Mongabay.co.id

Memilah Sampah di Gang Sari Dewi Kala Pandemi

  1. Pemilahan dan pengelolaan sampah di tingkat komunal belum banyak dilakukan di Bali.
  2. Saat pandemi ini, warga di sebuah gang menunjukkan mau belajar memilah ketika volume sampah meninggi dan alokasi anggaran pengelolaan sampah terkena realokasi dampak COVID-19.
  3. Pemilahan sampah di sumber seperti rumah dan kantor dinilai strategis untuk mengurangi volume residu sampah di TPA yang sudah overload.
  4. Pengurangan sampah atau gerakan zero waste juga makin banyak dilirik karena refleksi penangananya di masa lalu.

 

Warga di sebuah gang kecil di padatnya Kota Denpasar, Bali, memperbaiki kualitas lingkungannya di tengah pandemi COVID-19 ini. Peraturan pengelolaan sampah di sumber terlihat indah di atas kertas, namun perlu nyali mewujudkannya di tingkat komunal, seperti para perempuan di gang Sari Dewi.

Warga belajar memilah sampah tujuh bulan terakhr, saat volume sampah malah meningkat, walau warga lebih banyak di rumah saat pandemi.

Warung Komang Ariani terlihat bersih. Jalan tanah di sekitarnya baru saja usai disapu pada sore hari itu. Tiga karung bekas tergantung di sebuah papan di tembok rumahnya. Tulisannya anorganik, organik, dan B3 (bahan berbahaya dan beracun)/residu.

Dalam kantong anorganik, isinya kebanyakan plastik bungkus cemilan dan gelas minuman kemasan, sampah dari warungnya. Sedangkan organik isinya dedaunan dan sisa canang, sesajen usai sembahyang tiap hari.

Di kantong B3 atau residu isinya sedotan, kertas bungkus nasi yang mengandung lapisan plastik, dan plastik mika. “Popok bayi dan pembalut juga harus dibuang di sini, tidak bisa didaur ulang,” serunya. Perempuan paruh baya yang baru memahami sampah ini sudah terlihat mahir menjelaskan.

Ariani merasakan perubahan ketika tujuh bulan lalu mulai memilah sampah di gang. Dari sekitar 4 karung sampah per 3 hari, kini anorganik terpilah hanya menjadi satu karung. Karena sebelumnya organik seperti daun kering dan sisa makanan tercampur.

Bahkan sampah di kantong anorganik itu bisa dijual ke bank sampah di gangnya juga. Warga membuat bank sampah cabang karena bank sampah utama di banjar (setingkat RT/RW) cukup jauh dari Gang Sari Dewi, Jalan Nangka ini. Inilah lokasi mukim hampir 80 KK yang memulai memilah sampah selama pandemi ini.

baca : Tahun Baru 2021, Panen Sampah Laut Lagi di Bali

 

Gang Sari Dewi di Kota Denpasar, Bali, yang kecil namun sangat padat ini ramai dan mengalami masalah sampah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Ariani mengatakan memiliki tabungan di bank sampah sekitar Rp230 ribu selama 5 bulan ini. Bahkan ada anggota gang memboyong sampah anorganik di kantornya untuk dibawa pulang dan ditabung di bank sampah. Sampah residu terbanyak yang tak bisa dijual oleh Ariani adalah pipet, mika plastik, dan styrofoam.

Tetapi tidak semua warga konsisten memilah sampah ke dalam tiga jenis kantong. Ada yang masih mencampur anorganik dengan residu/B3. “Terutama rumah kos-kosan karena terlalu ramai,” sebut Ariani yang didapuk jadi koordinator kelompok Zero Waste Sari Dewi.

Karena sudah terpilah, kini hanya kantong residu yang dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sedangkan sampah organik dibawa ke lokasi penimbunan di banjar, karena warga belum bisa komposting mandiri di rumahnya.

Lokasi komposting kolektif beberapa rumah di gang pun sudah penuh karena sampah organik tidak dicacah. Lubang sampah organik penuh karena belum membusuk.

