidak sedikit bagi Negara, namun persoalan AKP yang dipicu karena kesemrawutan tata kelola penempatan lokasi kerja, dinilai menjadi masalah yang harus dicarikan jalan keluar segera agar para AKP tidak lagi mengalami perlakuan tidak menyenangkan.

Menurut Sekretaris Jenderal Indonesian Fisherman Manning Agents (IFMA) Sonny Pattiselanno, salah satu solusi yang bisa diambil adalah dengan menghentikan sementara pengiriman PMI sebagai AKP ke berbagai kapal perikanan di dunia.

Bahkan, IFMA mengaku sudah mengusulkan moratorium pengiriman AKP kepada sejumlah instansi Negara yang terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Perhubungan RI, dan Kementerian Luar Negeri RI.

“Kami udah mengirimkan surat ke beberapa instansi terkait, tujuannya agar (bisa) memberikan efek jera ke pemilik kapal perikanan yang dituju, terutama di Republik Rakyat Tiongkok,” ucap dia.

Selain kepada instansi Negara, Sonny Pattiselanno juga mengatakan bahwa pihaknya sudah mengirimkan surat resmi kepada pemilik kapal perikanan ataupun agen ketenagakerjaan yang ada di Taiwan.

Langkah-langkah tersebut menjadi bagian dari strategi IFMA dalam mencegah perekrutan dan penempatan pelaut perikanan yang bekerja pada kapal perikanan asing secara ilegal. Selain mengusulkan moratorium, konsolidasi organisasi antar usaha keagenan juga dilakukan dengan cepat.

“Kami juga memberikan peringatan melalui surat yang dikirimkan kepada owner ataupun principal yang berkaitan dengan kapal perikanan, pengiriman, dan penempatan AKP,” ungkap dia.

perlu dibaca : Pentingnya Memahami Kondisi Kerja di Atas Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Dalam kunjungan pertama kali di pelabuhan terbesar di wilayah pantai utara Jawa Timur ini Presiden kelahiran Solo tersebut disambut antusias oleh para nelayan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, strategi yang dijalankan oleh IFMA agar tidak ada AKP yang bekerja ilegal di kapal perikanan asing, adalah dengan memberikan pembinaan kepada usaha keagenan yang menjadi anggota, dan mendampingi anggota untuk mengurus Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).

Terakhir, strategi yang dijalankan saat ini adalah memberikan bekal yang cukup kepada seluruh anggota IFMA tentang regulasi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, pengiriman PMI, dan juga kapal perikanan yang berlaku di Indonesia dan negara tujuan.

 

Perlindungan Penuh

Sementara itu, Ketua Dewan Pengarah Satuan Tugas Pemberantasan Sindikat Pengiriman PMI Secara Ilegal Suhardi Alius menegaskan bahwa terlepas dengan kesemrawutan tata kelola yang ada di tingkat Pemerintah, PMI tetap harus mendapatkan perlindungan yang penuh.

Dengan cara tersebut, PMI yang bekerja sebagai AKP akan terlindung dari upaya perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia (HAM).

Menurut dia, agar bisa memberikan perlindungan penuh, Pemerintah memang harus melaksanakan tugas utamanya untuk memberikan perlindungan dengan melakukan pengawalan dan pengawasan sejak AKP memulai proses awal untuk melamar bekerja.

Dari proses tersebut, ada tiga fase yang bisa dikawal oleh Negara untuk melindungi warganya yang bekerja sebagai AKP. Yakni, dari sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja. Ketiga proses tersebut harus bisa mendapatkan pengawasan penuh.

Untuk fase sebelum bekerja, proses yang bisa diawasi adalah berkaitan dengan informasi lowongan pekerjaan yang berasal dari calo, dan kemudian berkaitan dengan perjanjian kerja yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Lalu, fase selama bekerja yang harus diawasi, adalah bagaimana para AKP bekerja di atas kapal perikanan dengan menjalani jam kerja yang tidak manusiawi. Selain itu, saat di atas kapal, AKP juga berpotensi mendapatkan kekerasan verbal dan fisik.

baca juga : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Fase terakhir yang harus juga tak boleh lengah dan harus diwaspadai, adalah setelah bekerja di atas kapal perikanan. Ancaman fase tersebut, adalah munculnya kasus pemotongan gaji para AKP yang dilakukan manajemen kapal perikanan.

Pada fase tersebut, para AKP yang bekerja pada kapal perikanan juga bisa saja menghadapi ancaman yang akan datang kapan saja, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh manajemen kapal, walau status kontrak kerja masih belum berakhir.

Untuk itu, Suhardi Alius membeberkan strategi penegakan hukum yang bisa dijalankan oleh seluruh pihak yang terkait. Strategi tersebut, di antaranya adalah penerapan pendekatan penegakan hukum multi-door, penerapan corporate criminal liability (CCL), dan kerja sama internasional.

 

Exit mobile version