Mongabay.co.id

Pentingnya Integrasi KEE dalam Rezim Aturan Tata Ruang

Inisiatif konservasi, apapun itu, pasti akan berkaitan dengan peran atau posisi Pemerintah Daerah. Situasi faktual konservasi yang amat kompleks dan rumit merupakan alasan mendesak untuk memberi porsi yang terukur bagi Pemerintah Daerah. Tidak hanya teori, dalam kenyataan administrasi sehari-hari pun, peran otoritas lapangan (Pemerintah Daerah) sangat dibutuhkan sebagai jembatan untuk mendialogkan ide yang berada pada tataran normatif dengan kenyataan faktual sehari-hari. Ide konservasi, dengan demikian, semestinya terdistribusi dalam bentuk kewenangan tertentu pada semua tingkat yurisdiksi.

Konservasi, yang tetap merupakan urusan pusat, pada skala tertentu tetap meletakkan secara tegas posisi dan peran Pemerintah Daerah. Amat sulit membayangkan wilayah yang demikian luas dan dikerumuni oleh berbagai persoalan penggunaan lahan mengabaikan peran otoritas lapangan. Apalagi jika gagasan konservasi hendak diarahkan untuk wilayah-wilayah di luar kawasan hutan yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka alasan-alasan kultural, politik hingga pertimbangan efisiensi administrasi dan keberlanjutan konservasi untuk jangka panjang telah sering dikemukakan sebagai dasar untuk memikirkan kembali porsi “tangan” daerah dalam urusan konservasi. Tentu tidak semata-mata dengan mengubah komposisi kewenangan. Tetapi bisa dimulai dengan meletakan inisiatif konservasi secara tepat berdasarkan kewenangan yang tersedia.

Dalam konteks demikian itu maka tulisan ini bermaksud mencermati lebih jauh gagasan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) dalam konteks kewenangan Pemerintah Daerah. Istilah ini adalah nomenklatur yang relatif baru dalam rezim hukum konservasi. Ruang lingkupnya menargetkan perlindungan kawasan di luar kawasan konservasi konvensional yang sudah dilindungi (Kawasan Suaka Alam maupun Kawasan Pelestarian Alam). Sehingga, KEE sarat dengan dimensi tata ruang dan otoritas sektoral yang melibatkan peran lintas tema/sektor dan pemerintah daerah.

Terkait dengan otoritas itu pula maka rezim tata ruang telah mengenal istilah Kawasan Strategis Lingkungan Hidup (KSLH) yang cakupannya hampir sama dengan KEE. Dua inisiatif “berbaju” beda namun isi sama ini patut untuk ditelusuri mengingat ide dasarnya kurang lebih mirip yakni mendorong perlindungan lingkungan secara komprehensif pada skala lansekap.

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait untuk mengambil pertimbangan yang tepat dalam mengusul ide maupun menyusun kebijakan konservasi ke depan.

baca : Kementerian Lingkungan Dorong Wilayah Penting Masuk Kawasan Ekosistem Esensial

Bentang Alam Seblat di Bengkulu, disahkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] Koridor Gajah Sumatera. Foto: IG#savegajahseblat

 

Kawasan Ekosistem Esensial

Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (BPEE) Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan sejumlah kriteria wilayah yang dapat diusulkan sebagai KEE, yakni mencakup empat kategori berupa ekosistem lahan basah, koridor hidupan liar/satwa, ABKT (Areal Bernilai Konservasi Tinggi), dan taman kehati (keanekaragaman hayati). Seperti dipaparkan pada tabel 1 berikut ini, masing-masing kategori ini mempunyai penjabaran ruang lingkup masing-masing.

Dalam peraturan perundang-undangan, istilah dan pengaturan KEE dapat ditemukan dalam pengaturan konservasi dan rezim hukum pemerintah daerah. Sementara dalam UU Konservasi, usulan revisinya sudah sudah mencantumkan konsep KEE secara komprehensif. Namun sudah lebih dari satu dekade, usulan tersebut belum ditetapkan dalam revisi UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE).