 

Asal Mula Memilah

Warga gang Sari Dewi yang masuk Banjar Tegeh Sari, Denpasar ini sebelumnya mengisi pandemi dengan mengubah beberapa tempat pembuangan sampah ilegal di kawasannya menjadi kebun bersama, program ini disebut Kebun Berdaya. Kini terlihat ada empat kebun di lokasi terpisah. Dua kebun berisi sayuran, dan satu kebun baru ditata untuk tanaman hias dan bunga oleh warga lanjut usia banjar.

Kebun ini lebih banyak diolah laki-laki, termasuk anak muda banjar. Setelah itu ada kebutuhan material kompos, karena membeli pupuk kompos akan menguras kantong.

Para perempuan menanam dengan wadah-wadah polybag. Di depan warung Ariani nampak ada tanaman terong, bayam, dan lainnya.

baca juga : Menghidupkan Kebun Kolektif di Tengah Pageblug

 

Seorang warga ganng Sari Dewi, Kota Denpasar, Bali dan area pemilahan sampah di depan rumahnya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satu lembaga yang mendampingi, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengajak ibu-ibu bertemu dua bulan sekali untuk pengenalan sampah rumah tangga.

“Bagus juga, lingkungan kita jadi bersih,” kata Ariani. Peralatan seperti karung dan papan dibantu PPLH. Anggota awal adalah 14 perempuan yang menyebut diri kelompok zero waste Sari Dewi. Kemudian ada pemilihan pengurus, terpilihlah Ariani yang terlihat bersemangat jadi koordinator. Selain itu anggota kelompok juga mendapat suara nyinyir. “Dibilang cari nama, padahal gak dapat apa,” Ariani tertawa.

Peralatan dibagi ke rumah-rumah. “Pertama sulit (membiasakan) memilah sampah, lalu dibedakan, ribet,” lanjutnya. Karena itu, para anggota kelompok zero waste ini piket satu bulan mengikuti moci pengangkut sampah ke rumah-rumah warga untuk mengecek apakah sudah dipilah. Jika belum, apa masalahnya.

Untuk warga yang masih sulit memilah sampah, menurutnya, kendalannya kurang edukasi soal manfaat pemilahan. Kelompok ini punya siasat untuk memberi peringatan bagi warga yang membandel dengan mengirimkan surat dari pengurus banjar. Seperti teguran.

Mengelompokkan sampah ini tak mudah. Siasat lain adalah membuat jadwal gotong royong sambil menunjukkan sampah. Kini, anak-anak pun menurutnya mulai peduli dengan tidak membuang sampah sembarangan di gang.

baca juga : Inilah Para Pahlawan Sampah Bali

 

Tiga karung pemilahan sampah yang dipasang depan rumah atau tembok untuk memudahkan pengangkutan oleh moci. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sore itu di gang Sari Dewi adalah puluhan anak-anak terlihat bermain nyaris di seluruh ruas gang. Ada yang naik sepeda, main bola, dan lainnya.

Warga anggota kelompok lain adalah Ni Wayan Murniati. Ia dan suaminya Gede Mawayasa mendukung program pemilahan sampah ini. Murniati tergabung di kelompok pertemuan zero waste. Sedangkan suaminya ikut di Kebun Berdaya.

Keluarga ini berjualan aneka bumbu di pasar tradisional. Mereka menghasilkan banyak sampah organik karena limbah dari membersihkan sayur dan bumbu seperti sereh. Setiap hari produksi sampah minimal satu karung. Namun sekarang yang terbuang ke TPA adalah residu seperti tisu bekas, masker, plastik yang kena minyak dan kotor, dan kertas minyak bekas bungkus nasi.

Murniati juga awalnya bingung memilah sampahnya. “Niat ada, biar lingkungan bersih,” tambahnya.

Dengan limbah organik yang tinggi, ia tertarik buat kompos sendiri tapi mengaku tidak ada tempat. Apalagi pupuk kompos cukup bernilai tinggi jika bisa dijual. Rumahnya memang terlihat sempit. Bahkan tak sedikit yang masih kontrak tanah untuk tempat tinggal seperti Ariani. Sampah organik kini makin banyak, dan perlu mesin pencacah.

menarik dibaca  : Perempuan Penenun Sampah Plastik

 

Kebun Berdaya, kebun kolektif yang dibuat kala pandemi. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Catur Yudha Hariani dari PPLH Bali mengatakan konsep Kebun Berdaya dan pemilahan sampah bisa diterima warga. Untuk pemilahan sampah, pendekatannya ke ibu dan anak.

