- Pemerintah Provinsi Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Wayan Koster membuat sejumlah regulasi terkait lingkungan.
- Pergub larangan penggunaan dan distribusi plastik sekali pakai seperti kantong plastik, sedotan, dan styrofoam sulit diimplementasikan.
- Bahkan data sementara menunjukkan, volume kantong plastik meningkat setelah penegakan Pergub dan edukasi kembali kendor.
- Selain sampah plastik di darat, sampah di laut pun kini terus menghantui.
Lebih dari satu tahun setelah disahkan, regulasi larangan plastik sekali pakai di Bali malah menunjukkan kemunduran.
Tak sulit mendapatkan kantong plastik, sedotan, dan styrofoam. Tiga hal yang dilarang untuk menggunakan, diproduksi, dan didistribusikan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Informasi untuk bawa tas belanja sendiri sudah sangat jarang ditemui di warung-warung, dibandingkan ketika awal-awal bulan Pergub ini ditegakkan. Saat itu tim penegakan Pergub ini melakukan razia ke warung dan pasar.
Data-data volume sampah juga menunjukkan peningkatan timbulan sampah plastik sekali pakai (PSP) di Bali pada semester kedua pasca pemberlakukan Pergub ini. Hal ini terangkum dalam Lokakarya Kinerja Pelaksanaan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai pada Rabu (4/11/2020) di Sanur, Denpasar.
Nengah Murniati, Kepala Seksi Pengelolaan sampah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Karangasem misalnya menyebut pada semester satu tahun 2019 volume kresek yang tercatat sebanyak 44.570 kg, meningkat jadi 57.756 kg di semester berikutnya.
“Tantangannya masyarakat ingin serba praktis, ketergantungan plastik. Belum ada dukungan maksimal pemerintah, dan saksi administrasi,” ujarnya.
Ia berharap ada kerjasama pihak swasta terkait pengelolaan sampah plastik, dan makin gencar mengajak warga membawa wadah atau tas belanja makanan minuman. Rencana aksi yang direncanakan di antaranya pendampingan sekolah Adiwiyata, desa dan program desa sadar lingkungan.
baca : Sentilan Untuk Pergub Larangan Sampah Sekali Pakai di Bali
Ketut Darmawan, Kabid Persampahan Kabupaten Klungkung mengatakan pihaknya belum memiliki data lengkap terkait volume sampah kantong plastik karena
keterbatasan sumberdaya manusia. “Kami tak punya petugas mendata timbulan, hanya memanfaatkan waktu sela, tak ada dana operasional khusus,” urainya. Terkait Pergub PSP, ia menyebut sosialisasi belum masif, terlebih selama pandemi ini.
Ia membagi cerita sebuah minimarket yang dikelola koperasi di daerahnya. Pada enam bulan pertama pasca Pergub PSP, mereka menerapkan nol kresek. Tapi kembali pakai di semester kedua, alasannya warga tak mau belanja kalau tak diberi kresek. Karena toko lain pun kembali memberi kresek. Sekarang minimarket itu kembali menyediakan. “Kesulitan solusi, perlu strategi,” harapnya.
Klungkung sedang memprioritaskan pengelolaan sampah dengan pendirian unit pengolahan sampah skala desa. Saat ini sudah ada 26 TPST dan 19 bank sampah. Pada 2020 ini sampah plastik yang tercatat sampai Oktober hampir 17 ton. Bupati Klungkung meluncurkan Gerakan Bersama Puputan Sampah Plastik.
Tantangan yang sama juga disampaikan Made Hadi Saputra, Kabid Pengurangan Sampah Kabupaten Buleleng. Pada 2019, volume kantong plastik di semester pertama lebih dari 48.000 kg kemudian meningkat jadi lebih dari 50.000 kg di semester kedua.
Menurutnya sosialisasi dan pemberian sanksi perlu ditingkatkan. Sedangkan rencana aksi daerahnya adalah mndorong eco-office untuk pengurangan PSP, dan membebankan tanggungjawab pada produsen plastik.
Gede Ketut Santika dari Kabid penanganan sampah di Tabanan juga melihat kini sempadan sungai dan tebing makin banyak dipenuhi sampah. Penyebabnya, pembangunan perumahan makin marak.