 

Sumber : BPEE Direktorat KSDAE KLHK

 

Ruang lingkup KEE pada tabel 1 secara eksplisit melibatkan banyak dimensi alokasi ruang, tidak hanya kawasan konservasi konvensional, hutan lindung atau bahkan kawasan hutan. Namun melibatkan pula APL (Areal Penggunaan Lain) atau kawasan budidaya yang berada di luar semua lokasi-lokasi konvensional untuk dilindungi. Hal ini nampak dalam sejumlah usulan KEE dimana pemerintah sendiri, terutama Dirjen KSDAE bersemangat mendorong skema ini dengan intensi yang melampaui KSA (Kawasan Suaka Alam) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seperti Taman Nasional, Cagar Alam, dan bahkan kawasan hutan (lihat contoh peta usulan KEE Kabupaten Nunukan)

 

Contoh peta usulan KEE Kabupaten Nunukan

Sumber: P4W IPB, 2020

 

Sebagaimana terindikasi dalam peta usulan KEE di Kabupaten Nunukan, wilayah yang diarsir untuk usulan KEE mencakup Taman Nasional, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi, Hutan Produksi Konversi dan APL. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara dengan dibantu P4W IPB nampaknya berniat memasukkan APL sebagai KEE. Hal ini tidak lepas dari undangan Pemerintah Pusat untuk Pemerintah Daerah mengidentifikasi kawasan-kawasan ini. Karena itu, dapat disebutkan bahwa KEE merupakan usulan konservasi yang melintasi semua kategori kawasan.

Semangat pemerintah pusat melakukan pemetaan indikasi KEE telah nampak dalam peta indikasi yang dikeluarkan pada 2018. Dalam peta itu BPEE mengeluarkan data indikasi KEE seluruh Indonesia yang mencapai 104,942 ha. Sebagian besarnya dikontribusikan oleh tiga region utama yakni Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Dalam periode 2015-2017, BPEE telah merencanakan 37 KEE di tujuh region dengan total luas 723.788,14 ha yang dipilah dalam lima kategori area, yakni 23 taman kehati (keanekaragaman hayati), enam koridor satwa, lima mangrove, dan dua karst.

baca juga :  Pertama di Maluku dan Malut, Kawasan Ekosistem Esensial untuk Konservasi Biota Mangrove Tanjung Boleu

 

Kondisi tegakan hutan mangrove di kawasan KEE Kao Halmahera Utara. Foto : Radios Simanjutak

 

KEE dalam Rezim Hukum Konservasi

Dari segi nomenklatur, istilah KEE baru dapat ditemukan secara eksplisit setelah lebih dari 20 tahun berlakunya UU Konservasi 1990 yakni pada revisi Peraturan Pemerintah No.68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam oleh PP No.28/2011 yang kemudian direvisi lagi menjadi PP No.108/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan.

Ketentuan yang khusus mengatur KEE dalam PP ini terdapat dalam satu pasal dan penjelasannya yakni pasal 24. PP ini telah diubah oleh PP No.108/2015 tetapi tidak mengubah pasal 24, sehingga ketentuan ini masih berlaku.

Pasal 24

Ayat (1) Perlindungan pada KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b termasuk perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan ruang lingkup perlindungan dilakukan melalui:

  1. pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies invasif, hama, dan penyakit;
  2. melakukan penjagaan kawasan secara efektif.

Dalam Penjelasan pasal 24 ayat (1), konsep KEE diklarifikasi lebih lanjut dengan penjabaran definisi yang mengarahkan secara jelas ruang lingkup yang dimaksud KEE, yakni yang mencakup ekosistem karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 (enam) meter), mangrove dan gambut yang berada di luar KSA dan KPA.

Disebutkan juga dalam penjelasan ayat (2) bahwa perlindungan dilakukan dengan tujuan:

  1. terjaminnya proses ekologis yang menunjang kelangsungan hidup dari flora, fauna, dan ekosistemnya;
  2. menjaga, mencegah, dan membatasi kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan potensi dan kawasan serta perubahan fungsi kawasan, baik yang disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, alam, spesies invasif, hama, dan penyakit;
  3. menjaga hak negara, masyarakat, dan perorangan atas potensi, kawasan, ekosistem, investasi, dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan KSA dan KPA;
  4. menjamin keutuhan potensi, kawasan, dan fungsi kawasan.