Program yang dimulai Juli ini terkendala pandemi seperti protap kesehatan sehingga penyuluhan juga dilakukan door to door. Materi penyuluhan dikirim lewat grup whatsapp kelompok.

Bank sampah banjar membuat catatan, lalu dibuatkan grafik untuk mengecek perubahan volume sampah. Sampah organik juga ditimbang.

“Ada kemungkinan TPA ditutup karena penuh itu juga mendorong warga semangat,” kata Catur. Regulasi di tingkat Walikota Denpasar ada tentang pengurangan kantong plastik, sementara di tingkat provinsi ada larangan plastik sekali pakai dan pengolahan sampah di sumber.

Peraturan Gubernur Bali No.47/2019 Pengolahan Sampah berbasis Sumber di antaranya mengatur setiap orang wajib melakukan pengolahan sampah dari sumber. Misalnya pengolahan sampah di rumah tangga, skala banjar atau lingkungan, bisa berupa komposter, takakura, biopori, bank sampah, TPS3R atau Rumah Kompos sehingga sampah yang dibuang ke TPA hanya residu.

Pengolahan sampah kawasan (perumahan, hotel, perkantoran) wajib melakukan pengolahan sampah sehingga yang dibuang ke TPA hanya residu. Ada juga terkait tanggungjawab produsen terhadap kemasan, seperti kewajiban menarik kembali kemasan dan wajib menggunakan bahan yang bisa didaur ulang.

Catur mengatakan rencana brand audit sampah yang dikonsumsi dari jumlah anorganik dan residu terhambat karena isu kesehatan selama pandemi.

Selain regulasi daerah, menurutnya peraturan adat atau perarem sangat penting karena lebih ditaati warga. Apalagi jika pemilahan sampah dilakukan parsial, tidak serentak. “Desa sebelah aja enggak, kok kita disuruh milah. Sanksi adat lebih ditakuti,” tambah Catur.

baca juga : Bali Kesulitan Mengurangi Plastik Sekali Pakai

 

Ilustrasi. Seorang nasabah Bank Sampah Taman Asri Ubud, Gianyar, Bali, memerlihatkan buku tabungannya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Refleksi strategi pengelolaan sampah

Catur kini mampu merefleksikan perbedaan strategi pengelolaan sampah di masa lalu yang kurang tepat. Misalnya pada 2014-2018, lembaganya kebanjiran order kerajinan sampah karena saat itu tengah euforia. Bahkan sejumlah produsen buat lomba, misal produsen kopi instan buat lomba kerajinan dari sachet. Produsen minuman ringan buat lomba gapura.

“Sekolah diajak lomba gapura dari kemasan gelas. Warga salah tangkap, malah membeli bahannya. Kembali sampahnya lebih banyak ke TPA,” ingatnya. Diklaim ada anggaran lingkungan 20% tapi konsepnya di upah penyapu jalan.

Berikutnya, gerakan yang masif adalah clean-up, misal di pantai atau sungai. Kepedulian warga makin meningkat. Namun sampah plastik juga tak reda.

Kini, makin banyak desa atau pemerintah daerah membangun banyak bank sampah. Kesulitannya, jika tak punya sistem pengangkutan dan sampah anorganik tidak diambil pengepul. Ada juga pengurus bank sampah pindah dan bawa uang simpanan. “Bank sampah tidak jalan saat pandemi. Mereka tidka diupah atau diupah sedikit. Kalau pengepul, kalau tidak kerja ya tidak makan,” sebut Catur.

Pemerintah harus memperhatikan hal ini agar bank sampah berkelanjutan. Gerakan rintisan zero waste dengan memilah sampah di desa lain yaitu Kesiman Kertalangu di Denpasar pun harus menganggarkan tim edukasi sampah berjumlah 10 orang untuk monitoring tiap rumah. Tugasnya seperti juru pemantau jentik, Jumantik.

Perubahan lain saat ini ada gerakan di kalangan anak muda, misal ikut komunitas atau buat aplikasi bank sampah. Menggunakan teknologi untuk pembayaran dan jumlah pemilahan.

 

Exit mobile version