Mongabay.co.id

Perlu Penertiban Tambang Emas Ilegal di Sumbar Pasca Jatuh Korban Jiwa Berkali-kali

Sejak beberapa tahun silam, Daerah Aliran Sungai Batanghari yang berada di Provinsi Sumatera Barat dikeruk secara ilegal demi kandungan emas yang terdapat di dalamnya. Beberapa hari yang lalu, tepatnya sesaat sebelum Idul Fitri tambang emas yang berada di wilayah Kabupaten Solok Selatan, datang menghadirkan petaka.

Puluhan orang petambang tertimbun longsor di Kecamatan Sangir Batanghari, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat pada Senin, 10 Mei 2021. Sebagian besar diantaranya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia.

Kasus kecelakaan di lubang tambang ini bukanlah kecelakaan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, insiden serupa di lokasi yang sama terjadi pada 11 Januari 2021 yang menewaskan empat orang petambang.

Pada April 2020, Sembilan orang petambang juga tewas tertimbun longsor lubang tambang di daerah yang sama. Bila tidak segera ditertibkan, korban akibat insiden serupa dapat dipastikan akan terus berjatuhan.

Insiden tertimbunnya penambang yang terakhir ini menarik perhatian pejabat. Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini pun datang meninjau lokasi secara langsung.

Dalam kunjungannya, Mensos memberikan sejumlah uang kepada korban sebagai santunan. Baik kepada keluarga korban yang meninggal dunia maupun luka.

Persoalan tambang emas ilegal ini butuh penindakan lebih lanjut. Dalam kunjungannya, Mensos percaya Bupati Solok Selatan, Khairunnas mampu mencarikan pekerjaan lain bagi petambang.

Sementara itu, Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah meminta pemerintah pusat melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan dan penambang ilegal yang menggunakan alat berat di Kabupaten Solok Selatan (Solsel).

Permintaan Gubernur ini didasarkan pada kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan keberadaan tambang emas yang terus memakan korban jiwa karena longsor lubang tambang yang berulang.

Sayangnya, harapan Mensos dan Gubernur Sumber tersebut tampaknya sulit terjawab. Bupati Solok Selatan, Khairunnas justru mengatakan memberikan izin pertambangan sebagai solusi untuk mengatasi masalah tambang emas ilegal yang ada di Kabupaten yang dikenal dengan julukan “sarantau sasurambi” tersebut.

Baca juga: Penghentian Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Sumbar Butuh Komitmen Penuh Para Pihak

 

Kondisi Sungai Batang Hari di kawasan Hutan Lindung Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat, yang rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal [23/11/2019]. Foto: Dok Tim BNPB

 

Dilema

Bagi pemerintah daerah Solok Selatan, persoalan tambang emas ilegal memang menjadi sebuah dilema.  Bila ditertibkan, konsekuensinya bakal menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Tapi jika dibiarkan, kerusakan lingkungan akan semakin parah.

Pekerjaan lain sebagaimana yang diharapkan Mensos sebenarnya adalah jalan terbaik. Sebab bahaya dan kerugian yang ditimbulkan akibat pertambangan emas ilegal tersebut tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat.

Selain mengancam keselamatan petambang, tambang ilegal juga berpotensi menghadirkan bencana di masa yang akan datang. Terlebih, sebagian besar lubang-lubang bekas tambang dibiarkan menganga tanpa adanya reklamasi.

Berdasarkan hasil pemantauan Tim Gabungan BNPB, Harian Kompas, dan pemerhati lingkungan hidup di Solok Selatan pada akhir 2019, ditemukan fakta bahwa kawasan hutan lindung yang berada di daerah aliran sungai Batanghari telah mengalami kerusakan parah.

Lokasi pertambangan emas ilegal ini menyebar hampir di semua daerah aliran sungai yang bermuara ke Sungai Batanghari bagian hulu.

Jelas dalam persoalan ini solusi pemberian izin yang direncanakan Bupati Khairunnas bukanlah hal yang bijak dalam menanggapi persoalan ini.

Kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari aktifitas pertambangan tersebut tidak akan berkurang. Aktifitas penambangan akan selalu dilakukan dengan cara yang sama, yakni dengan menggunakan alat berat tanpa adanya standard keselamatan yang jelas.

Penggunaan alat berat jenis eskavator juga menjadi indikasi bahwa para petambang bukanlah orang-orang yang tidak memiliki alternatif pekerjaan selain menambang. Pasalnya, harga satu unit alat berat tidaklah murah.

Bila jumlah uang tersebut dibelikan alat berat tersebut tentu mereka bakal mampu membuka lapangan pekerjaan selain menambang emas. Alasan banyak petambang yang akan kehilangan pekerjaan bila tambang ilegal ini ditertibkan hanyalah alibi untuk menutupi keserakahan sekelompok orang.

Dalam konteks ini, patut dicurigai pula bahwa ada keterlibatan elit politik Solok Selatan dalam usaha pertambangan ilegal tersebut. Banyak pihak yang menginginkan agar tambang emas ini tetap hidup

Baca juga: Ketika Penambangan Emas Liar Mengancam Identitas Minangkabau

 

Lokasi ditemukannya 9 penambang yang tewas tertimbun di Talakiak, Nagari Ranah Pantai Cermin, Kecamatan Sangir Batang Hari [SBH], Kabupaten Solok Selatan Sumatera barat, pada Sabtu (18/4/2020). Foto: Istimewa/Mongabay Indonesia

 

Penggunaan Merkuri

Bahaya lain adalah masalah dampak merkuri. Penelusuran BNPB pada 2019, tambang emas menggunakan merkuri ditemukan di sekitar Sungai Baye, Kecamatan Koto Baru, Dharmasraya, dan di sekitar Sungai Pamong Besar, Nagari Lubuk Gadang, Sangir, Solok Selatan. Kedua sungai itu merupakan sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari.

Merkuri adalah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dilarang di seluruh dunia berdasarkan Konvensi Minamata untuk Merkuri. Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 19 Oktober 2017 dan diperkuat melalui Undang-undang No.11/2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata tentang merkuri.

Berdasarkan penelitian beberapa instansi, penggunaan merkuri di pertambangan emas ilegal yang berada di DAS Sungai Batanghari hulu menyebabkan kadungan merkuri di Sungai Batanghari berada pada level sangat berbahaya.

Berdasarkan hasil kajian peneliti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, air Sungai Batanghari yang berada di aliran Batu Bakauik, Kabupaten Darmasraya memiliki kandungan merkuri sebesar 5,198 mg/l, jauh melampaui baku mutu 0,001 mg/l berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.

Baca juga:  Tambang Emas Ilegal di Solok Selatan Makan Korban, 9 Orang Tewas Tertimbun

 

Alam Minangkabau, sawah dan perbukitan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penegakan Hukum 

Faktor keselamatan petambang adalah yang paling utama, sebab pertambangan emas di Solok Selatan sama sekali tidak memiliki standar keselamatan dan jaminan keselamatan petambang. Pun praktik yang dilakukan pun jauh dari ukuran standard operasi pertambangan yang benar.

Pertambangan menggunakan alat berat yang limbahnya dibuang langsung ke sungai sudah pasti tidak memenuhi syarat dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup.

Cara-cara yang dilakukan oleh para penambang tentu sudah melanggar persoalan izin pertambangan yang memerlukan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Hal sama dengan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja yang tetap menempatkan usaha beresiko tinggi sebagai suatu usaha yang wajib Amdal.

Kebutuhan dan ekonomi masyarakat memang perlu dijaga. Tetapi bukan berarti hal itu menjadi alasan pembenar untuk membiarkan tambang ilegal yang selalu mengundang bencana.

Dari sisi keselamatan petambang, lingkungan maupun kesehatan masyarakat, hasil yang diperoleh dari pertambangan emas ilegal yang ada di Sumatera Barat tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkannya.

Berdasarkan hal di atas, sudah waktunya pemerintah menindak tegas dan menutup pertambangan emas yang ada di Solok Selatan, maupun Kabupaten Lain di Sumatera Barat.

 

* Antoni Putra,  penulis adalah Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama:  Batuan yang mengandung emas di Hutan Hutabargot, Mandailing Natal . Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version