 

Pasal ini juga memandatkan pelaksanaan perlindungan KEE dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal 24 juga menegaskan bahwa “peraturan perundang-undangan” yang melindungi KEE adalah peraturan pemerintah mengenai perlindungan hutan. Namun, PP Perlindungan Hutan yakni PP No.45/2004 yang diubah oleh PP No.60/2009 sama sekali tidak menyebut, apalagi mengatur konsep KEE. Sehingga rujukan silang yang disebut dalam penjelasan pasal 24 ayat (3) tersebut membingungkan. Meski demikian, menempatkan KEE sebagai bagian dari konsep perlindungan hutan seperti diatur dalam PP No.45/2004 maupun PP No.60/2009 secara implisit mengarahkan bahwa KEE adalah upaya perlindungan kawasan hutan lainnya di luar areal konservasi seperti Taman Nasional.

menarik dibaca : Pulau Masakambing jadi Kawasan Ekosistem Esensial, Berharap Jambul Kuning Terus Terjaga

 

Kakatua kecil jambul kuning di area mangrove Pulau Masakambing. Pulau Masakambing telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Foto: Masrur

 

Dengan demikian, selain masih memerlukan klarifikasi, KEE dalam pasal 24 PP No.28/2011 jo PP No.108/2015 sangat umum. Namun, setidaknya ada dua hal penting yang digarisbawahi dalam pasal ini dan penjelasannya.

Pertama, KEE adalah bagian dari kerangka konservasi yang dalam ayat 1 disebutkan sebagai bagian dari perlindungan terhadap KPA dan KSA. Norma ini mengindikasikan keterhubungan spasial antara KPA dan KSA dengan KEE. Hal ini berimplikasi pula bahwa rezim pengaturan KEE tidak bisa dilepaskan dari karakter rezim hukum konservasi. KEE bukan sesuatu yang berbeda sama sekali dari rezim konservasi yang secara konvensional telah dikenal saat ini. Lebih dari itu, acuan KEE pada PP Perlindungan Hutan menunjukan bahwa KEE walaupun di luar KPA dan KSA tetap berada di bawah konsep kawasan hutan. Sehingga, KEE tidak menyentuh APL.

Kedua, definisi sekaligus ruang lingkup KEE mencakup ekosistem karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari enam meter). Dalam kenyataannya, definisi ini terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya dengan kewenangannya yang sudah terbagi. Otoritasnya tidak hanya ada pada instansi yang menggawangi konservasi, tetapi tersebar ke bidang-bidang lain, seperti nampak dalam tabel 2 berikut ini.

 

 

KEE dalam Rezim Pemerintahan Daerah

UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi wewenang bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan KEE. Dikatakan bahwa Provinsi mempunyai kewenangan pelaksanaan pengelolaan kawasan ekosistem penting atau yang disebut KEE dan daerah penyangga KSA dan KPA. Sementara kabupaten/kota hanya mempunyai kewenangan atas Taman Hutan Raya (lampiran BB Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan).

Dengan demikian, jelas bahwa kewenangan Provinsi hanya melaksanakan pengelolaan KEE. Lain daripada itu adalah kewenangan pusat, termasuk dalam hal ini kewenangan penunjukan maupun penetapan KEE. Hal ini tidak lepas dari pengaturan kewenangan konservasi dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tegas disebutkan disana bahwa kawasan konservasi merupakan kewenangan pusat (pasal 360). Disebutkan bahwa untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi kepentingan nasional, Pemerintah Pusat dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota, antara lain kawasan hutan lindung, kawasan hutan konservasi, kawasan cagar alam.

Sehingga, meskipun penetapan kawasan khusus mengikutsertakan daerah yang bersangkutan, Provinsi sama sekali tidak berwenang menetapkan kawasan konservasi, sekalipun area itu berada di dalam wilayah Provinsi dimaksud. Demikian halnya dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Provinsi dapat saja mengajukan usulan jika area itu berada di dalam kawasan hutan seperti yang disebut dalam penjelasan PP No.28/2011. Namun penetapan sepenuhnya ada pada kewenangan Pusat.

Dalam kenyataannya, di tingkat daerah gagasan KEE sudah berjalan. Di Kalimantan Barat, Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan Keputusan Gubernur No. 718/2017 tentang penetapan KEE di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara untuk koridor orangutan. (Tropenbos Indonesia, Mei 2019). Di Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi menginisiasi koridor orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay (TNC, 2016).

perlu dibaca : KEE Ujung Pangkah: Antara Mangrove, Burung Migran, dan Ekonomi Masyarakat

 

Mangrove di Ujung Pangkah, Gresik, yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan juga satwa liar. Kawasan Ujung Pangkah telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Foto : Arupa

 

Kawasan Strategis Lingkungan Hidup

Penelusuran terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan menemukan sebuah konsep konservasi yang tersedia dalam rezim hukum tata ruang, yang disebut Kawasan Strategis Lingkungan Hidup (KSLH). Menurut Undang-Undang No.26/2007 tentang Tata Ruang (UU TR), KSLH merupakan salah satu kategori dalam definisi kawasan strategis.

Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia seperti Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo (penjelasan pasal 5 ayat 5 UUTR)

Kriteria kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup diuraikan dalam PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, PP No.15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang serta Peraturan Menteri ATR No.1/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Dalam PP No.15/2010, kriteria KSLH meliputi (Pasal 51): (1) tempat perlindungan keanekaragaman hayati, (2) kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora, dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan, (3) kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian, (4) kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro, (5) kawasan yang menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup, (6) kawasan rawan bencana alam; atau (7) kawasan yang sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.

Dengan demikian, rezim tata ruang telah memberikan “rumah” bagi kemungkinan mengusulkan KSLH berdasarkan pertimbangan jurisdiksional, baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam ketentuan tata ruang disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kawasan strategis, dimana salah satunya adalah berbasis pada pertimbangan lingkungan hidup. Jika wilayah itu melibatkan dua atau lebih kabupaten, maka Pemerintah Provinsi lah yang menetapkan. Dalam hal lebih dari satu Provinsi maka Pemerintah Pusat lah yang berwenang.

Saat ini, Pemerintah Pusat telah menetapkan KSLH Nasional yang jumlahnya menempati urutan kedua sebanyak 25 KSN, hanya terpaut 2 angka dari KSN Ekonomi yang tercatat sebanyak 27 KSN. Beberapa di antaranya adalah Kawasan Kritis Lingkungan Balingara Sulawesi Tengah, Kawasan Jantung Kalimantan (Heart of Borneo), Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat. Perkembangan ini tentu menjadi basis yang positif bagi upaya mengintegrasikan usulan KEE ke dalam tata ruang ke depan.

baca juga : Forum Diskusi Mongabay : KEE Upaya Atasi Konflik Gajah dan Manusia di Jambi

 

Implikasi Kebijakan

Secara yuridis-normatif terutama mengacu ke PP No.28/2011 jo PP No.108/2015, ruang lingkup KSLH tidak berbeda bahkan sama dengan usulan KEE. Perbandingannya dapat dilihat dalam tabel 3. Perbedaan utamanya terletak pada lokasi yang diajukan. Minimnya landasan hukum, mengarahkan rujukan definisi KEE satu-satunya yang relatif lengkap pada penjelasan Pasal No. 24 PP 28/2011. Disitu disebutkan, KEE merupakan kelanjutan KSA/KPA di luar kawasan konservasi dan merupakan bagian dari kawasan hutan yang pengaturannya terkait dengan perlindungan hutan. Sementara KSLH, seperti diutarakan di atas bisa dalam kawasan hutan maupun luar kawasan hutan.

 

Perbedaan ini juga menunjukkan bahwa pendekatan KSLH mempunyai payung hukum yang lebih solid dan struktur kelembagaan yang kuat di bawah koordinasi tata ruang yang cara kerjanya sudah baku. Payung hukum demikian lebih mampu menjawab tantangan perlindungan wilayah-wilayah yang memenuhi ciri-ciri KEE maupun KSLH, namun lokasinya berada di luar kawasan hutan seperti APL maupun budidaya.

Sayangnya, diskusi mengenai relasi KEE dengan rezim hukum tata ruang belum secara gamblang terutarakan dalam usulan peraturan KEE saat ini. Alih-alih pembicaraan ini digalakkan oleh perspektif konservasionis yang terpusat. Dalam kenyataannya, ide top-down barangkali akan sulit berhadapan dengan situasi faktual di daerah. Disana pendekatan fragmentasi sektoral telah bergurat akar dimana pelakunya tidak hanya Pemerintah Daerah tetapi juga diarahkan oleh instansi pusat.

 

Kesimpulan

Meskipun berbagai studi belum mengaitkan antara KEE dan KSLH, jelas bahwa KSLH merupakan otoritas Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sementara KEE, sejauh yang bisa ditarik dari regulasi yang ada merupakan kewenangan Pemerinta Pusat. Di samping itu, KSLH merupakan arena tata ruang yang pembahasannya tidak perlu merancang forum terpisah, apalagi konsep yang sama sekali baru. Pengusungnya dapat mengikuti bangunan peraturan normatif yang sudah sangat jelas, rinci, dan mempunyai payung hukum amat kuat dalam tata ruang.

Patut pula untuk menjadi pertimbangan bahwa sudah banyak inisiatif konservasi yang simpang siur dalam banyak forum tetapi seringkali gagal menjadi aksi sistemik karena tidak mempunyai penerimaan secara hukum, tidak kompatibel atau memberatkan birokrasi, dan distribusi kewenangannya kompleks, dan seterusnya. Sebaliknya, cukup banyak inisiatif yang sejalan dengan aturan hukum, memaksimalkan kelembagaan yang ada, dan memperbarui serta memfungsikan kewenangan tetapi tidak dipandang oleh sebagian konservasionis, entah karena kurang keren atau inisiatif itu belum dikenal dalam relevasinya membantu menggerakan isu konservasi sejauh-jauhnya di tingkat tapak.

Meski demikian, KEE sudah mulai diidentifikasi dan ditetapkan dalam sejumlah keputusan Pemerintah Daerah sesuai dinamika lokal. Gagasan KEE, di samping hambatannya, bagaimanapun juga mempunyai tujuan perlindungan ekosistem berkelanjutan. Karena itu, perlu menemukan rumah kelembagaan yang tepat dan aturan hukum yang memadai.

Dalam hal ini, kajian singkat ini menawarkan integrasi gagasan KEE ke dalam konsep KSLH yang jelas merupakan inisiatif daerah dan ditetapkan dalam tata ruang. Memasukkan KEE ke dalam tata ruang, selain menerobos ego instansi, juga mempunyai keuntungan bahwa rezim hukum tata ruang sudah baku dan memberi mandat yang jelas bagi setiap instansi. Selain itu, proses perencanaannya sudah tentu disertai anggaran agar identifikasi kriteria-kriteria di atas dapat dilakukan. Secara kelembagaan pun, usulan dalam tata ruang ini tidak hanya monopoli Kabupaten/Kota atau Provinsi. Tapi juga dari kepentingan nasional.

****

Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, (2017), Perlindungan Ekosistem Esensial di Pulau Pejantan, Materi Presentasi Maret 2017

Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Ditjen KSDAE, (2018), Perlindungan Kawasan Ekosistem Esensial, Materi Presentasi Jakarta 24 September 2018

Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Ditjen KSDAE, (2019), Kebijakan Konservasi Mangrove dalam Kerangka Ekosistem Esensial, Materi Presentasi Purwokerto 19 Agustus 2019

Forest Watch Indonesia, 23 Desember 2019, Lesson Learned Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) di Tiga Lokasi ()

Kelompok Kerja Pengelolaan KEE Bentang alam Wehea-Kelay, (2016), Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Koridor Orangutan Bentang Alam Wehea-Kelay Di Kabupaten Kutai Timur Dan Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur, The Nature Conservancy ()

Khan, Azis, 2017, Preservation and Utilization of Essential Ecosystem Within the Framework of Institutional Analysis and Development Framework or IAD Framework” in The Conservation Paradigm in Sustainable Development, USAID, Winrock, Kementerian Dalam Negeri

P4W IPB, “Penyusunan Kawasan Ekosistem Esensial di Provinsi Kalimantan Utara” (diakses pada 23 Januari 2021)

Tropenbos Indonesia, (2018), Identifikasi Areal Bernilai Konservasi Tinggi Tingkat Lanskap/Wilayah Administrasi, Makalah Kebijakan Agustus 2018

Tropenbos Indonesia, (2019), Konservasi di Luar Kawasan Konservasi (KEE): Pembelajaran dari Kalimantan Barat, Policy Brief No 1. Mei 2019.

****

 

*B. Steni. Peneliti Yayasan Inobu. bsteni@inobu.org

 

Exit mobile version