“Sampah dalam bungkus kresek dibuang sembarangan, banyak warga minta penertiban TPS pinggir jalan,” sebutnya.
baca juga : Operasi Kantong Plastik di Pasar. Memangnya Efektif?
I Ketut Adiwiguna, Kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLH Kota Denpasar berharap pada 2021 bisa mengurangi sebagian dari volume sampah 800 ton per hari. Pihaknya mengajak komunitas lingkungan bekerjasama dengan SK Walikota agar pemanfaatan anggaran lebih efektif.
Made Dwi Arbani dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali mengakui masih sulit mengukur pengurangan sampah plastik. Terlebih itu kewenangan kabupaten/kota. “Sulit menghitungnya, apa metodenya,” ujarnya. Ini terkait karakteristik sampah dan volume.
Ia menyontohkan sejumlah tabulasi data ketika mencoba mencatat jumlah volume kresek, sedotan, dan styrofoam yang dijual di Bali. Misalnya kresek, saat observasi ke distributor atau penjual, menghitung kemasan sangat sulit dan jenis kresek sangat beragam.
Hasil survey pemasok/penyalur PSP di kabupaten/kota masih ada yang melaporkan tidak valid. Kecuali cek pabrik baru diketahui. “Toko plastik selalu ramai, tanda penggunaan tinggi,” lanjut Dwi. Plastik mika lebih sulit didaur ulang, dan ada plastik campuran di gelas paper cup. Makin menyulitkan karena pabrik tak bisa terima, sehingga pasti masuk TPA.
Dwi juga mengingatkan untuk mewaspadai kresek biodegradeable yang menyebut dari olahan singkong, rumput laut, dan lainnya karena perlu perlakuan khusus. “Kalau tak bisa dikompos jadi mikroplastik,” sebutnya..
Catur Yudha Hariani dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste, fasilitator lokakarya ini menyimpulkan ada tren peningkatan distribusi dan penggunaan kantong plastik, sedotan plastik, polystyrene foam pada semester dua pasca Pergub PSP, Sementara penurunan timbunan pada 2020 karena pandemi. “Sampah plastik juga bisa dihitung di pengepul, tak hanya penjual,” sarannya.
Kendala lain adalah penegakan hukum rendah. Pengelolaan sampah dinilai belum jadi prioritas, dan belum ada mekanisme pengawasan.
AZWI saat ini sedang melaksanakan survei melibatkan 40 surveyor untuk mengambil data terkait sampah di 1600 masyarakat (KK) di 9 kabupaten/kota di Bali.
menarik dibaca : Produksi Sampah dari Rumah Meningkat di Masa Pandemi Corona, Kok Bisa?
Plastik Sekali Pakai (PSP), adalah segala bentuk alat/bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric dan diperuntukkan untuk penggunaan sekali pakai. Tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub ini yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik.
Aturan ini mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.
Sebuah riset pada 2019 dari kolaborasi akademisi dan komuntas Bali Partnership menyebutkan produksi sampah di Bali mencapai 4.281 ton per hari di mana 11 persen di antaranya mengalir hingga ke laut. Dari jumlah tersebut, lebih banyak sampah yang tidak dikelola (52 persen).
Dari jumlah itu, sebanyak 50 persen sampah di Bali berasal dari tiga daerah di Bali yaitu Denpasar, Badung, dan Gianyar. Dari sampah yang dibuang ke tempat sampah, 70 persen di antaranya berakhir di TPA Suwung.
Selain Pergub terkait larangan plastik sekali pakai pada 2018, ada juga Peraturan Gubernur No.47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Sampah harus diselesaikan sedekat mungkin dengan sumber sampah, dan seminimal mungkin yang dibawa ke TPA, hanya residu. Demikian idenya.
Namun, regulasi ideal hanya berakhir di atas kertas jika kepemimpinan, edukasi, dan pengawasan tidak berjalan.
***
Keterangan foto utama : llustrasi. Bersama komunitas pemuda peduli lingkungan, Ecoton melakukan brand audit timbulan sampah yang terjadi di Pantura Lamongan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia